• Berita
  • Bandung Tuan Rumah COE 2021, Kompetisi Biji Kopi Terbaik Dunia

Bandung Tuan Rumah COE 2021, Kompetisi Biji Kopi Terbaik Dunia

Biji kopi pilihan dunia akan diseleksi di ajang Cup of Excellence (COE) 2021. Bandung, yang memiliki sejarah perkopian yang teramat panjang, menjadi tuan rumahnya.

Kompetisi biji kopi terbaik Cup of Excellence (COE) 2021 akan digelar di Bandung, Jawa Barat. (Dok Penyelenggara COE 2021)

Penulis Iman Herdiana25 Maret 2021


BandungBergerak.idIndonesia menjadi negara pertama di Asia yang akan menggelar kompetisi biji kopi terbaik Cup of Excellence (COE) 2021. Bandung, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi gelaran ajang kopi paling bergengsi ini.

Cup of Excellence merupakan ajang kompetisi yang memberikan penghargaan untuk biji-biji kopi terbaik di sebuah negara. COE dimiliki dan dioperasikan oleh Alliance for Coffee Excellence, Inc (ACE), organisasi nirlaba yang berbasis di Portland, Amerika Serikat. Cup of Excellence dimulai sejak 1999 dan disebut telah memberikan manfaat besar bagi petani di negara penyelenggara.

Dikutip dari siaran pers Penyelenggara COE 2021 yang diterima BandungBergerak.id, Kamis (25/3/2021), ajang rutin ini juga dinyatakan berhasil mencipta pasar khusus untuk kopi dengan kualitas tinggi di belasan negara produsen kopi dunia. Negara-negara penyelenggara Cup of Excellence bisa melihat celah manfaat masa depan kopi mereka. Tak hanya bagi para petani, tapi juga bagi pemerintah, organisasi, dan pebisnis kopi.

Keuntungan COE bukan soal finansial bagi petani atau seluruh pemangku kepentingan kopi di sebuah negara. Terpilihnya biji kopi di ajang ini akan membuatnya dikenal dunia sehingga diharapkan bakal mendongkrak level kopi tersebut.

Program COE bakal mengungkap profil kopi-kopi terbaik Indonesia yang layak dijadikan jawara sehingga mampu bersaing dengan kopi terbaik dari seluruh dunia. Negara yang pernah menyelenggarakan COE adalah Brasil, Guatemala, Nicaragua, El Salvador, Honduras, Bolivia, Kolombia, Kostarika, Rwanda, Burundi, Meksiko, Peru, dan Ethopia.

Rangkaian acara CEO 2021 dimulai 21 April dengan membuka pendaftaran bagi para juri nasional yang ingin ikut mencicipi dan menilai kopi-kopi peserta. Penerimaan kopi peserta lomba dimulai 2 Agustus 2021.  Para petani bisa mengirimkan biji kopi hijau terbaiknya ke penyelenggara hingga 20 Agustus 2021.

Kopi yang lolos tahap pra seleksi akan masuk ke babak penjurian nasional, disambung penjurian juri internasional yang direncanakan berlangsung pada 12-15 Oktober 2021.

Tahap terakhir dari kompetisi ini adalah lelang daring yang diikuti semua peserta lelang dari dalam dan luar negeri. Ajang lelang akan berlangsung pada 23 November 2021 untuk lelang COE dan 22-3 Desember 2021 untuk kopi-kopi yang menjadi National Winner.

Balai Kota yang saat ini menjadi kantor Pemerintah Kota Bandung berdiri di lahan bekas Gedung Kopi milik tuan tanah Andries de Wilde yang dibangun pada 1819. (Foto: Humas Pemkot Bandung)
Balai Kota yang saat ini menjadi kantor Pemerintah Kota Bandung berdiri di lahan bekas Gedung Kopi milik tuan tanah Andries de Wilde yang dibangun pada 1819. (Foto: Humas Pemkot Bandung)

Kopi di Bandung

Kopi mewarnai sejarah perkembangan Bandung. Dari pembukaan kebun-kebun kopi di dataran tinggi yang melingkungi Cekungan Bandung pada awal abad ke-19 hingga menjamurnya kafe di Kota Bandung hari ini.

