BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #8: Membeli Lot 3 Tanah Ujungberung
Pada 25 Januari 1813 Andries de Wilde mewujudkan cita-citanya membeli tanah di Bandung senilai 40.000 Rix dollar. Itulah Lot 3 yang berada di timur laut Bandung.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
29 April 2022
BandungBergerak.id - C.G. Blagrave sebagai Acting Secretary to Government (pejabat sekretaris pemerintah), Thomas McQuoid sebagai President of Committee for Sale of Lands (ketua komite penjualan tanah) dan C. Assey sebagai sekretaris pemerintah Inggris di Jawa menyampaikan pengumuman sejak awal November 1812 hingga Januari 1813. Mereka meneruskan keputusan Sir Thomas Stamford Raffles.
C.G. Blagrave dalam Java Government Gazette edisi 7 November 1812 mengumumkan maksud pemerintah untuk menjual sejumlah tanah di Keresidenan Batavia, Karawang dan sekitar Semarang dan Surabaya kepada perseorangan (“Notice is hereby given, That it is intention of Government to dispose of a quantity of LANDS in the Batavian Regency, in Crawang, and in the Environs of Samarang and Sourabaya to individuals”).
Ada beberapa syarat yang diajukan dalam penjualan itu. Di antaranya pembayaran dilakukan dalam bentuk uang perak atau kertas kredit Batavia, dengan perhitungan 6,5 Rix dollar (Rijksdaalders) setara satu perak dollar spanyol. Setengah uangnya harus dibayarkan setelah tanah diberikan dan setengah lagi pada 1 Maret 1813. Semua jasa feodal kepada pemerintah dan semua penyerahan wajib dihapuskan pada tanah yang dijual, dan lain-lain.
Pada 10 Desember 1812 (Java Government Gazette, 12 Desember 1812, Thomas McQuoid menyatakan “bahwa gambaran umum batas-batas tanah yang akan dijual oleh pemerintah di Batavia dan Keresidenan Priangan sekarang sudah dapat dilihat di kantor Residen Bogor, dan deksripsi rinci laporannya sedang disiapkan bersama peta lahan-lahannya, sebuah salinan akan ada di Kantor Kolektor, Batavia, demi keperluan inspeksi sepuluh hari sebelum penjualannya, sehingga pengumuman ini disampaikan”.
Dalam Java Government Gazette (2 Januari 1813), C. Assey yang menulis di Batavia, 18 Desember 1812, menyampaikan bahwa penjualan tanah di Karawang, yang sudah diiklankan pada 1 Januari, ditunda hingga Senin, 16 Januari, di mana pada hari itu akan dibarengkan dengan lahan-lahan yang dijual di Keresidenan Batavia di Stad House, pada pukul 10.00 pagi.
Pengumuman itu diralat dalam Java Government Gazette edisi 16 Januari 1813. Di situ Thomas McQuoid yang merupakan residen Bogor membuat pengumumannya pada 7 Januari 1813. Ia mengatakan tanggal 16 Januari itu terjadi kekeliruan, sehingga dengan maksud membantu niat para pembeli, penjualannya diundur hingga Senin, 25 Januari 1813.
Rangkaian pengumuman di atas merupakan bagian dari ikhtiar Raffles untuk menangani krisis keuangan yang melanda pemerintahannya setelah ekspor barang ke luar negeri macet, sedangkan uang kertas masih banyak beredar. Dari rangkaian inilah Andries de Wilde dapat membeli tanah Ujungberung. Namun, sebelum membahas ke sana, agaknya lebih baik mengurai konteksnya dulu.
Komisi Mackenzie
Ihwal Thomas Stamford Raffles menjual tanah di Pulau Jawa sudah banyak dibahas. Saya antara lain dapat mengikutinya dari karya Henry David Levyssohn Norman (De Britsche heerschappij over Java en onderhoorigheden, 1811-1816, 1857: 293-315), karya Donald Maclaine Campbell (Java: Past-Present, Vol I, 1913), dan yang buku khusus membahas soal tersebut: Raffles’ Ideas on the Land Rent System in Java and the Mackenzie Land Tenure Commission (1951) karya John Bastin.
Dengan demikian, saya akan lebih banyak mengandalkan keterangan dari John Bastin. Menurut John, semuanya berawal dari kepulangan Lord Minto dari Jawa dan Raffles memulai reorganisasi administrasi. Untuk keperluan itu pada 22 Oktober 1811, dia membentuk sebuah komisi di bawah pimpinan dua anggota dewan Hindia Belanda serta diketuai Colin Mackenzie untuk mendaftar semua dokumen dan rekaman dalam arsip di Jawa.
