BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #1: Mengapa Mengkaji Tuan Tanah Ujungberung dan Sukabumi?
Andries de Wilde sosok yang kontroversial. Ia disinyalir memiliki gundik atau selir. Namun di bidang pendidikan ia juga punya peran penting.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
4 Maret 2022
BandungBergerak.id - Suara sumbang terdengar saat kita membicarakan Andries de Wilde (1781-1865), terutama dari kalangan feminis. Salah satunya Tineke Hellwig yang melalui Adjustment and Discontent: Representations of Women in the Dutch East Indies (1994: 21) atau Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007: 19) mengatakan, “Konon beberapa di antaranya, memerintah laksana seorang sultan, misalnya Andries De Wilde, yang tinggal bersama beberapa orang gundik dan mempunyai perempuan muda di antara hamba sahayanya yang katanya membentuk haremnya”.
Konteks Tineke adalah membicarakan tumbuh dan berkembangnya para tuan tanah swasta yang mulai membuka perusahaan dan perkebunan di Pulau Jawa. Bila melihat lebih lekat, ternyata Tineke menyandarkan pendapatnya dari buku karya J.A.A. Doorn, De Laatste Eeuw van Indie (1994).
Di tanah air, Nina H. Lubis berpendapat yang kurang lebih sama. Dalam karyanya, Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800-1942 (1998: 145), ia mengatakan “Daerah yang dibelinya ini kosong tanpa cacah sehingga De Wilde mempekerjakan budak-budak yang dimilikinya untuk menanam padi-padian, beternak sapi, kerbau, dan kuda. Akan tetapi, peternakannya gagal, hewan-hewan itu banyak yang mati. Andries de Wilde memiliki beberapa nyai (selir) wanita Sunda, di samping memiliki istri orang Belanda”.
Saya kira seluruh pendapat tentang De Wilde itu bersumber dari keterangan arsiparis F. De Haan, melalui karyanya Priangan: De Preanger Regentschappen onder Nederlandsch Bestuur tot 1811, Vol I (1910: 291). Di situ, De Haan mengatakan saat berada di Sukabumi, De Wilde jelas menikmati praktik pergundikan, sebelum dia menikah (“Dat De W zoolang hij ongetrouwd was in concubinaat loefde, sprak destijds vanzelf”).
Untuk memperkuat pendapatnya, De Haan menyatakan saat De Wilde kembali ke Belanda pada 1821, ia membawa serta seorang pengasuh dan empat orang anak “adopsi” yang kemungkinan adalah anaknya sendiri (“Toen De Wilde in 1821 naar Indië terugging, behoorde tot zijn gevolg eene kinderjuffrouw en vier ‘aangenomen’ kinderen, waaronder denkelijk zijne eigene”).
Alasan Kajian
Lalu, mengapa saya mengkaji tuan tanah Ujungberung dan Sukabumi itu? Dari sisi feminisme, praktik pergundikan yang dilakukan De Wilde adalah fakta sejarah yang tidak dapat dihapuskan. Itu ekses kekuasaan lebih yang dimiliki tuan tanah, seperti yang ditunjukkan Tineke Hellwig dan panjang lebar dibahas oleh Reggie Bay (Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, 2017).
Sebenarnya ada beberapa alasan yang menyebabkan saya mengangkat lagi figur Andrie de Wilde itu. Alasan pertama dan terutama terpaut dengan pengkajian kesundaan yang dilakukan oleh tuan tanah Ujungberung dan Sukabumi itu. De Wilde adalah orang pertama yang menyusun kamus bahasa Sunda. Hasil karyanya Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek: benevens Twee Stukken tot Oefening in het Soendasch (1841) atau Kamus Belanda-Melayu dan Sunda: beserta Dua Contoh Pemakaian Bahasa Sunda.
