• Kolom
  • PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Dari Bogor ke Bandung

PERJALANAN DI PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Dari Bogor ke Bandung

Perjalanan dari Bogor ke Bandung abad ke-19 biasa menggunakan kereta api. Tapi ada juga moda yang tak biasa, yaitu dengan kereta yang ditarik dua kuda.

Karguna Purnama Harya

Penulis, pengembara dan pegiat sejarah. Tengah studi magister di Arkeologi UI.

Hôtel du Chemin de Fer Buitenzorg (Hotel Rel Kereta) di Bogor. Hotel ini dikelola oleh orang Prancis. (Foto Koleksi Tropenmuseum, Sumber: Wikimedia Commons)

23 Mei 2022


BandungBergerak.idSaat ini jika seseorang ingin bepergian dari Bogor menuju Bandung, atau sebaliknya, maka dia akan dihadapkan dengan berbagai macam pilihan, baik pilihan moda transportasi maupun rute perjalanan, siang atau malam, dan waktunya pun relatif singkat, kurang lebih 3 jam jika menggunakan jasa travel. Tapi bagaimanakah jadinya situasi perjalanan di tahun 1880-an dari Bogor menuju Bandung? Jalur mana yang digunakan? Apa moda transportasinya? Bagaimana suasana di tengah perjalanan?

Jawaban semua hal itu dapat kita temukan pada banyak buku, akan tetapi di sini penulis ingin menyajikan satu kasus perjalanan pada sebuah buku catatan perjalanan yang dilakukan oleh seorang ethnolog asal Prancis yang namanya sangat panjang. Jika nama semacam itu ada di Indonesia saat ini, mungkin akan menyebabkan aparat pemerintah dari RT hingga Kecamatan kelimpungan. Terlebih saat mengurus pembuatan KTP.

Namanya adalah Marie François Xavier Joseph Jean Honoré Brau de Saint Pol Lias. Walaupun nama depannya ‘Marie’, tapi dia adalah seorang pria. Nama depan 'Marie' di Perancis memang biasanya digunakan untuk wanita, bisa juga sih digunakan oleh pria tapi jarang. Adapun seringnya 'Marie' dijadikan nama depan majemuk, contohnya pada nama mantan pemimpin partai ekstrem kanan di Prancis (Partai Front National) yaitu Jean-Marie Le Pen yang sekarang digantikan oleh anaknya yaitu Marine Le Pen yang baru saja kalah oleh Emmanuel Macron.

Kembali lagi ke buku yang di dalamnya mengisahkan perjalanan Bogor-Bandung, judul catatan perjalanan karya Marie François Xavier Joseph Jean Honoré Brau de Saint Pol Lias itu adalah De France à Sumatra par Java, Singapour, et Pinang, yang jika diterjemahkan artinya Dari Prancis ke Sumatra via Jawa, Singapura, dan Penang. Buku itu bisa diunduh di koleksi digital Perpusda Kota Berlin.

Di catatannya itu Brau de Saint Pol Lias berniat untuk ke Sumatra guna meneliti praktik kanibalisme (anthropophage) yang ada pada salah satu suku di Sumatra. Tapi selain ke Sumatra dia menyempatkan diri untuk nyimpang heula ke Pulau Jawa. Di Batavia dia disambut oleh Isidore van Kinsbergen yang merupakan fotografer seluruh tinggalan arkeologis yang ada di Pulau Jawa, termasuk salah satunya adalah foto Prasasti Ciaruteun.

Di Batavia dia menginap di Hotel des Indes lalu jalan-jalan melihat-lihat keadaan di sekitar Batavia. Kemudian melakukan perjalanan ke Buitenzorg. Di sana dia cuci mata di Kebun Raya Bogor dan berkuda menuju perkebunan kopi Souka Mantri di kaki Gunung Salak. Di sepanjang perjalanan dia menandai bahwa di sana terdapat pohon-pohon yang menurutnya langka. Di antaranya yaitu pohon karet gueutta-peurtcha, kayu manis, dan cengkih. Selain itu yang unik menurutnya adalah instalasi penjemuran kopi Souka Mantri yang ada di dekat rumah administrator perkebunan, yang bentuknya bedeng-bedeng berangka bambu yang memanjang, dengan konstruksi yang serupa dan simetris.