Agar memperoleh informasi mengenai kondisi pertanian dan ekonomi di Jawa, pada 18 November 1811, Raffles mulai mengedarkan pertanyaan kepada mantan pejabat dan yang sedang menjabat, dengan tanggapan yang harus segera diberikan. Selain itu, hingga 19 Maret 1812, Raffles belum merasakan tekanan krisis keuangan yang disebabkan oleh gagalnya ekspor dan depresiasi mata uang kertas. Sebaliknya, ia mengharapkan keuntungan besar dari perkebunan kopi, yang diperkirakan pada akhir Januari 1812 keuntungannya rata-rata 25 persen.
Sejak pertengahan 1812, kegagalan memperoleh pendapatan baik dari barang ekspor atau sumber daya internal Jawa, menyebabkan Raffles mengajukan program reformasi secara drastis. Di samping instruksi Lord Minto tentang reformasi umum, Raffles merasakan desakan untuk menghasilkan pendapatan internal yang cukup untuk menyelenggarakan pemerintahan dan membayar tenaga militer. Caranya dengan menjual tanah, yang maksudnya untuk menarik mata uang kertas dari peredaran (Campbell, 1913: 396; Bastin, 1951: 74)
Gagasan Raffles untuk menjual sebagian tanah pemerintah disampaikan kepada Lord Minto sejak Januari 1812, tetapi tidak berjawab. Ditambah fakta selama 1812, pemerintah banyak mendapatkan tawaran pembelian tanah, yang kemudian diteruskan kepada Komisi Mackenzie untuk dipertimbangkan. Laporan anggota Komisi Mackenzie, yaitu dari Lawick van Pabst, Knops dan Rothenbühler menyokong penjualan tanah sebagai dasar bagi sistem tanam bebas dan perdagangan bebas di Jawa (Bastin, 1951: 75).
Dengan demikian, Raffles memutuskan untuk menjual banyak lahan pada rapat dewan di Bogor, 4 November 1812. Pertemuan itu dihadiri Muntinghe dan Raffles, tetapi tidak oleh Mayor Jenderal Gillespie. Menurut Raffles ada lima manfaat akibat penjualan tanah terhadap mata uang kertas, dua di antaranya pemerintah akan dapat menjual perkebunan dan pemasukan lainnya hanya dengan uang perak; lahan-lahan yang akan dijual berada di Keresidenan Batavia, lingkungan sekitar Semarang dan Surabaya.
Keputusan pemerintah untuk menjual tanah diumumkan dalam Java Government Gazette tiga hari setelah rapat dewan, yaitu pada edisi 7 November 1812. Sekaligus juga dibentuk komite untuk menyurvei tanah-tanah di Keresidenan Batavia, Karawang, Semarang, dan Surabaya, dan mengaturnya menjadi tanah-tanah kavling yang cocok. Untuk Keresidenan Batavia dan Karawang yang ditugaskan adalah Thomas McQuoid (Residen Bogor), P.H. van Lawick van Pabst (anggota Komisi Mackenzie), dan William Offers (Residen Karawang). Untuk sekitar Semarang: R. C. Garnham (Residen Semarang), F. von Winckelmann (Pengawas kehutanan), dan J. Knops anggota Komisi Mackenzie). Untuk daerah Surabaya: A. Adams (Residen Surabaya), F. J. Rothenbühler anggota Komisi Mackenzie), dan P.A. Goldbach.
Komisaris diminta untuk memperkirakan jumlah lahan yang dapat menghasilkan uang sebesar 200.000 dollar spanyol di Keresidenan Batavia dan Karawang. Demikian pula Semarang dan Surabaya, hingga total berjumlah 400.000 dollar spanyol (Bastin, 1951: 77-78).
Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #7: Asisten Residen Bandung
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #6: Mendaki Gunung Tangkuban Parahu
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #5: Nyai-nyai, Kuda, dan Gandum
Tiga Lot di Bandung
Tiga komisaris penjualan tanah di Keresidenan Batavia dan Karawang segera berusaha keras menemukan tanah usaha, yang banyak di antaranya berupa perkebunan kopi yang terbentang dari perbukitan Bogor. Padahal instruksi aslinya mengarahkan pada tanah-tanah yang tak terolah dan perkebunan kopi bisa masuk ke dalamnya dengan alasan untuk membuat jelas batas utara-selatan tanah swasta dengan milik pemerintah.
Sebab tanahnya harus dikavling-kavling sehingga menyebabkan penundaan lelang. Mulanya penjualan diundur dari 1 Januari 1813, sebegaimana yang diumumkan dalam Java Government Gazette ke 15 Januari dan ditunda lagi hingga 25 Januari 1813. Para calon pemilik berusaha mengamankan kavling-kavling tanah itu melalui penawaran pribadi kepada pemerintah, atau mencoba menyogok komisaris.
