• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #5: Nyai-nyai, Kuda, dan Gandum

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #5: Nyai-nyai, Kuda, dan Gandum

Paling tidak ada enam nyai-nyai yang sempat menjadi teman hidup Andries de Wilde, sebelum ia resmi menikah dengan Cornelia Henrica Nytzel.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Kawah Talabodas sebagaimana dilukis oleh J.C. Rappard (1824-1898) sekitar tahun 1880-an. (Sumber: Tropenmuseum dan Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen)

2 April 2022


BandungBergerak.idSelama tahun 1809 hingga Inggris menduduki Jawa pada 1811, apa saja yang dilakukan oleh Andries de Wilde di ibu kota Distrik Timbanganten, Tarogong? Untuk menjawabnya, sebagian saya peroleh dari daftar nyai-nyai yang hidup bersama Andries selama masa tinggalnya di Priangan, yang diperkuat keterangan dalam roman biografisnya, serta keterangan Andries sendiri dalam buku yang ditulisnya.

Perihal daftar nyai-nyai yang pernah hidup bersama Andries saya dapatkan dari genealogieonline.nl/en/stamboom-potman. Dari daftar itu, paling tidak ada enam nyai-nyai yang sempat menjadi teman hidupnya, sebelum resmi menikah dengan Cornelia Henrica Nytzel (1803-1892). Di antara keenam nyai-nyai itu ada yang disebutkan namanya, tetapi ada pula yang tidak disebutkan identitasnya.

Secara berurutan, nyai-nyai itu adalah Maner (Mawer), NN, Keijzem, Sarina, Mina, dan Kartini (1794-1819). Ketiga nyai-nyai yang awal barangkali menemani hidup Andries semasa-masa kerjanya di Batavia sebagai dokter bedah dan pengangkatannya sebagai pengawas perkebunan kopi serta asisten pribadi W.H. Daendels di Bogor, antara 1803 hingga awal 1809.

Sementara dari Sarina hingga Kartini mewakili nyai-nyai yang menjadi pasangan hidup Andries semasa bekerja di Tarogong, Bandung, hingga menjadi tuan tanah Ujungberung dan Sukabumi antara 1809 hingga 1823. Dari keterangan itu, saya juga memperoleh data nama anak-anak Andries de Wilde, terutama dari Sarina.

Nyai Sarina

Sebelum lebih jauh membahas Sarina dan anak-anaknya, saya akan mengurai sejarah pergundikan di Hindia Belanda, dari Reggie Baay (Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda, 2010).

Menurut Reggie (2010: 1), “Dalam penantian terhadap calon isteri Eropa yang sesuai, laki-laki Eropa pun ‘memuaskan’ diri bersama perempuan Pribumi muda. Hal semacam ini sangat sering terjadi pada masa kolonial. Menurut kebiasaan yang berlaku, sang gundik dapat disuruh pergi kapan pun sang laki-laki menginginkannya – meskipun hubungan tersebut telah menghasilkan anak. Kondisi tersebut tidak bisa lepas dari nasib gundik Pribumi dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda”.

Praktik pergundikan di Hindia sudah berlangsung sejak zaman Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Penyebabnya “daerah-daerah pendudukan di Asia dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat laki-laki dan kebanyakan merupakan pegawai VOC berpangkat rendah yang masih lajang” (Baay, 2010: 2), sehingga kekurangan perempuan Eropa dan menyelesaikannya dengan mengambil gundik Asia dari para budak perempuan.

Gubernur Jenderal J.P. Coen melarang praktik demikian pada 11 Desember 1620, dan gantinya meminta calon-calon pengantin perempuan kulit putih kepada Heren van de Compagnie. Sementara Gubernur Jenderal C. Reyniersz (1650-1653) dan J. Maetsuyker sangat mendukung perkawinan dengan perempuan Asia atau Eurasia. Bahkan diberlakukan juga larangan emigrasi bagi perempuan Eropa, pada 1669 aturannya diperlonggar dan larangan dihentikan (Baay, 2010: 2-5).

Dalam perkembangannya, sejak paruh kedua abad ke-19, jumlah pergundikan di Hindia meningkat tajam. Hingga 1860, masih disembunyikan karena biasanya terjadi antara majikan dan budak rumah tangga. Antara 1860-1870-an terjadi perubahan penting mengenai pergundikan karena antara lain adanya penghapusan perbudakan sejak 1818 sehingga memaksa laki-laki Eropa yang hendak bergundik mencarinya di antara perempuan bebas Nusantara, dengan kamuflase sebagai pembantu rumah tangga (Baay, 2010: 21).

