• Cerita
  • Sukarno dan Bandung sebagai Kota Pemuda

Sukarno dan Bandung sebagai Kota Pemuda

Bandung sebagai kota pemuda, juga kota pendidikan. Kota ini menjadi tujuan Sukarno untuk melanjutkan kuliah ke ITB.

Sukarno (ke-3 dari kiri) di depan pengadilan kolonial di Bandung. (Sumber: KITLV 142737)

Penulis Iman Herdiana6 Juni 2022


BandungBergerak.idMeski Bandung kini lebih banyak dinarasikan sebagai kota kuliner, fesyen, pariwisata, namun kota ini memiliki akar yang kuat sebagai kota pemuda. Sukarno merupsakan satu dari sekian banyak pemuda pergerakan yang menimba ilmunya di Bandung.

Selain Sukarno, banyak tokoh pergerakan lainnya yang pernah berkiprah di Kota Kembang. Sebut saja Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Dewi Sartika, Tirto Adi Soerjo, dan banyak lagi tokoh lainnya.

Sukarno bahkan menemukan kedewasaan berpikirnya di Bandung ketika bertemu Inggit Garnasih yang menginspirasi dan membantunya dalam masa-masa berat kuliah dan perjuangan.

Jika dihubungkan dengan kondisi sekarang, Bandung sebagai kota pemuda masih relevan. Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, pernah merilis data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 yang menunjukkan dari total sekitar 2,5 juta penduduk Kota Bandung, sekitar 11 persen atau 287 ribu di antaranya adalah penduduk dengan usia 10-24 tahun.

"Mereka inilah calon-calon pemimpin bangsa yang akan ikut menjaga mimpi indonesia emas 2045 menjadi kenyataan sehingga generasi produktif ini harus dijaga bukan dari kuantitasnya saja tapi juga kualitasnya," kata Yana Mulyana, saat menghadiri Pemilihan Duta GenRe (Generasi Berencana) 2022 di Hotel Horison, Bandung, Minggu (5/6/2022), dikutip dari siaran pers.

Jumlah itu belum termasuk dengan usia 0-10 tahun sebagai calon pemuda, dan 25 sampai 40 tahun. Sehingga diperlukan program-program untuk menyalurkan potensi anak-anak muda itu, misalnya melalui program-program pendidikan. Program ini tidak kalah pentingnya dengan upaya menjadikan Bandung sebagai kota pariwisata.

Pariwisata memang menjadi garda terdepan Pemkot Bandung untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pariwisata diharapkan menjadi nuansa utama Paris van Java, menjadi identitas kota.

"Contohnya kita ketika datang ke Bali itu sudah terasa ciri khasnya, nuansa pariwisata. Maka di Kota Bandung juga bisa diimpelemtasikan ketika datang ke sini. Mau kuliner, budaya dan sebagainya," ujar Yana Mulyana, pada acara silaturahmi bersama Kompepar (Kelompok Penggerak Pariwisata) di Hotel Scarlet, Jalan Siliwangi, 14 Mei 2022.

Ketua Kompepar Kota Bandung, Dawny Elang Iswanto, mengamini ide kolabirasi yang dicetuskan Pemkot Bandung dalam memajukan sektor pariwisata. Sehingga Bandung punya identitas yang khas.

"Banyak pengusaha pariwisata, seniman, MC, kuliner juga fesyen diangkat dari sisi pariwisata sampai keunikan masing-masing. Sejauh ini Bandung diharapkan memiliki identitas keunikan, seperti Jogja atau kota kabupaten lain punya ciri khas," katanya.

Inggit Garnasih dan Sukarno. (Foto: dari laman Komunitas Aleut)*
Inggit Garnasih dan Sukarno. (Foto: dari laman Komunitas Aleut)*

Sukarno di Kota Pendidikan

Suatu hari pada di tahun 1921, Sukarno lulus dari Hoogere Burger School (HBS) – sekolah setingkat SMA – di Surabaya. Ia kemudian memilih melanjutkan studinya ke Tehnisehe Hooge School (kini, ITB) di Bandung.

Sebelum menentukan pilihan, ada dialog menarik antara Sukarno dan ibunya, seperti diceritakan Cindy Adam dalam buku “Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia”. Kepada ibunya, Sukarno bilang sebenarnya ia ingin kuliah di luar negeri.