Sebelum Wilde, orang Eropa hanya berupaya membuat perbandingan dengan bahasa lokal lainnya dan mengumpulkan kosa kata Sunda. Orang yang berusaha membandingkan itu adalah Josua van Iperen, dalam Nederduitsche Taal, Sundase of Bergtaal, Gemeene Javaanse taal, Javaanse Hoog Dalamsetaal (1780). Sementara yang pertama-tama mengumpulkan kosa kata bahasa Sunda adalah Thomas Stamford Raffles dalam jilid kedua The History of Java (1817).
Dalam praktiknya, setelah terbit, kamus karya De Wilde menjadi rujukan bagi penyusun kamus Sunda-Inggris pertama, Jonathan Rigg, ketika menyusun karyanya A Dictionary of the Sunda Language of Java (1862). De Wilde menjadi inspirasi juga bagi K.F. Holle saat mulai terjun ke dalam pengkajian kebudayaan Sunda tahun 1860-an. Bahkan saya pikir, De Wilde pula yang dijadikan “role model” oleh Holle saat dia mulai melakukan politik asimilasi ketika berkaitan dengan masyarakat pribumi.
Seperti yang ditunjukkan Taco Roorda dalam pengantar Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek (1841: vi), ketika De Wilde pada 1808 diangkat sebagai pengawas budidaya kopi di Keresidenan Priangan, dia segera tersadar demi keberhasilan tugasnya, untuk membiasakan dirinya dengan bahasa, tulisan, dan kebudayaan setempat. Oleh karena itu, dia belajar bahasa Sunda kepada pribumi yang mumpuni.
Pada gilirannya, De Wilde mau menularkan pengetahuan yang dimilikinya kepada pribumi. Itu sebabnya dia mengangkat anak lelaki bupati Bandung dan beberapa anak bangsawan lainnya sebagai anak angkat dan mengajari mereka menulis dalam bahasa Melayu dan Sunda dengan menggunakan aksara Latin dan Cacarakan. Selama dinas luarnya, kesempatan tersebut digunakan Wilde untuk melatih dan mengajari anak angkatnya pengetahuan budidaya kopi dan produk lainnya, sehingga anak-anak pribumi itu dapat menjadi pengawas pengganti manakala De Wilde tidak dapat hadir.
Langkah De Wilde diteladani oleh K.F. Holle saat dia mengajari anak-anak sahabatnya, penghulu besar Limbangan R.H. Moehamad Moesa, untuk dapat membaca dan menulis dalam bahasa Belanda dan mendorong mereka menghidupkan lagi bahasa Sunda sebagai bahasa tulis. Murid-murid atau anak-anak angkat Holle antara lain Raden Suria Nata Ningrat, Raden Kartawinata (1852-1907), Raden Ayu Lasminingrat, dan Raden Ayu Lenggang Kentjana.
Alasan lainnya adalah upaya pemberdayaan masyarakat pribumi secara umum yang dilakukan oleh De Wilde saat dia mengelola tanah miliknya di Sukabumi. Sementara di sisi lainnya dia mengkritisi kebijakan-kebijakan tidak adil yang selalu dilakukan para bupati di Priangan, sehingga memberatkan kehidupan masyarakat pribumi kebanyakan. Dengan demikian, De Wilde bisa dikatakan sebagai perintis politik etis sebelum diluncurkan menjadi kebijakan kolonial pada awal abad ke-20. Pemberdayaan De Wilde ini juga diikuti Holle melalui berbagai upayanya untuk memperbaiki keadaan pertanian pribumi, misalnya melalui berbagai publikasi ihwal pertanian dalam bahasa Belanda dan Sunda.