Selain itu, pembukaan Terusan Suez pada 17 November 1869 yang memperlancar transportasi laut dari Belanda dan terbitnya Undang-Undang Agraria De Waal tanggal 9 April 1870 yang membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk berusaha di Hindia, turut mempengaruhi praktik pergundikan di Hindia (Baay, 2010: 22).

Itulah latar belakang saat Andries de Wilde memutuskan mengambil gundik dari kalangan pribumi, barangkali sejak pengangkatannya sebagai dokter bedah pada 1803. Andries yang lahir pada 1781, ketika tiba di Batavia sudah berumur sekitar 22 tahun, yang berarti sudah cukup umur untuk menikah. Namun, alih-alih menikahi perempuan Eropa, ia mempraktikan pergundikan dengan perempuan pribumi. Saat itulah, barangkali dia mengambil Maner atau Mawer sebagai nyai-nyai pertamanya.

Namun, dari keenam gundik Andries paling penting barangkali Sarina. Karena dari rahimnya lahir lima orang anak Andries de Wilde, yaitu Andries Herman de Wilde (1810-1882), Maria Elisabeth de Wilde (1811-1835), Johanna Christina de Wilde (lahir 1812), Maria Elisabeth de Wilde (1812-1814), dan Louisa Catharina de Wilde (1815-1879). Bila melihat tahun-tahun kelahiran anak-anaknya itu, hubungan Andries-Sarina dapat dibilang mencakup periode ketika Andries berdinas di Tarogong hingga menjadi tuan tanah Ujungberung dan Sukabumi.

Nama Sarina muncul dalam buku Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 22). Cora menyatakan setelah Gunung Guntur meletus, Andries teringat kepada orang tua dan rumah lamanya di Amsterdam. Oleh sebab itu, dia menyambangi kedua orang tuanya yang tinggal di Surabaya dan saat itu adiknya, Christoffel, sudah bergabung. Ia terkesan dengan atmosfir yang diciptakan ibunya dan menapikan perempuan pribumi dapat melakukannya.

Tentang Sarina digambarkan bahwa dia gadis cantik yang sudah hidup bersama Andries selama dua tahun sebagai pembantunya (“het mooie jonge meisje, dat twee jaar geleden gedurende enkele maanden bij hem was geweest als zijn huishoudster”). Sarina sangat ramah dan baik kepada Andries sehingga ia selalu mengenangkan kecintaan kepada gadis itu.

Konon, menurut Cora, ketika Sarina pulang kampung, untuk menjumpai orang tuanya, ia terkena wabah cacar dan disebutkan meninggal dunia. Dengan demikian, Sarina menghilang dengan tidak diketahui dari kehidupan Andries seperti awal kemunculannya. Dan meski betapa manis dan pedulinya Sarina, dalam kaca mata Andries, ia tidak dapat menggantikan sosok dan atmosfir yang diciptakan ibunya.

Bagaimana nasib anak-anak Andries dari Sarina? Saya menemukan jawabannya dari keterangan F. De Haan (Priangan, Vol I, 1910: 291). Di situ dikatakan ketika pergi ke Belanda pada 1821, Andries membawa serta seorang pengasuh dan empat anak “adopsi”. Menurut De Haan, pada 31 Agustus 1812, Maria Elisabeth yang beribukan perempuan Jawa diadopsi sebagai anak Andries. Anak itu kemungkinan yang disebut Betsy dan menikah demham Bodeman.

Pada 11 Februari 1814, salah seorang anaknya dikatakan meninggal dunia. Bisa jadi itulah Maria Elisabeth de Wilde (1812-1814). Kemudian anak perempuannya yang lain menikah dengan seseorang yang bernama Akking. Seorang anak perempuan yang disebutkan “bukan anaknya”, yaitu Johanna Christina de Wilde (lahir 1812) disebutkan menikah dengan arsitek John Thomas Hitchcock (meninggal di Batavia, 21 November 1844).

Ada seorang anak lagi Andries dari nyai-nyai yang tidak disebutkan namanya. Kata De Haan, pada 1830, N. Engelhard bersurat dengan J. De Wilde, seorang sersan kadet di Batavia. Ia mengaku ayahnya sedang di Eropa dan kemenakan laki-lakinya adalah Andries Herman de Wilde. Sementara Andries Herman de Wilde pada 23 Mei 1813, ketika berumur 3 tahun, dikatakan anak Christ dan Wilhelmina de Klerk, tetapi kemudian diakui sebagai anak adopsi Andries de Wilde.

