BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #2: Dokter Bedah di Batavia
Sepanjang kariernya di angkatan laut Belanda, ia sempat beberapa kali dipenjara. Kapok jadi tentara, ia kemudian melakoni sekolah kedokteran.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
12 Maret 2022
BandungBergerak.id - Andries de Wilde dilahirkan pada 21 November 1781 di Amsterdam. Ayahnya Cornelis de Wilde (1737-1787) dan ibunya Marretje Harsnis (1746-1810). Cornelis adalah pembuat kapal laut dan saudagar (“scheepstimmerman en koopman”). Selain Andries, pasangan Cornelis dan Marretje dianugerahi anak laki-laki lagi, Christoffel Steitz de Wilde (1784-1860), pada 3 December 1784 (F. De Haan, Priangan, Vol I, 1910: 284; D.M. Campbell, Java: Past and Present, 1915: 651).
Menurut Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 9-11), ketika Cornelis de Wilde meninggal pada 27 Mei 1787, Marretje merasa kesepian dan harus bertanggung jawab membesarkan kedua anaknya. Terutama Andries yang membuatnya pusing, karena hidup dalam fantasi, penuh rencana, dan penemuan-penemuan. Ia kerap mengajukan pertanyaan “mengapa” kepada ibunya, dan mendapati jawaban tidak memuaskan. Dua tahun setelah kematian suaminya, Marretje menyimpulkan kedua anaknya masih memerlukan kasih sayang sosok ayah. Oleh karena itu, ketika ada lamaran dokter bedah muda Johan Frederik Jacob Steitz (1761-1810), ia menerimanya.
Dengan pembawaan selalu tampak gembira dan kekanak-kanakan, Johan dianggap cocok dengan anak-anak mendiang Cornelis. Dia kerap bermain-main dengan Andries dan Christoffel, membawakan buku-buku bergambar, dan menanyai pelajaran Andries di sekolah. Akhirnya Johan dan Marretje menikah pada 12 Juni 1789. Baik Andries maupun Christoffel tidak menganggap Johan sebagai ayah tirinya, melainkan bapak kedua. Kemudian mereka bertambah dua adik laki-laki, yakni Johan Jacob Steitz (1790-1825) yang dilahirkan pada 7 Juli 1790 dan Johan Frederick Lodewijk Steitz (1793-1867) pada 13 September 1793.
Dari ayah keduanya itu, Andries mendapatkan berbagai jawaban atas rasa penasaran yang kerap muncul. Ia juga hendak mengetahui pekerjaan ayah tirinya. Untuk itu, dengan sabar Johan menjawabnya, antara lain mengenai anatomi tubuh, fungsi otot, dan beberapa penyakit. Saat berumur sebelas tahun, 1793, ayah tirinya membawa Andries ke Pulau Jawa dengan menumpang kapal Vredenburg. Maksudnya demi memenuhi rasa ingin tahu sang anak. Pengalaman itu malah menyebabkan Andries memaksa masuk angkatan laut.
Saat itu, meski Belanda sudah diakui sebagai bangsa merdeka melalui Traktat Den Haag 1795, tetapi tetap berada di bawah bayang-bayang Prancis yang sedang bermusuhan dengan Inggris. Andries menjadi magang dalam angkatan laut pada kapal milik Republik Bataaf yang dikomandoi Admiraal De Winter. Ketika bertemu kapal Inggris di Kamperduin pada 11 Oktober 1797, terjadilah pertempuran. Pasukan Belanda dapat dikalahkan dan akibatnya De Winter beserta anak buahnya termasuk Andries dijadikan tahanan (De Haan, 1910: 285; Westland, 1948: 13).
Pasukan Belanda ditahan di London. Selama ditahan, Andries belajar bahasa Inggris dan setiap ada kesempatan kerap menggunakan kemampuan itu, sehingga dengan cepat menguasainya. Ia juga berteman dengan orang-orang Inggris. Setelah Daendels, komandan pasukan Republik Bataaf, dengan bantuan Jenderal Brune dari Prancis, mampu mengalahkan pasukan Inggris di Mons dan Castricum serta menuntun kapitulasi pada 19 Oktober 1799, Andries dilepaskan dan kembali ke Belanda.
