BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #6: Mendaki Gunung Tangkuban Parahu
Letusan Gunung Guntur membangkitkan kesadaran Andries de Wilde untuk mendaki Gunung Tangkuban Parahu. Ia mendaki dengan persediaan ait minum minim.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
16 April 2022
BandungBergerak.id - Seraya duduk, Andries de Wilde menimbang-nimbang betapa indahnya bila ada seorang perempuan Belanda, atau paling tidak sesama Eropa, yang mau berbagi hidup. Bukan hanya karena ia sendiri orang Belanda di antara sekalian orang pribumi, tetapi dalam pandangannya bangsa Eropa itu punya derajat lebih tinggi, meski tidak mengubah pandangannya bahwa pribumi kebanyakan pun sesama manusia seperti dirinya.
Tiba-tiba, Andries melihat beberapa surat di atas meja yang luput dari perhatian. Ada beberapa surat dinas, pesan dari seorang teman di Amsterdam, dan sepucuk dari Christoffel di Surabaya. Adiknya itu menanyakan apakah dia dapat bergabung dengan Andries, karena sedang cuti. Christoffel seperti dirinya terlibat dalam urusan perkebunan. Setelah membaca surat, Andries nampak sangat girang.
Beberapa minggu kemudian, Christoffel tiba di tempat dinas Andries. Betapa senangnya ia karena jadi punya peluang untuk mendiskusikan pengalaman sehari-hari saat makan siang dengan orang yang penuh perhatian. Memang sejak kecil Christoffel kerap mendengar kisah-kisah petualangan Andries saat berdinas di kapal laut. Di matanya, Andries selalu berhasil dengan apa pun yang diupayakannya.
Saat itu terbetik pula gagasan untuk melakukan pendakian ke gunung api lain di sekitar Bandung. Karena letusan Gunung Guntur yang sempat disaksikannya telah membangkitkan kesadaran bagi Andries untuk lebih mengenal gunung api-gunung api lainnya di sekitar Kabupaten Bandung. Itu sebabnya ia berencana mendaki Gunung Tangkuban Parahu. Rencana tersebut dibicarakannya dengan Christoffel.
Uraian di atas saya dapatkan dari buku Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 23-24), yang sebagian besar berlandaskan kepada tulisan Andries sendiri, De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen (1830: 5-14). Namun, sebelum lebih jauh membahas pendakian Andries de Wilde ke Tangkuban Parahu, ada baiknya untuk mengurai dulu biodata Christoffel dan penelusuran data lama terkait Gunung Tangkuban Parahu sebelum Andries mendakinya.
Christoffel Steitz de Wilde
Menurut F. De Haan (Priangan, Vol I, 1910: 284) dan nlwiki.org, Christoffel Steitz de Wilde (1784-1860) lahir pada 3 Desember 1784. Setelah ayah kandungnya meninggal pada 1787, ia dibesarkan ayah tirinya Johann Friederich Jacob Steitz (1761-1810). Sebagai tanda hormatnya, Christoffel menambahkan nama keluarga ayah tirinya kepada namanya sendiri, sehingga nama lengkapnya menjadi Christoffel Steitz de Wilde.
Christoffel datang ke Pulau Jawa pada 8 Mei 1803, barangkali langsung bergabung dengan ibu dan ayah tirinya di Surabaya. Pada November 1813 dan 1815, ia tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga tinggal bersama Andries di Bandung. Antara 1816 hingga 1819, Christoffel bekerja di pemerintahan kolonial sebagai pengawas kopi. Pada Agustus 1819, dia meminta berhenti dari pekerjaannya dan kemudian menemani kakaknya ke Eropa. Bersama Andries, ia kembali ke Pulau Jawa pada 1821.
Christoffel pertama menikah dengan Wilhelmina de Klerck dan dikaruniai tiga orang anak, tetapi semuanya meninggal ketika kecil. Setelah Wilhelmina meninggal, Christoffel menikahi Johanna Catharina Jongeneel (1802-1853) pada 1820. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai sebelas anak. Anak sulungnya Johan Frederik de Wilde (1822-1825) yang meninggal dunia dalam usia dua tahun dan anak bungsunya Christoffel de Wilde (1836-1902), menjadi pendeta di s-Heer Abtskerke, Poortvliet dan Schiedam. Anak-anak perempuannya menikah juga dengan pendeta.
Kembali kepada Christoffel. Ia sepenuhnya kembali ke Belanda pada 1826. Di negeri kelahirannya itu, ia bekerja sebagai notaris di Utrecht. Dia dikenal juga sebagai seorang pelukis dan juru gambar yang aktif antara 1799 hingga 1860. Christoffel biasanya menggunakan cat air dan cat minyak untuk membuat lukisannya. Beberapa gambarnya digunakan sebagai ilustrasi dalam buku yang ditulis oleh Andries de Wilde, De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen (1830).
