Terusik Kebijakan Wabah Pes di Jawa Barat
Kehidupan warga desa yang bersahaja terusik aturan pemberantasan penyakit pes. Warga dipaksa membangun rumah agar bebas dari tikus.
Penulis Iman Herdiana17 April 2021
BandungBergerak.id - Perubahan tatanan kehidupan karena wabah penyakit menular bukan terjadi kali ini saja di era pandemi Corona. Di masa lalu, penyakit pes pernah menyerang pelosok kampung yang kehidupannya masih lugu dan sederhana, ketika banyak rumah berdinding bambu dengan atap ilalang.
Salah satu wabah terkenal ialah pes atau sampar, penyakit yang disebarkan tikus. Buku “Di Lembur Kuring” yang ditulis Sjarif Amin (1964), merekam bagaimana perubahan yang muncul tiba-tiba pada kehidupan warga desa demi mengimbangi kecepatan serangan penyakit pes.
Namun pada akhirnya, perubahan itu lebih banyak dipicu kebijakan mengatasi pes itu sendiri yang dipaksakan dari pusat kepada warga kampung yang masih lugu. Masa wabah penyakit pes sendiri lebih dikenal sebagai zaman woneng, istilah yang diambil dari nama kebijakan rehab rumah dari bahasa Belanda, yaitu Woningverbetering, dan Woninginspectie: pengawas untuk rumah-rumah hasil perintah Woningverbetering.
“Konon, sajumlah perintah itu muncul gara-gara panyakit pes. Yang pertama mengadakan aturan perintah rehab rumah, ‘Woningverbetering’ dan ‘Woninginspectie’,” ungkap Sjarif Amin.
Dalam bukunya, Sjarif Amin tidak secara eksplisit menyebutkan alamat kampung yang disebut “Lembur Kuring” itu. Yang pasti, kampung (dalam bahasa Sunda: lembur) ini berada di Tatar Sunda atau wilayah Jawa Barat. Sedangkan kata pengantar buku ini ditulis Sjarif Amin di Bandung, Agustus 1961.
Salah satu kebijakan yang dirasa memberatkan warga kampung ialah kewajiban mengubah bilik bambu dan atap rumah. “Ku kuriak woneng katengterman hirup jeung kahirupan di lembur kuring mimiti kagadabah. Sareatna ukur parentah robah bilik jeung suhunan, tapi balukarna ngababuk ka nu lain-lain…”
Zaman woneng melarang penggunaan bambu utuh gelondongan di dalam maupun di sekitar permukiman. Padahal bambu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari warga, bambu sudah dipakai warga secara turun-temurun.
Sehari-hari warga menggunakan bambu untuk dinding rumah, tiangnya, pagar, bahkan lantai rumah pun dari kulit bambu yang disamak. Warga memakai bambu untuk membangun kandang ternak, penyangga kolam ikan. Sampai alat kehidupan sehari-hari terbuat dari bambu, mulai gayung, cangkir, ember timba sumur, celengan, semua dari bambu.
Penggunaan bambu yang masih utuh itu dilarang karena khawatir dipakai sarang tikus, vektor penyakit pes. Akibatnya, rumah-rumah yang umumnya memakai bambu sebagai komponen utama, harus direhab.
“Bahkan pagar belakang rumah yang memakai bambu gelondongan dikikis oleh pegawai desa, di papas sampai tipis. Katanya itu perintah dari atas,” tulis Sjarif Amin.
Songsong untuk meniup dan menyalakan api di tunggu pun tidak boleh! Lobang asap di atap dapur menurut arutan harus 30 cm tingginya. Tidak boleh kurang atau lebih. “Lebih sesenti tidak boleh, kurang sesenti tidak boleh, harus dibongkar lagi.”
“Sehingga bagi sebagian orang tua terasa kiamat muncul perintah woneng yang sepertinya sangat membenci bambu itu,” kata Sjarif Amin.
Perlu diketahui, wabah pes atau sampar yang disebut juga “maut hitam” pernah menyerang nusantara pada awal abad ke-20. Laporan wabah sampar ditulis Atep Kurnia dalam buku “Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan, 1925-1937” (Penerbit Layung dan Ayo Bandung, Garut, 2020).
Penyakit menular ini pertama masuk ke nusantara melalui Malang pada 5 November 1910, lantas menjalar ke seantero negeri. Sampar masuk wilayah Jawa Barat pada 1923. Mula-mula masuk Kuningan, Majalengka, dan Ciamis. Dari situ menjalar ke barat sampai Priangan termasuk Bandung.
Priangan lantas menjadi episentrum sampar di Jawa Barat. Hampir seluruh daerah di Kabupaten Bandung terinfeksi wabah ini. Ratusan ribu orang diperkirakan menjadi korban wabah maut hitam yang disebabkan bakteri Yersinia pestis. Bakteri ini dibawa hewan pengerat seperti tikus. Penyakit ini menyerang kulit, limpa, paru-paru, dan organ tubuh lainnya.
Wabah sampar pernah menjadi pandemi yang disebut wabah “maut hitam” pada abad pertengahan di Eropa dan merenggut sedikitnya 25 juta jiwa.
Hilangnya Tradisi Gotongroyong
Sebelum woneng, sudah tradisi warga kampung bergotongroyong membuat rumah. Model rumah yang mereka bangun terserah selera yang punya rumah. Orang yang punya modal, bisa memakai kayu nangka, johar, atau puspa. Tapi kebanyakan warga memakai bahan kayu biasa saja, yang harganya tidak mahal. Pengadaan kayu juga biasa dilakukan dengan cara barter.