Ternyata pengalaman pahit selama dua tahun lebih itu tidak mematahkannya, karena sekembali ke negerinya, dia mendaftar lagi di angkatan laut. Tetapi karena Inggris sudah dapat bangkit lagi, Andries tertangkap dan ditahan lagi selama enam minggu. Untungnya dia memperoleh pertolongan dari seorang perempuan tua di Strand, sehingga dapat meloloskan diri. Barangkali karena kapok di angkatan laut, sepulang ke Belanda, dia menyatakan hendak berniaga. Kemudian atas saran ayah tirinya, Andries disiapkan masuk kuliah ke Universitas Leiden, belajar kedokteran (De Haan, 1910: 285; Westland, 1948: 14-16).
Karena Johan Frederik Jacob Steitz memutuskan untuk menetap di Pulau Jawa, setelah sempat menjadi dokter kapal, keempat anaknya dititipkan pada satu keluarga guru di Leiden.
Baca Juga: Biografi Andries de Wilde #1: Mengapa Mengkaji Tuan Tanah Ujungberung dan Sukabumi?
Terusik Kebijakan Wabah Pes di Jawa Barat
Menimba Strategi Penanggulangan Wabah dari Pagebluk di Masa Lalu
Menyusul Orang Tua ke Jawa
Setelah selesai menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Leiden, Andries menyusul kedua orang tuanya ke Pulau Jawa. Sementara ketiga adiknya masih tertinggal di Belanda, masih belajar. Andries tiba di Batavia pada 19 Mei 1803 dengan menumpang kapal swasta Maria, di bawah komando Kapten J. Muntingh. Dua bulan kemudian, sejak 1 Juli 1803, ia tercatat sebagai dokter bedah di Batavia dengan gaji 30 gulden per bulan dan masa kontrak selama tiga tahun (Westland, 1948: 14-16; De Haan, 1910: 285).
Menurut D. Schoute (De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw, 1936: 10-13), hasil-hasil rapat Raad van Indie atau dewan Hindia Belanda (1800-1811) memutuskan dalam Korte Notulen tentang adanya 150 orang dokter bedah di seluruh Hindia, dengan catatan di luar Pulau Jawa sangat sedikit jumlahnya. Tetapi di Batavia, jumlahnya surplus.
Oleh karena itu, pada 1802, Hoofd der Chirurgie J.G.D. Paschen memohon agar dokter yang tidak dipekerjakan di Batavia ditempatkan di Buiten-Hospitaal. Menurut catatan Paschen pada 1801, di Hindia ada 57 orang dokter bedah, dengan 28 di antaranya dokter bedah sipil dan 29 orang dokter bedah militer. Dari jumlah tersebut 21 di antaranya ada di Batavia dan bekerja di Buiten-Hospitaal, Binnen-Hospitaal, dan Inlandsche Militaire Hospitaal.
Pada 5 Februari 1802, kapten kapal The Fenny Charles yang berbendera Amerika Serikat dari London membawa kabar perihal perdamaian antara Prancis dan Inggris ke Batavia. Meski Perdamaian Amiens itu hanya berusia setahun, tetapi terbilang penting bagi pengobatan di Hindia Belanda. Karena hal itu memungkinkan lagi mendatangkan tenaga kesehatan langsung dari Belanda. Itulah yang menjadi konteks ketika Andries de Wilde memutuskan ke Pulau Jawa dan melamar sebagai dokter bedah di Batavia.
Minat terhadap dinas kesehatan Hindia Belanda memang masih ada, karena sekitar 1802, dua dokter, yaitu J.H. Assink dan P.C. Müller diizinkan untuk menetap di Hindia, 24 dokter bedah diangkat, termasuk 6 oppermeesters, 10 tweede meester dan 8 derde meester. Salah seorang pendatang baru yang kerap menjadi bahan perbincangan adalah Andries.