Penawaran pribadi pertama datang dari J.B. Zimmer yang hendak membeli Lot 1 dan 2 di distrik Karawang dan Lot 1 di Bandung dengan total sebesar 160.000 dollar spanyol. Penawaran itu akhirnya diterima Lawick van Pabst, Offers dan McQuoid, karena harganya lebih tinggi dari harga lelang. Namun, Zimmer akhirnya meneruskan penawarannya (Bastin, 1951: 80).
Untuk wilayah Bandung ada tiga kavling tanah yang dijual. Lot 1 dengan batas Sungai Cikao di utara, Sungai Cisomang di selatan, Sungai Citarum di sebelah barat, dan Gunung Burangrang di sebelah timur. Lot ini terdiri atas 65 kampung atau desa dengan jumlah penduduk sebanyak 2.869 orang, kerbau 724 ekor, kuda 72 ekor, dan menghasilkan 1.099 caeng padi.
Lot 2 dengan batas-batas, di utara Sungai Cisomang, di sebelah selatan dan barat Sungai Citarum, dan di sebelah timur Cimahi. Di sini desanya ada 100 dengan jumlah penduduk sebanyak 4.041 orang, 938 kerbau, 114 kuda, 56 sapi, menghasilkan 1.369 caeng padi, 200.150 batang pohon kopi, dan menghasilkan 1.200 pikul kopi.
Terakhir, Lot 3 yang kavling tanahnya dibatasi Gunung Tangkubanparahu di utara, jalan umum di selatan, sungai di sebelah timur, dan Cimahi di sebelah barat. Jumlah desanya ada 46 buah, penduduknya 2.369 orang, memiliki 862 ekor kerbau, 28 ekor kuda, dan 2 sapi, menghasilkan 389 caeng padi, dan jumlah pohonya sebanyak 307.175 batang yang menghasilkan 1.012 pikul kopi (Bastin, 1951: 81).
Cita-cita yang Terkabul
Bagaimana dengan Andries de Wilde? Ternyata pada 22 Januari 1813, ia melayangkan penawaran pribadi untuk Lot 3 di Bandung sebesar 40.000 Rix dollar, sedangkan Muntinghe menawar Lot 4 di Karawang (Pamanukan) seharga 30.000 uang kertas dollar spanyol. Pada hari yang sama, dewan menyetujui penjualan kavling-kavling itu kepada swasta serta menyerahkan sepenuhnya perkebunan kopi kepada pemilik baru dan urusan garam di Karawang akan dikirim kepada petani, seperti di Batavia (Bastin, 1951: 82).
Menurut pengakuannya, Andries pernah mengajukan pembelian tanah pemerintah pada masa kekuasaan Daendels, dan orang nomor satu di Hindia Belanda itu menjanjikan akan mengabulkannya. Ini mengemuka saat Andries berkirim surat kepada McQuid pada 4 Maret 1814.
Dalam surat Andries menyatakan, “Selama pemerintahan Jenderal Daendels saya mengajukan pembelian lahan perkebunan di Bandung, yang sekarang menjadi milik saya. Ia sebenarnya berjanji mengabulkan permohonan dan menghidupkan semangat saya untuk mengolah tanah serta menyediakan sebagiannya untuk peningkatan pembiakan ternak”.
Menurut De Haan (Priangan, Vol I, 1910: 287), pernyataan Andries sangat aneh, karena Daendels menyatakan penjualan barang di Keresidenan Batavia takkan dilakukan, karena akan menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki lagi bagi budidaya kopi, dan karena ia musuh abadi bagi penangguhan. De Haan juga mencurigai Andries sebenarnya berperan sebagai agen bagi Daendels, sehingga ketika dia mengundurkan diri sebagai gubernur jenderal, maka Andries sendiri yang mengambil alih lahan-lahannya.
Dalam lanjutan surat Andries kepada McQuoid dinyatakan, “Setelah Gubernur Jenderal Janssens tiba, saya mengulangi permohonan dan menerima jaminan yang sama”. Setelah Inggris menduduki Jawa, Andries mengajukan lagi, meskipun tidak dijawab. Dia kemudian memohon batuan dari Gillespie.
Dengan bantuan Gillespie, konon Andries “Merasa terdorong untuk bergerak seraya memulai perbaikan. Akibatnya saya kemudian mengumpulkan seluruh modal, dengan pengeluaran untuk membersihkan tanah, membeli ternak, dan lain-lain, lebih dari 6.000 dollar spanyol sebelum saya menjadi pemilik tanah itu. Tentu saja pengeluaran itu membuat saya khawatir bila permohonan tidak diakui, sehingga akan berbalik menjadi kehancuran total bagi saya, dan janji dari Mayor Jenderal Gillespie serta setelahnya dari Yang Mulia Letnan Gubernur mendorong agar berteguh pada permohonan itu hingga akhirnya tanah itu dijual kepada saya” (De Haan, Priangan, Vol I, 1910: 287-288).