Baca Juga: Biografi Andries de Wilde #2: Dokter Bedah di Batavia
Biografi Andries de Wilde #3: Penerjemah Mas Kalak
Biografi Andries de Wilde #4: Takut Tarogong Terkubur seperti Pompeii

Seorang tentara sedang melatih kuda di Remonte Depot Padalarang, sekitar tahun 1930. (Sumber: KITLV 27059)
Seorang tentara sedang melatih kuda di Remonte Depot Padalarang, sekitar tahun 1930. (Sumber: KITLV 27059)

Peternakan Kuda

Selama masa dinasnya di Tarogong, Andries mulai memperhatikan peternakan kuda. Pengalaman ini ia terangkan di dalam De Preanger Regentschappen op Java gelegen (1830: 233-234). Katanya, “Het ras van koeijen en paarden kan aanmerkelijk verbeterd worden. Sinds het jaar 1809 heb ik mij daarop bijzonder toegelegd ; en wie weet op Java niet, dat er in het jaar 1819 mijne paardenstoeterij de rijkste en beste was? Honderde paarden, uit Arabisch, Perzisch en Engelsch ras, zullen daarvan nog aanwezig zijn”.

“Jenis sapi dan kuda dapat ditingkatkan secara signifikan. Sejak tahun 1809, saya telah memusatkan perhatian pada hal ini secara khusus. Di Jawa pada tahun 1819, siapa yang tidak tahu peternakan kuda saya adalah yang terkaya dan terbaik? Seratus kuda, keturunan Arab, Persia, dan Inggris, dapat tetap bertahan di sana” (terjemahan Karguna Purnama Harya).

Dengan demikian, kita dapat menyambungkan peternakan kuda yang diusahakan oleh Andries itu dengan sejarah perkembangan umumnya di Asia Tenggara dan Hindia Belanda, sebagai latar belakangnya. Menurut Greg Bankoff dan Sandra Swart (“Breeds of Empire and the ‘Invention’ of the Horse” dalam Breeds of Empire: The ‘Invention’ of the Horse in Southeast Asia and Southern Africa 1500-1950, 2007: 1, 12-13) kuda didomestifikasi sekitar 5.000 tahun yang lalu di stepa Asia Tengah dan penggunannya menyebar ke Tiongkok, India, Asia Barat, dan Afrika selama milenium kedua Sebelum Masehi.

Kuda mencapai Asia Tenggara via Yunnan dari Tiongkok, sekitar akhir abad ketiga Masehi dan mencapai Indonesia sebelum abad kesembilan Masehi, meski jumlahnya masih sedikit sebelum tahun 1200. Dengan bangkitnya negara-negara kolonial selama abad ke-17 dan 18, antara lain dalam bentuk VOC, menyebabkan kuda kian tersebar di Kepulauan Indonesia.

Sementara menurut Peter Boomgaard (“Horse Breeding, Long-distance: Horse Trading and Royal Courts in Indonesian History, 1500-1900”, 2007: 35-38), kuda diperkenalkan ke Nusantara sebelum abad kesembilan bahkan pada abad ketiga, meski jarang disebut-sebut dalam sumber pustaka dari tahun 1500 atau sebelumnya. Penulis Tome Pires menyatakan sekitar tahun 1515 tentang kuda di Sumatra, yaitu di Pariaman. Kuda-kuda inilah yang diekspor ke Kerajaan Sunda, yang konon memiliki 4.000 kuda.

Di wilayah pemerintahan pengganti Kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan Banten, dikatakan tidak banyak kuda. Nampaknya impor dari Pariaman tidak lagi dilakukan. Sebagai gantinya sultan Banten kerap memintanya dari VOC di Batavia atau mengirim utusan ke Batavia untuk membeli kuda. Gubernur-gubernur jenderal VOC sering mengirim kuda ke Banten dari waktu ke waktu, termasuk ras Persia.

Dalam bukunya (1830), Andries juga kerap menyentil betapa pentingnya kuda bagi kehidupan orang Priangan, terutama bagi para penguasanya. Selama awal abad ke-19, bahkan sebelumnya, kuda digunakan di Priangan sebagai kendaraan tunggangan di pedataran atau pegunungan, sehingga dikenal sebagai kuda gunung atau bergpaarden.