Setahun sejak diterima bekerja, Andries pada 15 Juli 1804 diangkat menjadi dokter bedah di Buiten-Hospitaal, dengan gaji 50 rijksdaalder per bulan, dengan catatan 1 rijksdaalder sama dengan 2,5 gulden. Dia juga sekaligus dipromosikan menjadi Opperchirurgijn dengan jumlah gaji sama dan kontrak selama tiga tahun. Setahun berikutnya, pada 1805, Andries menjadi dokter bedah pada dragonderlijfwacht dan pada tahun yang sama dia naik pangkat menjadi Chirurgijn-Majoor pada pasukan artileri di Batavia (De Haan, 1910: 286). Sejak 1806, ia menjadi Opperchirurgijn di Priangan (Schoute, 1936: 55).
Tur Vaksinasi ke Priangan
Ketika Andries de Wilde bekerja sebagai dokter bedah di Batavia, sudah ada wabah yang berabad-abad melanda Hindia Belanda. Itulah wabah cacar, yang menurut P. Boomgaard (“Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930”, BKI 159, 2003) sudah ada sejak abad ke-16, sebelum kedatangan orang Eropa dan sejak 1820-an menjadi endemik di Pulau Jawa.
Untuk menangani wabah itu sejak 12 Januari 1804, ada resolusi untuk memperkenalkan vaksinasi cacar ke Pulau Jawa, atas masukan dari Jan Kloprogge, dokter di Binnenregent van het Buiten-Hospitaal Batavia pada 1803. Ia mengajukannya kepada komisaris rumah sakit dan anggota dewan istimewa Wouter Hendrik van Ijsseldijk. Agar lebih kuat, Kloprogge menyertakan hasil kerja vaksinasi di Isle de France oleh La Borde dan La Peyre.
Akhirnya diputuskan untuk mengundang tim dari Isle de France (Mauritius) ke Batavia. Kapalnya sendiri diberangkatkan pada 17 Januari 1804. Dari pengumuman pada 2 Mei 1804, konon, upaya itu berhasil, karena M.R. Gauffre yang memimpin vaksinasi berhasil memvaksinasi 15 orang anak-anak, yang terdiri atas 9 orang anak Jawa merdeka dan 6 orang anak budak belian (J.M.H. Van Dorssen, “Eerste invoering der vaccine op Java en in Indie”, GTvNI, Deel 32, 1893).
Dalam konteks pemberantasan wabah cacar ini pula, Andries de Wilde terlibat dalam tur vaksinasi di Priangan pada 1805 hingga 1807. Sebagai mayor dokter bedah, Wilde menyelenggarakan perjalanan penyuntikan vaksinasi cacar (vaccinetochten naar de Bovenl) di Priangan, termasuk Bogor. Dalam upaya itu, Wilde melibatkan tokoh-tokoh setempat sekaligus penghulu (ulama).
Menurut Schoute (1936: 24-25, 55), pada Februari 1806, Andries berinisiatif untuk menyelenggarakan vaksinasi di Jacatrasche Bovenlanden (Priangan). Konon, saat itu dia sudah berhasil memvaksinasi 17 anak-anak di Tjiceroa (Bogor), sebagai hasil kerja sama dengan bupati Bogor dan mendapatkan bantuan dari penghulu untuk memperkenalkan vaksinasi kepada pribumi. Ulama itu bukan saja hadir pada berbagai penyuntikan vaksinasi, melainkan juga turut menyuntik dua orang anak dan berjanji akan terus melakukannya.
Dalam surat yang dikirim Andries dari Cipanas kepada F.C.H. Assmus, dia menyebutkan upaya vaksinasi itu lebih berhasil ketimbang upaya yang dilakukannya pada pertama kali. Alhasil, pada Februari 1806 tersebut merupakan upaya kedua kali yang dilakukan Andries untuk memperkenalkan vaksinasi cacar ke Priangan. Meski demikian, sebagaimana pertemuan A.L. Jassoy dan Assmus pada Desember 1807, wabah cacar terus terjadi di Priangan.