Bukti kegigihan Andries itu adalah terbitnya keputusan pemerintah pada 25 November 1811. Di situ dinyatakan ada kemungkinan untuk memberikan kepada Andries sebidang lahan liar dan belum terolah di wilayah Bandung dengan luas 100 acre. Permohonan itu ada di tangan Komisi Mackenzie yang pada 31 Desember 1811 menyarankan agar menyerahkan lahan itu kepada Andries dengan masa kontrak 25 tahun. Anggota Komisi Tency menilai 6.000 dollar spanyol tidak pantas untuk harga penjualannya. Meskipun konon, penduduknya bubar akibat adanya perkebunan kopi di Cirateun.
Andries de Wilde mengajukan lagi penawaran sekitar Oktober 1812. Dalam permohonannya antara lain dikatakan, “Sejak lama saya memendam hasrat untuk menjadi pemilik sebuah lahan perkebunan, yang bila berhasil dalam jangka waktu dua tahun dengan kuda pembiak dan budidaya biji-bijian Eropa, dan lahan itu saja yang menjadi kemauan saya sehingga tidak akan meluaskan kepada budidaya lainnya. Di Kabupaten Bandung ada beberapa petak lahan yang tidak dibudidayakan atau tak dilakukan pribumi, sehingga pemerintah tidak beroleh pendapatan apapun. Dengan demikian saya memilih menjadi pemilik lahan seperti itu. Karena menjabat sebagai pengawas perkebunan kopi di Bandung, saya dalam waktu bersamaan dapat mengurus lahan perkebunan pribadi, sehingga pemerintah selalu punya hak pertama untuk meminta hasil produksinya”.
Oleh karena itu, Andries memohon petak lahan seraya menjanjikan akan membudidayakannya sekuat tenaga, tanpa bantuan bupati Bandung untuk pembiakan kuda, sapi, dan kerbau. Ia hanya akan mengolah lahannya dengan hamba sahaya miliknya atau memperkerjakan pribumi (“promising to cultivate it as far as lays in my power and that I shall take no assistance from the Regent for the stud of horses, bullocks and buffaloes which I mean to erect there and that I shall cultivate my estate by my own slaves or hired natives”).
Konon ajuan yang terakhir tersebut diteruskan oleh Raffles kepada Komisi Mackenzie untuk dipertimbangkan. Mackenzie sendiri menyebut-nyebutnya dalam surat kepada Lawick van Pabst pada 15 Oktober 1812. Di situ antara lain dikatakan, “Saya melampirkan sebuah salinan pengajuan Tuan De Wilde kepada pemerintah atas beberapa lahan di Distrik Bandung, karena ia khawatir akan diputuskan segera” (Bastin, 1951: 83).
Seperti yang termuat dalam “Letter Book [of the] Commission”, yaitu Letter No. 18, ketika pemerintah mengumumkan akan menjual kavling-kavling tanah di Karawang, Cianjur, dan Bandung pada 7 November 1812, Andries segera melayangkan lagi penawaran pribadi (Bastin, 1951: 83).
Dalam surat dari MacQuoid bertanggal 22 Desember 1812 kepada sekretaris pemerintah, dinyatakan pula maksud Andries de Wilde untuk membeli tanah. Kata MacQuoid, “Saya paham dia memiliki setiap pertimbangan dan dorongan, sehingga akibatnya telah membersihkan dan mengolah sebagian dari kavling yang sekarang dia ajukan pembeliannya, dan menaikkan sejumlah besar uangnya dalam kerangka peningkatan pembiakan kuda dan ternak lainnya di situ”.
Ternyata dengan informasi bertubi-tubi itu, Raffles merasa tertarik oleh Andries. Dengan demikian, Raffles bukan saja mengatakan Andries harus diberi tahu bahwa ketika penjualan tanah dilakukan dia bisa jadi dapat menawarkan harga yang pantas dan logis untuk kavling yang diinginkannya. Itu sebabnya, Andries mengatakannya dalam surat bertanggal 1 Januari 1813, “bidang tanah yang saya ingin beli di Bandung untuk peternakan”.
Dengan demikian, pada 25 Januari 1813, cita-cita Andries de Wilde terkabul. Ia berhasil membeli tanah di Bandung. Harga seluruhnya 6.153 dollar perak spanyol atau setara 40.000 Rix dollar, yang diberi nomor sebagai Lot 3. Sementara Lot 1 dan Lot 2 masih tetap ada di tangan pemerintah. Lahan milik Andries itu berada di timur laut Bandung dan merentang dari Gunung Tangkubanparahu ke jalan utama dan dari Cibeusi di sebelah timur ke Cimahi di sebelah barat, atau dari Pal 119 hingga Pal 138 (De Haan, Priangan, Vol I, 1910: 288-289).