Ryzki Wiryawan, dalam buku Pesona Sejarah Bandung (2020), menyebut produksi kopi, selain kondisi buruk jalanan dan banjir tahunan Citarum, menjadi alasan pemindahan pusat pemerintahan ke arah utara, dari Krapyak atau sekarang Dayeuhkolot ke kawasan Sumur Bandung pada September 1810. Daendels meyakini lahan Bandung utara sangat baik ditanami kopi.

“Karenanya pemindahan pusat pemerintahan Bandung ke utara diperkirakan akan meningkatkan produksi kopi,” tulis Ryzki, pengajar yang juga aktif di komunitas-komunitas sejarah di Bandung.

Ada catatan tentang produksi kopi di Priangan dalam kurun 1808-1811. Di Bandung, volumenya fluktuatif, dari 655.500 pikul pada 1808, melambung menjadi 1.620.200 pikul pada 1809, lalu turun ke 1.042.730 pikul pada 1811. Menurut Ryzki, penurunan produksi itu boleh jadi terkait dengan banyaknya penduduk lokal yang dipekerjakan membangun pusat kota baru.

Ini pula yang menyebabkan nasib pemimpin Bandung mujur. Tidak seperti pemimpin Kabupaten Limbangan yang diberhentikan dengan hormat karena produksi kopi di wilayahnya tidak optimal. Tidak cukup di situ. Kabupaten Limbangan, sama juga dengan Kawasen dan Sukapura, dihapuskan.

Jejak kopi dua abad lalu itu masih terasa hingga hari ini. Ada beberapa tonggak dan monumen penting yang mengawetkannya. Penamaan Pangalengan, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung, misalnya, berasal dari pabrik pengalengan kopi milik Franz Wilhelm Junghuhn. Setidaknya itu yang disajikan oleh Her Suganda dalam buku Preanger Planters (2014).

“Pangalengan artinya tempat pengemasan barang yang terbuat dari kaleng,” tulisnya.

Monumen masa kejayaan kopi yang lain berada tepat di jantung pemerintahan Kota Bandung hari ini. Balai Kota yang menjadi kantor Wali Kota Bandung di Jalan Wastukencana itu dulunya merupakan Gedung Kopi (Koffie Pakhuis) yang digunakan untuk menyimpan hasil bumi sekaligus tempat pengepakan kopi. Pemiliknya, Andries de Wilde, tuan tanah pertama di Priangan.

Gedung Kopi dibangun pada 1819. Pada 1927, bangunan tersebut dirobohkan dan dibekas lahannya didirikan bangunan baru yang dirancang oleh arsitek E.H. de Roo. Bangunan inilah, yang dikenal dengan sebutan Gedong Papak, yang bertahan hingga hari ini.

Dari Warung Kopi ke Coffee Shop

Keberadaan perkebunan kopi di dataran tinggi yang melingkungi Bandung melahirkan budaya minum kopi di pusat kota. Warung-warung kopi bermunculan dalam kurun 1920-1930-an. Tahun-tahun itu merupakan tahun-tahun sibuk bagi Bandung yang disiapkan oleh pemerintah kolonial menjadi bakal ibu kota baru menggantikan Batavia. Tahun-tahun itu juga tahun-tahun sibuk bagi kaum muda Bandung yang aktif di pergerakan.

Saat ini orang masih bisa menikmati sisa-sisa kejayaan warung-warung kopi yang sudah berusia hampir seabad itu. Ada Kopi Purnama, Aroma, Javaco, Kapal Selam, dan Malabar. Sebagian memilih penjualan secara konvensional yang mengharuskan konsumen datang ke lokasi warung atau toko masing-masing. Sebagian yang lain merambah juga penjualan daring (dalam jaringan).

Sejak sedikitnya 10 tahun terakhir dunia perkopian di Bandung memasuki babak baru. Kafe-kafe kekinian (coffee shop) yang menjaring anak-anak muda muncul di mana-mana. Ledakan jumlah toko kopi ini dibarengi dengan semakin beragamnya cara mengolah dan menyajikan secangkir kopi.

Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, diketahui pada 2016 terdapat 116 toko kopi yang tersebar di sekujur kota. Angka ini terus membesar menjadi 139 toko pada 2017 dan 157 toko pada 2018. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//