Ketika Andries de Wilde bersama rombongan hendak mendaki Talaga Bodas, Garut, pada 1818, ia jelas memerlukan jenis kuda gunung. Katanya, “Pagi-pagi sekali pada 30 Oktober 1818, kami meninggalkan Desa Balong, yang ada di Distrik Wanaraja. Setelah mengetahui bahwa jalan untuk menyeberang ke gunung itu sangat sulit, kami kemudian disediakan kuda gunung yang baik” (1830: 114-115, terjemahan Karguna Purnama Harya).

Bagi kalangan penguasa Priangan, terutama bupati, kuda difungsikan juga untuk menyalurkan salah satu klangenannya, yaitu berburu. Dengan demikian kata Andries saat itu ada yang disebut sebagai jagtpaarden (kuda berburu). Menurutnya, “Begitu bupati dan rombongn tiba, kuda berburu pun dibawa dan dikerahkan. Jumlahnya tidak terbatas. Saya sudah menyaksikan acara perburuan ini seratus kali lebih. Kuda biasanya terdiri atas ras Arab dan Persia asli atau campuran” (1830: 160, terjemahan Karguna Purnama Harya).

Dengan berlatar seperti itu tidak mengherankan bila pada 1888 di Kampung Purabaya, Distrik Jampang Tengah, Afdeling Sukabumi, didirikan pusat pemeliharaan kuda untuk pasukan kavaleri tentara kolonial atau Remonte Depot. Luas lahannya mencapai 646 bahu. Namun, sejak 1902, pusat pemeliharaan kuda itu dipindahkan ke Padalarang (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, derde deel, 1921: 436, 594-595).

Tetap Mengonsumsi Roti

Pada bagian awal bukunya, De Preanger Regentschappen op Java gelegen (1830: 45-46), Andries de Wilde antara lain menyebutkan bahwa umumnya tanah pegunungan Priangan sangat subur, berupa tanah hitam yang gembur (“De berggronden bestaan veelal uit zwarte losse tuinaarde”).

Katanya, “Dengan pembusukan daun dan pohon terus-menerus, di sini tanahnya berlumpur, gembur dan kesuburannya hampir tak habis-habis, di mana saya sendiri menanam sereal Eropa, herbal, dll., dengan hasil yang sangat baik. Di tempat lainnya pun berbagai varietas tembakau Amerika tumbuh subur. Tanah ini hanya membutuhkan sedikit pemurnian dan pengerjaan ulang selama tiga bulan untuk menghasilkan kentang paling bermutu yang dapat menyaingi kentang Zeeuw terbaik. Demikian pula kobis kecil akan tumbuh menjadi kobis padat berat ...”

Jenis sereal Eropa (Europesche graansoorten) yang coba ditanam Andries adalah gandum biasa dan gandum hitam untuk membuat roti sebagai makanan sehari-harinya sejak masa tinggalnya di Tarogong. Dalam bukunya, seraya menegaskan lagi cocoknya tanah Priangan untuk tanaman sereal Eropa, ia mengatakan, “Van het jaar 1810 tot 1815 heb ik, bij afwisseling, van rogge en tarwe, welke ik , zoo in het Bandongsche als te Soekaboemie, gebouwd had, mijn brood, voor eigen gebruik, laten bakken” (1830: 105).

Kutipan tersebut kira-kira berarti dari tahun 1810 hingga 1815, Andries de Wilde biasanya memanggang roti, untuk dikonsumsi sendiri, dari gandum biasa dan juga gandum hitam, yang ditanamnya baik di Bandung maupun di Sukabumi. Dari kutipan ini kita dapat menyimpulkan memang sejak masa tinggalnya sebagai pengawas perkebunan kopi di Tarogong hingga menguasai tanah luas Sukabumi, Andries berupaya tetap mengonsumsi roti yang dibikinnya sendiri dari gandum yang juga diusahakannya sendiri – layaknya ketika masih tinggal di Eropa. 

Dari buku yang sama (1830: 108-109), saya juga tahu bahwa selain dari gandum, Andries sempat membuat roti yang bahan dasarnya dari jagung. Menurutnya, jagung atau jagong yang paling kerap ditanam oleh penduduk Priangan adalah Jagung Turki. Tanaman ini biasanya dikonsumsi dengan jalan direbus, dipanggang, disangrai di atas wajan, dijadikan sup untuk jagung muda, dan acar.

Selain itu, Andries membikin roti jagung. Katanya, “Ook heb ik van dit koorn, tot meel gestampt, meermalen zeer smakelijk brood laten bakken” (Dari tepung jagung ini, saya juga membuat dan mengonsumsi roti sangat enak).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//