• Opini
  • Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19

Saat Suara Meriam Menggema di Puncak Gunung Gede Abad Ke-19

Andries de Wilde bersama Sir Thomas Stamford Raffles mendaki Gunung Gede. Di sana mereka mengibarkan bendera Inggris.

Karguna Purnama Harya

Penulis, pengembara dan pegiat sejarah. Tengah studi magister di Arkeologi UI.

Gunung Gede karya Franz Wilhelm Junghuhn, diambil dari Java-Album, Arnoldische Buchhandlung, Leipzig 1856. (Sumber: Wikimedia commons)

13 Mei 2022


BandungBergerak.idPenulis telah usai menerjemahkan buku karya Andries de Wilde yang berjudul De Preanger Regentschappen Op Java Gelegen yang jika diartikan secara harfiah adalah "Keresidenan Priangan yang Terletak di Pulau Jawa". Saat ini naskahnya telah didigitalisasi oleh Staatsbibliothek zu Berlin (Perpusda Kota Berlin). Pada kata pengantarnya, de Wilde mengatakan bahwa buku itu selesai ditulis dan terbit pertama kali pada tahun 1829 kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1830 oleh penerbit M. Westerman.

Sementara itu, proses penerjemahan yang penulis lakukan memakan waktu selama kurang lebih dua tahun dengan pelbagai perangkat, mulai dari kata-kata baku pada zamannya, teori penerjemahan, Google Translate, dan lain-lain. Mata kuliah Analisis Sumber Tertulis Arkeologi pun harus penulis enyam selama satu semester. Dengan demikian hasil terjemahan diharapkan bisa maksimal, tidak serampangan. Sekarang naskah terjemahan buku De Preanger Regentschappen Op Java Gelegen tinggal menunggu ISBN, lalu naik cetak. 

Kembali kepada isi bukunya de Wilde, di sana banyak peristiwa dan kisah nyata yang pasti akan membuat pembaca masa kini terperangah. Ternyata Priangan ini seperti pedalaman Kongo di Afrika. Banyak hewan buas berkeliaran yang hidup di hutan yang berdampingan dengan permukiman, pesawahan, dan perkebunan. Cara membuka lahan, lalu cara-cara menanam kopi, termasuk cara mengusir badak agar tidak merusak kebun kopi. Terkait penanaman padi di sawah-sawah pun begitu pula, termasuk strategi agar babi hutan tidak mendekat lalu merusak tanaman padi di sawah. Lalu kisah konfrontasi dengan harimau tidak bisa dihindari dan dikisahkan dengan seksama pada buku itu. Dan betapa rakyat jelata terpaksa menjadi korban keganasan harimau hanya untuk menjaga dan membersihkan kebun-kebun kopi di pinggir hutan. Begitu gambarannnya.

Kemudian, di sini penulis ingin menyajikan satu kisah yang sangat menarik yaitu saat de Wilde mendaki Gunung Gede (kini di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, 1.000 - 2.958 mdpl) bersama Sir Thomas Stamford Raffles pada tanggal 26 Februari tahun 1815. Titik awal perjalanan ditentukan di wilayah Gekbron pada pukul 06.00. Pertama-tama, mereka melewati jalanan yang menembus kebun-kebun kopi yang luas, kemudian setelah itu vegetasi berubah lalu mereka mulai memasuki belantara, menaiki punggung Passier Santong.

Mereka menunggang kuda sejauh 2 pal hingga ke wilayah Gossong, saat jalanan terjal di Passier Ipies, mereka harus meninggalkan kuda-kuda itu di sana. Rute yang akan mereka tempuh telah diperhitungkan dengan teliti. Setiap orang membawa tongkatnya untuk alat bantu pendakian. Mereka pun mulai mendaki dengan keberanian penuh karena bukan tidak mungkin hewan-hewan buas menerkam di tengah jalan.

Jalan setapak curam di punggungan gunung lebarnya tidak lebih dari tiga atau empat kaki. Dari tempat mereka berjalan itu, dapat terlihat lembah-lembah yang sangat dalam. Di sebelah kanan sungai Tji-belang dan di sebelah kiri sungai Tji-statong mengalir. Pohon-pohon tinggi besar nan menjulang. Lembah-lembah tampak benar-benar rapat, mengerikan.

Kemiringan gunung dan tanah berlumpur, yang untuk melaluinya, mau tidak mau hanya bisa dilakukan dengan terus mendaki dengan sekuat tenaga. Tampaknya perjalanan itu sangat sulit bagi mereka, tapi harus dilalui sampai batas tertentu, sementara beberapa penduduk asli tampak melintas dengan santai melalui titian tanjakan. Di sepanjang jalur itu kadang-kadang membuat mereka kelelahan lalu berhenti untuk rehat sejenak.

Baca Juga: Pengobatan Paha Robek dan Lengan Buntung ala Priangan Abad ke-19
Sarapan Pagi di Bandung era Hindia Belanda
NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial

Potret Andries de Wilde tahun 1844. (Sumber: KITLV 32979)
Potret Andries de Wilde tahun 1844. (Sumber: KITLV 32979)

Bendera Inggris dan Gelegar Meriam

De Wilde menambahkan bahwa hutan lebat Gunung Gede itu tak tertembus sinar matahari yang bertahan hingga mencapai ketinggian yang cukup tinggi. Keragaman hutan yang kaya, tanaman merambat, atau tanaman sejenis yang berbunga itu merupakan hal yang sangat asing bagi mereka. Pada awal pendakian, di sana-sini muncul monyet hitam di pepohonan, dan kemudian burung-burung, yang jumlahnya semakin berkurang ketika posisi mereka naik semakin tinggi.