Namun kayu-kayu tersebut tidak bisa menggantikan bambu yang menjadi komponen utama rumah. Bagi warga, bambu sangat serba guna, tiang rumah bisa menggunakan bambu gombong yang dikenal besar dan kuat. Dinding rumah dari anyaman kulit bambu, begitu juga rangka dan siku-sikunya, termasuk jaringan buat atap rumah.
Lantai pun terbuat dari rangkaian bambu yang disebut palupuh. Palupuh yang sudah bertahun-tahun wajahnya bisa sangat mengkilap dan licin. Tidak perlu pakai tikar lagi. Dingin terasa seperti lantai keramik.
Untuk atap, umumnya memakai bahan dari ilalang yang disusun dengan tali bambu. Gulungan ilalang untuk atap bisa setebal kasur. Atap ilalang jenis ini disebut balubur. Agar lebih kuat, atap balubur biasa dicampur ijuk dari pohon aren.
Semua itu harus berubah pada zaman woneng. Atap ilalang harus diganti dengan genting tahan atau seng. Warga diberi keringanan untuk mendapat genting atau seng dari bank desa yang harus dibayar dengan cara dicicil. Dalam pelaksanannya, semua atap rumah, kandang ternak, gubuk di sawah harus memakai genting.
Perubahan drastis begitu tampak. Namun tidak sedikit warga yang kebagian genting kualitas buruk, yang kalau hujan turun, genting tersebut lumer seperti tanah becek. Banyak rumah yang atapnya hancur dan bocor.
Pembangunan rumah zaman woneng berlangsung tergesa-gesa di bawah perintah atau pengawasan mantri woneng. Banyak rumah yang dipaksa dirubuhkan oleh pegawai desa. Banyak kayu yang begitu ditebang langsung dipasang. Padahal ketika zaman normal, kayu untuk tiang rumah biasa dikuatkan dengan cara direndem di kolam atau disimpan di kolong rumah. Tradisi ini dilangkahi di begitu saja.
Kebijakan woneng mengabaikan tradisi bergotongroyong dalam membangun rumah. Di zaman normal, jika ada tetangga yang mau bikin rumah, tetangga yang lain otomatis terjun membantu tanpa diminta bantuan, walaupun dia tadinya akan pergi bekerja.
“Zaman woneng tidak bisa saling tolong lagi karena semua membangun rumah secara serentak. Tidak ada barter kayu yang di zaman normal lumrah terjadi. Semua sibuk bekerja membuat rumah sendiri-sendiri,” cerita Sjarif Amin.
“Akibatnya, hasil rehab seadanya. Rumah-rumah sepintas terlihat bagus. Tapi kekuatannya diragukan. Banyak tiang rumah yang kemudian diserang rayap karena banyak kayu basah yang dipaksa dipakai.”
Kebijakan woneng mengharuskan rumah terlihat transparan, lubang di langit-langit harus besar. Bagi yang rumahnya kecil dengan modal seadanya, terlihat sekali rentan masuk angin!
Begitu rumah jadi, warga sering dikejutkan dengan inspeksi mendadak mantri woneng untuk memastikan kebersihan rumah. Perintah juga mengharuskan ada tempat buat menjemur kasur dan bantal.
Memang banyak yang tertolong dari ancaman bahaya pes. Karena rehab rumah kemudian diikuti dengan suntikan vaksin pencegahan hasil penelitian dokter Otten. “Tapi kemudian malaria merajalela, hampir di tiap tempat yang diwoneng. Setiap rumah rata-rata ada warga yang meriang panas-dingin,” kata Sjarif Amin.
Orang-orang banyak yang pucat pasi karena demam. Mereka mematung di halaman sambil mengunggu jemuran bantal butut yang penuh bekas liur. Atau menjemur kasur yang sudah tak tampak lagi kasur karena penuh tambalan dan bekas ompol.
“Kahirupan terganggu sama pembangunan paksaan. Banyak yang menunda kerja sehari-hari, dipakai mengikuti perintah woneng berbulan-bulan. Banyak yang menjual barang pribadi untuk kebutuhan makan. Pantas banyak yang sakit,” kata Sjarif Amin.
Pembangunan zaman woneng melahirkan kultur negatif berupa kompetisi rumah bagus. Bagi yang punya uang lebih, mereka sengaja membangun rumah tembok dengan kaca. Selesai membangun rumah, mereka perlu meja, kursi, lemari, ranjang besi, dengan penerangan Petromax.
Ada pula yang memaksakan diri menjual sawah, ladang, kolam demi bisa membuat rumah tembok yang bagus.
Selain itu, Sjarif Amin menunjukkan hilangnya kearifan lokal yang selama ini dipegang teguh warga desa akibat pemaksaan pola-pola kehidupan yang berasal dari pusat atau kota. “…Kehidupan di kota beda dengan di kampung. Pola-pola kota tidak bisa dipakai di desa.”
Wabah di masa lalu menjadi pelajaran berharga dalam menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Pemerintah pusat harus memahami kearifan lokal yang tumbuh di masing-masing daerah.
Informasi Buku
Judul: Di Lembur Kuring
Penulis: Sjarif Amin
Penerbit: Ganaco N.V. Bandung 1964
Halaman: 149 halaman