Dalam kaitannya dengan pertanian dan peternakan, De Wilde punya andil besar dalam kerangka pemerkenalan flora dan fauna baru ke Tatar Sunda. Ia antara lain sempat mendatangkan berbagai jenis kuda, gandum, keledai, tembakau, kepompong dan ulat sutra, sapi Groninger dan Friesche, domba Texel, stroberi, persik, apel rennet, anggur, dan lain-lain. Lagi-lagi langkah ini diikuti oleh Holle antara lain dengan mendatangkan padi Carolina dari Amerika Serikat dan kacang yang kemudian dikenal sebagai kacang Hola.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (33): Gedung Balai Kota Bandung dan Sekitarnya yang Berawal dari Kebun Kopi
Pesona Sejarah Bandung dalam Buku
Menimba Strategi Penanggulangan Wabah dari Pagebluk di Masa Lalu
Sumber Pustaka
Bagaimana cara saya mengetahui jejak langkah Andries de Wilde di Ujungberung dan Sukabumi? Saya mengandalkan dua jenis sumber pustaka, yaitu yang primer dan sekunder. Sumber primer antara lain mencakup karya-karya De Wilde sendiri, yaitu Berigten Betreffende de Landschappen, genoemd de Preanger Regentschappen, op Java Gelegen (1829), De Preanger regentschappen op Java gelegen (1830), Adres aan zijne maj. den koning, wegens het voorgevallene ten aanzien van Soekaboemie (1839), dan Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek, benevens twee stukken tot oefening in het Soendasch (1841).
Salah satu pustaka primer yang sayang belum dapat saya akses adalah naskah catatan harian yang ditulis De Wilde antara 1820-1865. Naskahnya berjudul Dagboek van Andries de Wilde, 1820-1865 dengan kode D H 1164 dan dikoleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Menurut keterangan dalam catalogue.leidenuniv.nl, naskah itu berisi catatan harian yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting keluarga De Wilde, seperti pernikahan, kelahiran, dan lain-lain. Universitas Leiden memperoleh koleksi itu dari A. Vriens-Neijtzel de Wilde di Rijwijk pada 1985.
Sumber primer lainnya berupa keterangan sezaman yang saya timba dari berbagai guntingan koran seperti Bataviasche Koloniale Courant (1810) dan Bataviasche Courant (1819, Java Government Gazette (1812-1816), The Java Journal of Dr Joseph Arnold 3 September-17 December 1815, danThe Java Annual Directory and Almanac (1816). Dan satu disertasi bertajuk Iets Betrekkelijk den Verkoop van het Landgoed Soekabomie.
Sedangkan sumber sekunder yang saya maksudkan adalah profil Andries de Wilde yang disusun oleh F. De Haan dalam Priangan: De Preanger Regentschappen onder Nederlandsch Bestuur tot 1811, Vol I (1910), Java: Past and Present (1915) karya Donald Maclaine Campbell dan novel sejarah karya keturunan De Wilde, Cora Westland atau C.M.E. Wisboom Verstegen-Kautzmann, dengan judul De Levensroman van Andries de Wilde (1948). Mengenai asal-usul saya dapat mengakses novel sejarah itu terbilang sangat menarik. Karena untuk mendapatkannya saya harus meminjam bukunya dari perpustakaan di Australia dan mengembalikannya lagi ke sana.
Mula-mula saya mengontak ahli antropologi dari Universitas Monash Julian Millie pada 28 Juni 2021. Pada 29 Juni 2021, guru besar kajian Indonesia itu mengabarkan telah memesannya ke Australian National Library. Karena Australia lockdown, Julian baru mendapati buku itu di kantornya pada 22 Oktober 2021. Lima hari kemudian dia mengirimkannya ke Indonesia dan bukunya saya terima siang tanggal 30 Oktober 2021. Setelah difoto kopi buku itu dikembalikan lagi pada 24 November 2021 dan tiba di Australia pada 11 Desember 2021. Itulah pengalaman pertama saya melakukan peminjaman buku antarbenua! Sekaligus saya ingin mengabadikan pengalaman yang barangkali akan sulit terulangi lagi.
