• Narasi
  • PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Riweuh Melewati Puncak Menuju Bandung

PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Riweuh Melewati Puncak Menuju Bandung

Brau de Saint Pol Lias melakoni perjalanan tradisional dari Bogor, ke Bandung. Ia harus melewati Puncak, berganti kuda dan kerbau untuk menarik keretanya.

Karguna Purnama Harya

Penulis, pengembara dan pegiat sejarah. Tengah studi magister di Arkeologi UI.

Lukisan Raden Sarief Bustaman Saleh berjudul Mail Station at the Bottom of Mount Megamendung (1871). (Sumber Foto: commons.m.wikimedia.org)

6 Juni 2022


BandungBergerak.idTempo hari penulis telah sajikan pada bagian pertama terkait awal perjalanan menembus trayek Buitenzorg-Bandoung yang dilakukan oleh Marie François Xavier Joseph Jean Honoré Brau de Saint Pol Lias, seorang ethnolog asal Prancis yang hendak meneliti salah satu suku di Sumatera yang saat itu masih mempraktikkan kanibalisme, akan tetapi sebelum ke Sumatra ia singgah terlebih dahulu di Pulau Jawa dan hendak melakukan perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) menuju Bandoung (Bandung) untuk menemui koleganya. Perjalanan itu ia awali pada jam 19.00 berangkat dari Kantoor Pos Buitenzorg dengan menggunakan dos-à-dos. 

Lalu bagaimanakah kelanjutan perjalanan Brau de Saint Pol Lias itu? Bagaimana situasi perjalanan saat itu ketika melewati jalur menanjak mengingat jalur Jalan Raya Pos melewati Puncak, Bogor? Apakah si koussir main hajar dan memaksakan kuda untuk tetap menarik dos-à-dos (kereta kuda) dengan segenap bebannya? Ataukah semua penumpang harus turun kemudian berjalan terlebih dahulu hingga menemukan jalanan yang rata? Saat ini ada pom bensin, sementara di abad ke-19, adakah semacam tempat yang berfungsi sebagai pom bensin untuk kuda? Dan apakah hanya kuda?

Semua pertanyaan itu akan dijawab, tentunya bukan oleh penulis akan tetapi oleh catatan perjalanan Brau de Saint Pol Lias sendiri.

Menurut Brau de Saint Pol Lias perjalanan yang ia tempuh dari Buitenzorg menuju Bandung sejauh 80 pal atau sekitar 120 kilometer. Pada saat itu tentu saja pom bensin belum ada, tapi di sepanjang perjalanan tersebut menurut Brau de Saint Pol Lias terdapat les relais des chevaux yaitu tempat penggantian kuda. Jadi seperti halnya pom bensin saat ini, maka saat itu kudanya yang diganti dengan kuda yang lebih segar di tempat penggantian kuda yang jaraknya tidak diinformasikan oleh Brau de Saint Pol Lias, hanya disebut berdekatan saja. Sementara kuda yang lelah setelah dipacu kemudian dibiarkan untuk istirahat dan merumput. Hal itu untuk menghindari kuda yang berontak karena kelelahan.

Kemudian, waktu yang dibutuhkan untuk dos-à-dos dari Buitenzorg menuju Bandung menurutnya adalah selama 15 jam. Jadi ia berangkat pukul 19.00 dan akan sampai di Bandung pukul 09.00. Dari Buitenzorg tersebut dos-à-dos melaju dengan kencang, sepasang kuda tandem itu berlari, bersemangat, dengan ketukan irama tiga galop (suara langkah kuda). Kemudian pada saat tiba di lereng Puncak Megamendung, kuda tidak kuasa untuk menarik beban melalui jalanan menanjak. Saat itu Brau de Saint Pol Lias harus turun, dan juga tentunya si toukang kouda pun demikian.

Baca Juga: PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Dari Bogor ke Bandung
Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19
Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19

Kuda Digantikan Kerbau

Untuk melanjutkan perjalanan hingga jalan yang datar, kedua kuda tersebut dilepaskan dari cengkraman dos-à-dos. Kemudian dos-à-dos pun mencengkram sepasang kerbau yang dikerahkan untuk mengangkut Brau de Saint Pol Lias hingga badan Puncak Megamendung tersebut berhasil dilewati. Di sini koussir tidak berperan, tapi penggembala kerbau yang menjalankan tugas untuk mengarahkan kerbaunya.