Kemudian saat mereka mencapai ketinggian lebih dari lima ribu kaki di atas permukaan laut, penampilan hutan tampak sama sekali berbeda. Tidak hanya berubah spesies kayunya, tetapi juga menjadi lebih jarang, dan ketika seseorang hampir mencapai puncak gunung, hutan itu berakhir menjadi semak belukar.

Andries De Wilde dan Raffles benar-benar kelelahan, akan tetapi tidak lama setelah itu mereka tiba di puncak gunung pada waktu tengah hari lebih beberapa menit. Di sana mereka telah disediakan beberapa buah gubuk, kayu-kayu dan ranting untuk api unggun dan di sebelahnya terdapat tiang bendera. Semua itu telah disediakan sehari sebelum kedatangan mereka oleh tim pendahulu.

Pada saat de Wilde dan Raffles tiba, lalu bendera Inggris pun dinaikkan. Kemudian untuk menunjukkan bahwa para pembesar telah tiba di perkemahan, sebuah upacara penghormatan dilaksanakan disertai dengan tembakan empat buah peluru meriam yang masing-masing beratnya setengah pon, yang dengan susah payah dibawa ke tempat itu. Walaupun kecil kalibernya, namun suara meriam itu tetap bergema sangar di puncak itu dan juga di pegunungan sekitarnya. Terdengar seperti suara geledek. 

Saat mereka tiba di puncak Gunung Gede itu, langit tampak mendung, berselimut kabut, udara membeku. Tapi semuanya berubah saat matahari terbenam. Kabut  menghilang, dan langit biru, sehingga Raffles yang ditemani de Wilde bisa mengamati seluruh wilayah yang menjadi kekuasaannya saat itu. Di sebelah timur tampak Cheribon, gunung Tjermay dan seluruh Bandong. Di timur laut teluk Indramayo, kemudian lebih ke utara tanah Krawang.  

Di sebelah baratnya beralih ke Batavia, dengan kapal-kapal dan semua pulau di sekitarnya, pantai Sumatra, dll., ke arah barat dayanya seluruh Bamtam dan Tangarang, dan lebih jauh di sepanjang pantai selatan ada Wijnkoopsbaai (Pelabuhan Ratu, penulis), distrik-ditrik Djampang dan lainnya. Lebih dekat lagi di hadapan, mereka melihat semua pegunungan Tji-antjoer, seluruh dataran landai ke Batavia, tanah Tjipaniengkies, Baloeboen, dan distrik-distrik Tji-anjoer lainnya, yang panoramanya sangat indah, dan menunjukkan kepada mereka bagian mana yang sudah atau belum digarap. Mata mereka pun berbinar-binar.

Di sisi barat daya puncak tempat mereka berada adalah jurang yang sangat dalam dan lebar yang merekah di tengahnya, tanpa pepohonan, sepenuhnya telanjang dan dikelilingi oleh dinding batu basal, juga oleh tanah datar yang disebut Alon-alon, dan dengan adanya lava hangus dan batu apung yang menutupinya, maka menjadi jelaslah bahwa di sini api dari perut bumi telah berkobar. Setelah matahari terbenam, udara semakin dingin dan mereka pun harus menghangatkan diri dengan api unggun.

Saat tiba di pagi hari suhu udara menunjukkan 45 derajat Fahrenheit (kurang lebih 7 derajat Celsius). Ketika matahari terbit, pemandangannya sangat indah, awan yang menutupi mereka di malam hari telah terbelah dan membuka jalan bagi langit pagi yang cerah yang konon membuat rombongan Raffles itu bahagia bisa memandang bentangan alam yang menakjubkan. Sebuah prasasti batu marmer yang terukir di dalamnya nama-nama mereka yang telah membentuk perusahaan perkebunan telah ditempatkan di puncak gunung sebelum mereka turun.

Mereka turun tepat setelah pukul setengah enam. Perjalanan turun dari puncak gunung adalah hal yang paling sulit, karena mereka dipaksa oleh curamnya gunung untuk selalu berdiri dengan tubuh dalam posisi lurus, hal itu menyebabkan sensasi yang tidak menyenangkan di punggung dan di lutut. De Wilde mengatakan bahwa beberapa orang dari mereka masih merasa pegal-pegal selama beberapa hari. Pukul setengah sebelas mereka tiba di Passier Ipies, tempat mereka menambatkan kuda-kuda yang mereka tinggal di hari sebelumnya. Mereka pun berkuda kembali menuju Gekbron, tempat perjalanan dimulai.

Itu hanya sepenggal kisah pendakian de Wilde, dan masih banyak lagi kisah yang ada di dalam buku “Keresidenan Priangan yang Terletak di Pulau Jawa” itu. Di antaranya pendakian de Wilde ke Gunung Salak yang tidak mudah dan harus bernegosiasi dengan juru kunci Gunung Salak, karena ada larangan khusus bagi Eropa untuk datang ke tempat itu.

Penulis sangat ingin menceritakan kisah Gunung Salak itu, tapi mungkin di lain kesempatan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//