Kembali ke sumber sekunder. Selain buku-buku itu, saya antara lain memanfaatkan De Geneeskunde in Nederlandsch-lndië Gedurende de Negentiende Eeuw (1934) karya D. Schoute, Raffles Ideas on the Land Rent System in Java (1954) dan Sir Stamford Raffles and Some of His Friends and Contemporaries (2019) karya John Bastin, The Dutch Colonial System in the East Indies (1983) oleh N.A. Klaveren, dan lain-lain.
Fokus Tulisan
Lalu, apakah yang menjadi titik pusat kajian ini? Sebenarnya fokus seri tulisan ini adalah periode ketika De Wilde memiliki dan mengelola tanah Ujungberung dan Sukabumi, yakni antara 1813 hingga 1823. Namun, agar gambarannya lebih luas, saya akan memulainya dengan lintasan sejak dia lahir di Belanda tiba di Batavia pada 1803 sebagai dokter bedah dan diakhiri pada 1841 saat kamus Sunda susunannya diterbitkan.
Dengan demikian, maka kajian ini akan dimulai dengan membahas selintas masa kelahiran dan masa kecil Andries de Wilde di Belanda, hingga dia diangkat sebagai dokter bedah militer di Batavia pada 1803. Dalam kapasitasnya sebagai dokter bedah, dia mengadakan ekspedisi atau tur vaksinasi cacar ke daerah Priangan pada 1807. Tulisan selanjutnya akan berkutat di sekitar pengangkatannya sebagai pengawas kopi di Priangan, dengan tempat dinas di Bandung, antara 1808-1812.
Di masa sebagai pengawas kopilah De Wilde mulai mempelajari bahasa Sunda dan mengajari anak bupati Bandung serta anak-anak menak lainnya agar bisa membaca dan menulis baik dalam aksara Latin maupun Cacarakan. Di masa ini pula dia berupaya mendatangkan dan menangkarkan berbagai jenis kuda dan menanam sendiri gandum sebagai bahan pembuat roti untuk makanannya sehari-hari.
Pada 1812, dia diangkat menjadi asisten residen Bandung. Saat itu kekuasaan di Hindia Belanda berada di tangan Inggris dan orang yang dipercaya sebagai administraturnya adalah Thomas Stamford Raffles. Berkongsi dengan Raffles, McQuoid, dan Engelhard, De Wilde berhasil memperoleh tanah Ujungberung dan Sukabumi pada awal 1813. Dengan jabatan sebagai asisten residen sekaligus salah seorang tuan tanah di Priangan, kemudian sejak 1815 sebagai pengawas vaksinasi, menyebabkan De Wilde lebih banyak mengenal alam Priangan. Dalam kerangka itulah, ia antara lain sempat mendaki Gunung Gede, Gunung Salak, Gunung Tangkuban Parahu, dan Talaga Bodas antara 1815 hingga 1818.
Ia juga berhasil mengadakan berbagai percobaan dengan mendatangkan flora dan fauna ke Priangan. Di antaranya dia mendatangkan keledai dari India pada 1814, menanam tembakau dan mendirikan pabrik cerutu di Sukabumi antara 1818 hingga 1822, dan selama cutinya ke Belanda antara 1821-1822 membawa kepompong dan ulat sutra, sapi terbaik dari ras Groninger dan Friesche, kemudian domba Texel, dan ternak lainnya. Juga buah-buahan seperti stroberi, persik, apel rennet abu-abu, dan anggur.
Namun, nasib baik De Wilde berubah seiring kembalinya Belanda ke Hindia pada 1816. Dengan kebijakan gubernur jenderal baru yang tidak mau ada praktik tuan tanah, plus dukungan bupati Priangan, terutama Cianjur, yang merasa dirugikan oleh De Wilde, akhirnya memaksa De Wilde menjual tanah-tanah miliknya. Mula-mula Ujungberung pada 1819 lalu Sukabumi pada 1823. Itu keputusan berat yang harus diambil oleh De Wilde dan terus disesalinya selama bertahun-tahun kemudian setelah kembali ke Belanda.