Sebagai juru gambar, Christoffel mempunyai tempat di lingkungan lusinan seniman yang berkontribusi pada pemetaan kepulauan Nusantara dan Jawa khususnya, terutama dari sudut pandang geografi dan etnografi. Konon, nilai budaya-sejarahnya yang menjadi warisan penting Christoffel, bukan capaian artistiknya. Karya-karyanya banyak dikoleksi Universiteitsbibliotheek Leiden.
Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #3: Penerjemah Mas Kalak
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #4: Takut Tarogong Terkubur seperti Pompeii
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #5: Nyai-nyai, Kuda, dan Gandum
Data Lama Tangkuban Parahu
Kita beralih ke data lama terkait Gunung Tangkuban Parahu sebelum Andries de Wilde mendakinya. Dari data-data yang terkumpul dari buku Priangan (Vol I, 1910; Vol II, 1911; Vol III, 1912; dan Vol III, 1912) karya De Haan saya jadi tahu Gunung Tangkuban Parahu sudah diberitakan sejak awal abad ke-18.
Dalam resolusi 13 Agustus 1713 disebutkan Gubernur Jenderal Van Riebeeck memerintahkan untuk melakukan perjalanan ke gunung-gunung di wilayah Jakarta dan Bandung demi mengonfirmasi tempat-tempat yang menghasilkan belerang. Untuk 1714, konon, dari Gunung Papandayan, Patuha, dan Tangkuban Parahu yang terletak di Distrik Bandung harus disediakan tenaga kerja sebanyak 100 hingga 150 orang pada masing-masing gunung (“voor den jare 1714, uijt de bergen Papandaijang, Patoea en Tancoebangpraou, gelegen in ’t district van Bandong, te laten afbrengen 100 a 150 menschendragten”) (De Haan, Vol II, 1911: 404-405; Vol III, 1912: 104; Vol IV, 1912:46).
Dari keterangan itu, paling tidak hingga 1713, Gunung Tangkuban Parahu sudah dikenal sebagai salah satu tempat penghasil belerang di Priangan. Bahan tambang tersebut digunakan VOC sebagai salah satu bahan pembuatan mesiu.
Seabad kurang dari keputusan VOC itu, ahli naturalis berkebangsaan Amerika Serikat Thomas Horsfield mengadakan pendakian ke Tangkuban Parahu pada Juli 1804. Menurut John Bastin (“The American Naturalist, Thomas Horsfield in Java” dalam Sir Stamford Raffles and some of his friends and contemporaries: a memoir of the founder of Singapore, 2019), Horsfield adalah naturalis Amerika pertama yang mempelajari flora, fauna, entomologi dan geologi Jawa. Koleksi sejarah alamnya yang beraneka ragam menjadi koleksi komprehensif pertama dari Indonesia yang dibawa ke Inggris.
Pendakiannya ke Tangkuban Parahu didedahkannya dalam “On the Mineralogy of Java” (dimuat dalam VBG, vol. VIII, no. V, 1816). Di dalamnya antara lain dia mengatakan “I shall first detail the remarks I made on the Northern branch-At a small distance to the Eastward of the Buang-rang (whose forin and neighbourhood sufficiently prove its volcanic constitution) we meet the mountain called Tankuban-prau” (Terlebih dulu akan merinci keterangan yang saya buat pada cabang utara-pada jarak pendek ke arah timur Burangrang [yang lingkungannya cukup membuktikan keadaan kegunungapiannya] kita akan bertemu dengan gunung yang disebut Tangkuban Parahu) (Horsfield, 1816: 19).
Pada halaman yang sama ia menyatakan: “Saya mendakinya pada Juli 1804. Setelah meninggalkan Kampung Chiratton (Cirateun), jalan ke puncak melewati hutan rapat berpepohonan besar dan rimbun, yang tumbuh dalam tanah yang sangat subur dan merangsang pertumbuhan. Pendakiannya sangat bertahap. Bentuk gunung ini merupakan salah satu gunung api sangat menarik di Jawa. Meski tidak ada letusan dahsyat selama beberapa lama, sebagaimana yang terbukti dari majunya vegetasi dan cetakan hitam melingkupi sisi-sisinya, sehingga bagian dalamnya terus ada dalam keadaan aktivitas tak terputus”.
Horsfield kemudian turun ke salah satu kawah Tangkuban Parahu. Menurut Bastin (2019: 105), meskipun Horsfield tidak menyebutkan nama kawah yang diperiksanya, itu merupakan Kawah Ratu. Demikian pula untuk Kawah Upas, kawah terbesar kedua, tidak disebutkan Horsfield.
