Menimba Strategi Penanggulangan Wabah dari Pagebluk di Masa Lalu
Pagebluk di Indonesia bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya sejumlah wabah pernah menyerang. Negeri ini harus selalu belajar dari sejarah.
Penulis Reza Khoerul Iman18 November 2021
BandungBergerak.id – Pandemi Covid-19 menjadi musibah yang menyengsarakan dunia, khususnya Indonesia. Siapa sangka, sebuah penyakit yang awalnya berasal dari Wuhan, Tiongkok, akhirnya dapat menyebar luas ke berbagai penjuru dunia. Tidak dapat dipungkiri, hal ini terjadi sebab ketidaksigapan dari banyak orang, termasuk Indonesia.
Merujuk kepada data sejarah, pandemi Covid-19 bukanlah satu-satunya pagebluk yang pernah menyengsarakan negeri ini. Jauh sebelum Covid-19, Indonesia pernah didera pagebluk seperti sampar, cacar, bahkan flu Spanyol yang mengganas pada tahun 1918-1921. Penting diketahui, flu Spanyol atau influenza yang pernah mendera negeri ini disebabkan oleh ketidaksigapan pemerintah Hindia Belanda. Pada saat itu pemerintah tidak segera menutup akses masuk dan memberlakukan aturan penanggulangannya.
Disadari atau tidak disadari, sejarah kembali terulang. Pandemi Covid-19 yang melanda negeri ini terjadi karena ketidaksigapan pemerintah menanganinya. Tak keliru lagi, belajar dari sejarah menjadi satu kemestian agar kesalahan yang pernah terjadi tidak kembali terulang. Selain itu, sejarah memberikan data terkait pemerintah dan masyarakat tempo dulu dalam menangani pandemi. Hal ini bermanfaat untuk diterapkan dalam kondisi saat ini atau bahkan menjadi dasar lahirnya inovasi terbaru, guna menangani pagebluk masa kini.
Oleh karenanya Pikiran Rakyat bersama Satgas Covid-19 berupaya mengangkat kembali sejarah pagebluk tempo dulu melalui diskusi virtual: “Pagebluk Tempo Dulu dan Refleksi Guna Penanganan Covid-19 di Masa Kini” dengan narasumber budayawan Hawe Setiawan dan penulis Atep Kurnia, Sabtu (13/11/2021).
“Acara ini bertujuan menjadikan sejarah bukan hanya sebatas nostalgia,” ucap Bambang Ariefianto, selaku moderator.
Berkaca pada Sejarah Pagebluk Tempo Dulu
Pagebluk sejatinya sudah cukup akrab terjadi di Indonesia. Awal abad ke-20 negeri ini didera flu Spanyol, selain itu Priangan pernah dilanda wabah sampar, dan wabah cacar yang menjadi pagebluk paling lama bertahan sebab wabah ini terjadi sejak abad ke-16 dan baru dinyatakan tidak ada pada 1980-an. Sekian lama tanah ini telah dilanda dengan berbagai pagebluk dan berbagai upaya dalam penanganannya.
Menanggapi hal ini, Hawe Setiawan menegaskan bahwa kita sebenarnya memiliki pengalaman dalam menghadapi pagebluk. Sejarah seharusnya menjadi modal strategi untuk menangani berbagai hal ke depannya.
“Benar apa yang dikatakan Bambang, jika salah satu strategi yang paling lazim untuk menafsirkan apa yang berlangsung hari ini adalah dengan melihat masa lalu,” ujar dosen Universitas Pasundan (Unpas) tersebut.
Sementara itu, Atep Kurnia memberikan tiga poin yang dapat dijadikan refleksi untuk menangani pagebluk masa kini. Pertama, pendekatan kultural dengan gaya yang lebih lokal. Hal ini dinilai lebih efektif dilakukan untuk mengkampanyekan penanganan wabah, daripada mensosialisasikannya secara medis yang kerap dipermasalahkan oleh warga.
“Pada zaman Belanda berkembang kepercayaan, bahwa ketika datang dokter Belanda itu diartikan sebagai dugaan akan menjadikan pribumi sebagai serdadu kolonial atau dinasranikan,” ungkap Atep Kurnia, penulis buku Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan 1925-1937.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Kampung Patrol, Wabah Pes, dan Pandemi Covid-19
BUKU BANDUNG (10): Ketika Wabah Mengubah Budaya Masyarakat Priangan
Terusik Kebijakan Wabah Pes di Jawa Barat
Atep yakin pendekatan budaya dengan gaya yang lebih lokal dinilai lebih efektif dalam menanggulangi wabah atau pagebluk. Metode ini pernah dilakukan oleh Andries de Wilde, juragan tanah zaman Belanda. Pada waktu itu Andries de Wilde melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam mensosialisasikan bahaua wabah. Upaya Andries de Wilde disinggung pula dalam buku Penghulu Hasan Mustafa. Hasilnya, Andres de Wilde berhasil memvaksin puluhan ribu orang karena menggunakan metode kultural tersebut.
Kedua, pengembangan di bidang pegobatan. Atep Kurnia menyebutkan bahwa impor vaksin sudah dilakukan sejak abad ke-19 dari Inggris dan Prancis. Kemudian produk ini diperkenalkan kepada khalayak umum seperti yang dilakukan oleh Thomas Stamford Raffles.
Namun tidak berhenti sampai sana, pengembangan di bidang pengobatan terus terjadi, sampai akhirnya Hindia Belanda memiliki lembaga pembuatan vaksin sendiri di tanah jajahan ini, yaitu Parc-vaccinogène yang kemudian berubah menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur (kini Bio Farma).
Kemandirian vaksin ini berhasil mengantarkan Hindia Belanda menyempurnakan vaksin pada tahun 1930-an dengan menemukan vaksin kering oleh dr. Louis Otten. Setelah penemuan tersebut, Hindia Belanda sempat dinyatakan berhasil menangani wabah cacar yang sudah ada sejak empat abad. Namun perkembangan sempat terhenti karena pendudukan Jepang di Indonesia. Akibatnya, wabah cacar muncul kembali dari Kep. Riau pada tahun 1947.
“Konon karena ada yang tidak mau divaksin. Kemudian wabah tersebut masuk ke Batavia yang sampai kisaran tahun 1950-an. Wabah ini baru benar-benar dinyatakan tidak ada pada tahun 1980,” tutur Atep yang juga menulis buku Kuris Vaksinasi Cacar di Tatar Sunda 1779-1948.
Ketiga, jangan terpengaruh dengan tradisi lisan. Atep menilai tradisi lisan mempunyai karakteristik yang distortif, alias banyak biasnya. Hal inilah yang menyebabkan banyak informasi hoaks bertebaran di masyarakat, seperti kabar jurig kuris yang tersebar ketika wabah kuris. Akibatnya masyarakat ada yang menanganinya dengan mistis, jauh dari ilmiah, selain itu masyarakat takut untuk melakukan vaksinasi dengan alasan ketakutan yang tak mendasar.