• Kampus
  • Mahasiswa ITB Memodifikasi Aplikasi Pencarian Sarana Transportasi

Mahasiswa ITB Memodifikasi Aplikasi Pencarian Sarana Transportasi

Aplikasi ini memudahkan masyarakat mencapai tempat tujuan, seperti TransJakarta atau angkutan umum. Mungkin aplikasi ini bisa digunakan di Bandung.

Naik bus kota dengan memindai aplikasi jaramba.id di Bandung, Jumat (7/1/2022). Teknologi memudahkan masyarakat untuk mengakses rute-rute transportasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana6 Juni 2022


BandungBergerak.idKota Bandung menghadapi masalah krusial yang belum terpecahkan hingga kini: transportasi publik. Fasilitas ini menjadi satu-satunya solusi agar Bandung bisa terhindar dari jebakan kemacetan, hemat energi, mengurangi polusi, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan akses transportasi yang mudah dan murah.

Kajian terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB) yang tertuang dalam dokumen Asian Development Outlook 2019, menyebut Kota Bandung lebih macet dibandingkan Jakarta. Bandung menempati posisi ke-14, sementara Jakarta, yang diyakini banyak orang sebagai kota paling macet se-Indonesia, berada di posisi ke-17. 

Di zaman serba digital ini, peluang membangun transportasi publik yang inklusif (ramah untuk seluruh lapisan masyarakat) sebenarnya semakin terbuka lebar. Di zaman ini pula masalah seakan bisa terselesaikan dengan satu aplikasi. Demikian juga dengan transportasi publik.

Bicara soal aplikasi, Tim Kuya Kuyi Nekat ITB, melakukan modifikasi terhadap aplikasi MRT-J, sebuah aplikasi integrated transportation system. Modifikasi dilakukan untuk memudahkan masyarakat dalam memeroleh informasi terkait Mass Rapid Transportation (MRT) di Jakarta.

Dikutip dari laman ITB, Senin (6/6/2022), tim mahasiswa ITB ini terdiri dari RDA Besya Fairdian, Ammar Asyraf, dan Bram Sandika Tarigan yang semuanya mahasiswa Program Studi Teknik Sipil ITB. Ketiganya melakukan riset lebih dalam untuk memperbarui fitur-fitur di aplikasi MRT-J.

Besya, Ammar, dan Bram akhirnya merumuskan lima fungsi baru sebagai bentuk optimalisasi aplikasi MRT ini. Pertama, “MultiModa”, yaitu fungsi untuk memilih alternatif transportasi terbaik yang dapat dipakai oleh masyarakat. Tidak hanya MRT, masyarakat bisa menggunakan moda lainnya untuk mencapai tempat tujuan, seperti TransJakarta atau angkutan umum.

Selanjutnya adalah “Mitigasi”, yaitu notifikasi peringatan saat terjadi gempa bumi atau banjir. Fungsi ketiga yang mereka rancang adalah “Respons Cepat”. Fungsi ini dapat membantu pengguna MRT untuk melaporkan kejadian-kejadian yang tidak terduga yang berkaitan dengan keamanan, keadaan darurat, dan kehilangan barang-barang.

Fitur lainnya adalah “Lokasiku” dan “MRTPass”. Fitur “Lokasiku” dibentuk untuk mengetahui perjalanan MRT secara waktu nyata (real time). Hanya dengan memindai QR Code yang tersedia di dalam kereta, penumpang dapat memantau stasiun-stasiun yang akan dilewati MRT yang sedang dinaikinya.

Berikutnya, “MRTPass” memungkinkan masyarakat untuk melakukan perjalanan tak terbatas dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan MRT. Paket-paket ini dapat berupa paket 1 hari, 7 hari, dan 1 bulan.

Tim mahasiswa angkatan 2019 ini memilih membuat aplikasi dalam Civil National Expo 2022 yang diselenggarakan oleh Universitas Tarumanagara. Aplikasinya menjadi juara kedua pada lomba bertajuk “Peran Generasi Z dalam Membangun Sistem Transportasi Berbasis Rel di Indonesia yang Lebih Inovatif” itu.

“Generasi Z pasti udah relate sama pemakaian aplikasi. Selain itu, kami memilih Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, karena kami beranggapan masyarakat di Jawa sudah melek teknologi,” ungkap Besya.

Baca Juga: Sukarno dan Bandung sebagai Kota Pemuda
Syarat Daftar SMUP Unpad Jalur Prestasi dan Internasional
Rancaekek Berimajinasi, Mengusir Sampah dengan Karya Seni

Potensi Perbaikan Transportasi Publik di Bandung

Bandung kaya akan sumber daya manusia. Kota ini memiliki banyak kampus atau perguruan tinggi, dengan riset dan inovasi-inovasi yang mereka kerjakan. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan, yaitu Pemerintah Kota Bandung.

Adanya teknologi aplikasi menjadi satu dari sekian jalan yang bisa ditempuh Pemkot Bandung dalam memecah kebuntuan di bidang transportasi publik. Data menunjukkan perkembangan transportasi publik di Bandung lamban. Salah satu indikatornya adalah ketimpangan antara laju penambahan jumlah kendaraan umum dan laju penambahan jumlah kendaraan pribadi.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat jumlah kendaraan umum pada 2005 sebanyak 5.016 unit, sementara jumlah kendaraan bukan umum, yang terdiri dari kendaraan pribadi dan dinas, sebanyak 255.492 unit.

Satu dasawarsa berselang, atau tahun 2015, jumlah kendaraan umum tercatat sebanyak 14.815 unit, sementara jumlah kendaraan bukan umum sudah meroket ke angka 1.062.207 unit.

Pada 2018, terakhir kali BPS mencatat data ini, diketahui jumlah kendaraan umum justru mengalami penurunan, yakni menjadi 14.178 unit. Sementara itu, jumlah kendaraan bukan umum terus melonjak ke angka 1.724.494 unit.

Lambannya pengembangan layanan transportasi publik juga terlihat dari laju penambahan panjang jalan di Kota Bandung yang jauh dari signifikan. Pada tahun 2000, panjang jalan diketahui 1.103,71 kilometer dengan 149,42 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak.

Pada 2018, panjang jalan ada di angka 1.172,78 kilometer dengan 81,82 kilometer di antaranya dalam kondisi rusak. Artinya, dalam kurun 18 tahun panjang jalan di Kota Bandung hanya bertambah kurang dari 70 kilometer.

Masih ada banyak data lain yang menjadi indikator lambatnya program pengembangan layanan transportasi publik. Pengelolaan layanan Trans Metro Bandung, misalnya, masih jauh dari optimal.

Program infrastruktur transportasi publik lain yang kini tidak jelas kelanjutannya adalah pembangunan light rail transit (LRT). Sudah melewati sekian banyak tahap pembangunan dalam beberapa tahun terakhir, layanan ini tak kunjung bisa dinikmati warga. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//