Tiga tahun setelah Horsfield mendaki, pada 1807 sudah tersiar kabar tentang Pieter Engelhard yang mengusahakan perkebunan kopi di lereng Tangkuban Parahu (De Haan, Vol I, 1910: 151). Perkebunannya terletak di lereng selatan dan diusahakan oleh penduduk di sekitarnya (De Haan, Vol I, 1910: 155). Perkebunan itu antara lain dilaporkan oleh Van Lawick pada 21 Juli 1807 (De Haan, Vol III, 1912: 583). Carl Wilhelm Thalman dan kawan-kawan yang juga melaporakannya pada 1807 dengan menyebut-nyebut adanya “Berg Tjieratti” atau Gunung Cirateun di lereng selatan Tangkuban Parahu (De Haan, Vol III, 1912: 612).
Itulah sekilas tinjauan mengenai Tangkuban Parahu sebelum Andries de Wilde dan adiknya mendaki. Yang terang, menurut Bastin (2019: 105), gambar Tangkuban Parahu pertama dibuat oleh Dr. Joseph Arnold pada 1815, termasuk dasar kawah yang diambil dari barat laut Kawah Ratu. Gambar pertama Kawah Ratu dan Kawah Upas yang akurat dibuat berdasarkan survei S. Muller dan P. van Oort tahun 1832. Sementara gambaran grafis pertama Kawah Ratu berupa litografi hitam-putih dibuat Christoffel Steitz de Wilde dan dimuat dalam buku kakaknya.
Mengulang Jejak Horsfield
Kapankah Andries de Wilde mendaki Tangkuban Parahu? Merunut pendapat Bastin (2019: 105) itu terjadi sekitar 1812, yang berarti ketika masa kerjanya di Tarogong atau di ibu kota Bandung menyusul pengangkatannya sebagai asisten residen Bandung. Sementara bila merujuk keterangan De Haan (1910), kemungkinan pendakian itu dilakukan pada 1813, mengingat Christoffel baru tinggal bersama Andries pada 1813.
Sedangkan motif yang melatarinya adalah keinginan Andries untuk melihat binatang liar dan meneliti alam. Katanya, “Keinginan untuk melihat binatang-binatang liar dari dekat yang menyebabkan kami melakukan perjalanan ke Gunung Tangkuban Parahu serta untuk meneliti keadaan alamnya. Menurut kesaksian pribumi berusia sangat tua, sebelumnya tidak pernah ada orang yang berani melakukannya, baik orang Eropa maupun pribumi” (1830: 5, terjemahan Karguna Purnama Harya).
Dengan pernyataan itu sebenarnya Andries keliru. Karena sejak abad ke-18 sudah ada pertambangan belerang di Tangkuban Parahu, termasuk tentu saja mencakup kawah-kawahnya, yang dilakukan oleh pribumi atas perintah VOC. Bahkan juga penyerahan belerang itu merupakan bagian dari penyerahan wajib oleh bupati Bandung kepada VOC.
Pada tuturan selanjutnya, ia bersama saudaranya dipandu pemuka pribumi berangkat dari ibu kota Bandung ke arah utara, dengan titik keberangkatan terakhir di Kampung Cirateun. Sejak memasuki luar kota, jalanan kian menanjak ke arah pegunungan. Rombongannya menunggang kuda, meski tidak lama, karena jalanan kian menetak. Setiba di Tangkuban Parahu, keadaannya sangat muram, sisa kehancuran kehidupan tersebar di mana-mana. Kawahnya berukuran sangat besar dan kolam belerang mendidih seperti ombak pecah di batu karang (Wilde, 1830: 6-7).
Setelah pemuka pribumi melakukan ritual untuk penguasa kawah yang disebut Dalem Ratu, rombongan Andries turun ke Kawah Ratu. Kemudian dengan susah payah, ia juga turun ke Kawah Upas (Wilde, 1830: 8-9). Yang menarik, ketika mendapati kolam belereng di kawah itu, Andries mengambil airnya sebotol yang konon kemudian diberikan kepada Sir Stamford Raffles, yang mengirimkannya ke Inggris untuk diteliti lebih lanjut (Wilde, 1830: 11).
Dengan keadaan letih, untuk pulang rombongan Andries de Wilde harus mendaki lagi kawah, padahal ketika berangkat dari dusun terakhir, Cirateun, mereka lupa membawa persediaan air minum. Apalagi mereka harus menembus hutan belantara sebelum tiba pada tempat menambatkan kuda. Mereka hanya mengandalkan air dari pucuk-pucuk tanaman. Hasil pendakian itu kulit tangannya lecet-lecet, pakaian dan sebatu botnya robek. Dalam keadaan itulah, rombongan Andries tiba kembali ke ibu kota Bandung saat larut malam (Wilde, 1830: 13-14).
Dengan demikian, dapat dikatakan pendakian Andries de Wilde bersama adiknya itu sebenarnya mengulangi jejak langkah yang pernah dilakukan oleh Thomas Horsfield sebelumnya. Jelas mereka berdua bukan orang yang pertama turun ke Kawah Ratu dan Kawah Upas.