Menurut Brau de Saint Pol Lias, ia diyakinkan oleh seseorang bahwa jarang terjadi kecelakaan di sepanjang rute perjalanan dari Buitenzorg menuju Bandung, akan tetapi tetap saja, walau tanpa terjadi kecelakaan, menurutnya perjalanan itu sangat ripuh dan riweuh. Di tengah perjalanan melewati wilayah puncak itu, Brau de Saint Pol Lias melewati tiga pemberhentian, dan di pemberhentian ketiga, agar dos-à-dos tersebut tidak rusak, maka angkutan ini dimodifikasi dengan ditambah bambu yang melintang di bawah agar as roda tidak patah, kemudian sistem cengkeraman terhadap kerbau tersebut diperkuat dengan sepasang bambu di kanan dan kirinya. Jika pada film terdapat judul "Mendadak Dangdut", maka apa yang dialami dos-à-dos tersebut berjudul "mendadak jadi pedati". 

Setelah upacara modifikasi dos-à-dos itu selesai, maka perjalanan dilanjutkan. Si koussir menyilangkan lengan di dadanya dan terlelap. Penggembala sibuk melecut kerbau-kerbaunya yang menurut Brau de Saint Pol Lias kerbau itu tampak tersiksa seolah-olah tengah memimpikan untuk segera pulang berkubang di lumpur kesukaan mereka. Hal itu terbukti sebab pada suatu kesempatan, mendadak kerbau-kerbau itu melenceng dari jalan yang benar. Mereka kemudian berlari menyeberangi parit jalan hingga membuat dos-à-dos melonjak karena melewati tembok pembatas yang lumayan tinggi. Brau de Saint Pol Lias pun melompat keluar dari dos-a-dos.  Mereka mengejar kerbau-kerbau berperut buncit yang mirip kudanil itu, sementara Brau de Saint Pol Lias harus bersabar menunggu di pinggir jalan, hingga akhirnya kerbau-kerbau itu kembali ke jalan yang benar. 

Selama perjalanan menanjak itu, mereka tiga kali berganti kerbau. Sementara salah satu dari sepasang kuda yang digantikan tugasnya oleh kerbau, tetap mengikuti mereka dan diikat di belakang dos-à-dos yang ditarik kerbau itu, tanpa jelas gunanya untuk apa.

Akhirnya, Puncak Megamendung terlewati. Dan tidak terasa jalanan yang seperti lorong dengan pohon-pohon tinggi terlewati. Kebun-kebun kopi terbengkalai dan pohon-pohon pakis berusia ratusan tahun pun mengucapkan selamat tinggal. Dan kemudian Brau de Saint Pol Lias memasuki Priangan. Malam itu cahaya bulan mengiringi perjalanan dan menerangi lanskap baru setelah melewati jalanan menanjak dan berliku. Brau de Saint Pol Lias menggambarkan keadaan lanskap itu yang masih penuh dengan pohon pakis, kemudian variasinya bertambah dengan pohon pisang. Dari kejauhan tampak gubuk-gubuk dan pohon kelapa, dan juga kampung-kampung di sana.

Kemudian kerbau-kerbau lepas dari cengkeraman dos-à-dos 'mendadak pedati' itu. Akhirnya dos-à-dos kembali mencengkeram kuda yang seekor itu. Dos-à-dos pun meluncur dengan kecepatan tinggi di jalanan menurun berliku, yang belokannya muncul di kira-kira setiap 100 meter.

Mereka tiba di tempat penggantian kuda, lalu dos-à-dos pun kembali mendapatkan kuda tandem sehingga akhirnya perjalanan berlangsung dengan kecepatan tinggi. Sementara itu obor dinyalakan karena malam kembali gulita. Akan tetapi obor itu tidak stabil, terkadang mati. Namun perjalanan tetap berlangsung. Si koussir dan toukang kouda kembali bersemangat. Si koussir memacu kuda, sementara toukang kouda berteriak-teriak agar kuda seperti dikejar-kejar banyak orang. Sebanyak 8 pos pun dilewati dan mereka tidak berhenti untuk berteriak dan memacu kuda tandem itu. Akhirnya, tibalah Brau de Saint Pol Lias pada jam 02.00 dini hari di Djandjour (Cianjur). Sementara Bandung masih tujuh jam lagi. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//