Di Bogor itu dia menginap di sebuah hotel yang dikelola oleh orang Prancis yaitu Hôtel de Chemin de Fer (secara harfiah artinya Hotel Rel Kereta, penl.). Kemudian dia berkeliaran ke rumah Dr. Ploem yang ada di dekat hotelnya dan juga Stasiun Kereta Batou-Toulis yang merupakan stasiun kereta trayek ke Bandoung. Pasalnya saat ketibaan dia di Pulau Jawa ini dia sangat paranoid oleh nyamuk yang terkenal membawa bibit penyakit malaria. Oleh karena itu dia selalu membawa moustiquaire (moustique artinya nyamuk ; moustiquaire artinya kelambu) ke mana pun ia pergi di wilayah tropis.

Baca Juga: Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19
Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19

Kereta Kuda 

Perjalanannya ke Bandoung ini di luar rencana. Hal itu akibat Kapal Laut jurusan Atché (Aceh) jadwal berlayarnya pada tanggal 25 Maret 1881, sementara saat itu baru menginjak tanggal 18 Maret. Akhirnya untuk mengisi waktu, dia memutuskan untuk pergi ke Bandoung. Tapi tentu saja dia tidak ingin naik kereta api, dia lebih memilih perjalanan, waktu, dan moda yang tidak biasa. Sebelumnya dia mengirim telegram terlebih dahulu ke Monsieur (Tuan, penl.) Halewijn, kenalannya, yang merupakan mantan Asisten Residen Deli, yang kemudian dimutasi ke Bandoung. Lalu jawaban telegram tersebut dia terima dua jam kemudian.

Dia menjelaskan bahwa Bandoung merupakan wilayah utama Priangan dan merupakan salah satu wilayah yang paling kaya disebabkan mayoritas perkebunan kopi Priangan ada di Bandoung yang menyuplai produksi kopi utama. Hal ini dilengkapi data yaitu pada tahun 1877 produksi kopi dari Bandoung mencapai 355.000 pikoul (pikul, 1 pikul = 62,5 Kg), sementara rata-rata produksi tahunan biasanya antara 150.000 hingga 200.000 pikoul. Selain itu Bandoung merupakan wilayah yang paling indah di Pulau Jawa. Dikelilingi oleh gunung-gunung berapi dan juga perkebunan. Salah satu informasi menarik yang ada di balasan telegram yang baru dia terima adalah di Bandoung terdapat perkebunan kina, yang sangat ingin dia lihat bentuknya seperti apa. Di dalam telegramnya, Monsieur Halewijn menyetujui dan kedatangannya pun telah dinanti-nanti.

Perjalanan yang dia pilih adalah melalui Jalan Raya Pos, dengan menumpang kereta kuda dos-à-dos (disebut juga sado, yang arti harfiahnya ‘punggung ke punggung’, penl.) pengirim paket-paket surat, dan perjalanan dilakukan malam hari. Perjalanan pun akan dimulai pada pukul 19.00 malam nanti. Sebelumnya, selepas makan siang dengan nasi, dia pun beristirahat terlebih dahulu mengingat perjalanan jauh yang akan dia lakukan. 

Pada saat jam 19.00 dia telah tiba di Kantor Pos dengan koper kecilnya. Sementara di depan kantor pos kereta dos-à-dos telah siap sedia. Sang koussir telah memerintahkan toukang kouda untuk menata paket-paket surat itu sedemikian rupa di dalam sebuah kotak bagasi yang berfungsi juga untuk tempat duduk. Kemudian ia pun memasang obor bambu yang diletakkan di bagian belakang dos-à-dos. Mungkin saat ini sang koussir dan si toukang kouda tersebut ibarat supir dan kernet-nya. Kemudian, menurut Brau de Saint Pol Lias, dos-à-dos yang mereka gunakan mirip dengan kereta Tilbury yang menggunakan kuda tandem (ditarik oleh dua kuda).

Sesaat lagi perjalanan akan dimulai, dan obor pun telah dinyalakan. Brau de Saint Pol Lias telah beranjak naik dan duduk di samping sang kousir. Begitu pula dengan si toukang kouda yang telah naik di belakang mereka, hanya saja dia berdiri. Dos-à-dos pun siap meninggalkan Buitenzorg pada malam itu.

Itulah awal perjalanan yang akan dilakukan oleh Marie François Xavier Joseph Jean Honoré Brau de Saint Pol Lias yang akan menuju Bandoung. Catatan perjalanan selanjutnya akan penulis sajikan pada artikel berikutnya. Dan kita akan lihat betapa riweuh-nya perjalanan saat itu.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//