“Ibu, semua anak-anak.jang lulus dari H.B.S. dengan sendirinja pergi ke Negeri Belanda. Itulah djalan jang biasa. Kalau orang mau-memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri Belanda," tutur Sukarno.

Namun ibunya menolak keinginan Sukarno. Selain karena alasan tidak ada uang, karena kuliah di luar negeri memerlukan banyak biaya, ibunya meyakinkan bahwa Sukarno harus sekolah di negeri sendiri agar dekat dengan bangsa yang harus diperjuangkannya.

“Dan begitulah aku mendaftarkan diri ke universitas di Bandung. Mungkin suara ibu jang kudengar. Akan tetapi sesungguhnja tangan Tuhanlah jang telah menggerakkan hatiku,” kata Sukarno.

Dari kata-kata tersebut, tampak bahwa Sukarno mengenal Bandung sebagai kota yang memiliki fasilitas pendidikan tinggi. Sehingga jauh-jauh dari Surabaya, ia harus pergi ke Bandung. Bandung sebagai kota pendidikan juga dikenal oleh orang-orang pergerakan masa itu, termasuk oleh guru Sukarno, HOS Tjkroaminoto.

Maka Minggu terakhir bulan Juni tahun 1921, saat itu pemuda kelahiran 6 Juni ini genap berusia 21 tahun, ia berangkat ke Bandung menggunakan kereta api. Tjkroaminoto sudah meminta temannya, H Sanusi, agar mau menaungi Sukarno di rumahnya.

Sukarno mantap keluar dari kereta api mengenakan peci, disambut hawa dingin Bandung. Menurutnya, peci ialah topi khas nusantara, “lambang daripada kepribadian Indonesia”.

"Pada waktu aku melangkah gagah keluar dari kereta-api distasiun Bandung dengan petjiku jang memberikan pemandangan jang tjantik, maka petji itu sudah mendjadi lambang kebangsaan bagi para pedjoang kemerdekaan,” katanya.

Baca Juga: Museum Berperan Memulihkan Ekonomi Masyarakat
Rancaekek Berimajinasi, Mengusir Sampah dengan Karya Seni
PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Riweuh Melewati Puncak Menuju Bandung

Kesan pertamanya pada Bandung adalah sebagai kota sejuk dengan wanita-wanitanya yang cantik. Seketika ia merasa cocok dengan Bandung. Sanusi yang datang menjemputnya, adalah seorang laki-laki setengah baya. Sanusi langsung mengajak ke rumahnya.

Saat itu, nusantara bukannya tak memiliki universitas selain di Bandung. Sukarno menuturkan, nusantara sudah mempunjai Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Yogjakarta, Universitas Airlangga di Surabaja, Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan dan berlusin-lusin universitas yang penuh sesak.

Akan tetapi ketika ia masuk ITB, ia mendapati hanya ada 11 orang anak Indonesia. Sukarno termasuk salah seorang dari 11 orang yang “berrnuka hitam, terapung-apung kian-kemari dalam lautan kulit putih berarnbut merah, berdjerawat dan bermata hidjau seperti kutjing”.

Orang-orang Belanda yang kuliah di ITB kurang bersahabat pada bumiputra. Bagi mereka, bumiputra lebih sebagai bahan olok-olok dengan sebutan inlander bodoh atau sebagai orang suruhan. Sukarno tak mau mereka suruh-suruh.

Selama kuliah, Sukarno tinggal di rumah Sanusi. Di rumah inilah ia bertemu Inggit Garnasih, istri Sanusi, yang kelak membuatnya jatuh hati. Diakui Sukarno bahwa Inggit Garnasih dan Bandung merupakan faktor yang mematangkan pergerakannya.

“Pikiran embryo jang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemakan bentuk di Surabaja tiba-tiba petjah mendjadi kepompong di Bandung dan dari keadaan chrysalis berkembanglah seorang pedjuang politik jang sudah matang. Dengan Inggit berada disampingku aku melangkah madju memenuhi amanat menudju tjita-tjita,” katanya.

Dari penuturan Sukarno, jelas bahwa Bandung sejak dulu merupakan kota pendidikan atau kota pemuda karena menjadi tujuan para pelajar untuk bersekolah. Sehingga selain memajukan pariwisata, Pemkot Bandung sebaiknya memajukan juga sektor pendidikannya. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//