• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #4: Takut Tarogong Terkubur seperti Pompeii

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #4: Takut Tarogong Terkubur seperti Pompeii

Dari dokter dan asisten pribadi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, Andries de Wilde kemudian bertani kopi, menyaksikan meletusnya Gunung Guntur.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Gunung Guntur sebagaimana dilukis oleh Franz Wilhelm Junghuhn. (Sumber: Java, Vol I (1850) dan Atlas van Platen (1850))

25 Maret 2022


BandungBergerak.idSetelah setahun menjadi pengawas kopi di Bogor berikut menjadi dokter dan asisten pribadi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1762-1818), Andries de Wilde diangkat menjadi pengawas di Kabupaten Bandung. Pengangkatannya didasarkan pada keputusan pemerintah tanggal 4 Februari 1809 (F. De Haan, Priangan, Vol I, 1910: 286).

Bisa jadi keputusan itu didorong keinginan kuat Andries untuk lebih memusatkan dirinya pada budidaya kopi, seperti pekerjaan sebelumnya. Karena dengan demikian menjadi lebih bebas, tidak harus bersitegang menyampaikan lagi ungkapan-ungkapan keras Mas Kalak. Dugaan ini mendapat konfirmasinya dari Cora Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 18-19). Dari buku itu diketahui bahwa keputusan pindah ke Bandung, atas permintaan Andries sendiri.

Kabupaten Bandung saat itu masih ada dalam tahap persiapan pindah ibu kota dari Dayeuhkolot ke arah Jalan Raya Pos di pinggir Sungai Cikapundung, sesuai keputusan Daendels pada 5 Mei 1808. Menurut A. Sobana Hardjasaputra (Perubahan Sosial Kota Bandung, 1810-1906, 2002: 29-30), bupati Bandung mendapat tugas memimpin pembangunan jalan antara Bandung dan Sumedang, sepanjang 68,27 kilometer. Bersamaan dengan itu, bupati hendak memindahkan ibu kota ke arah utara dari Dayeuhkolot.

Ketika Daendels mengontrol kemajuan pembuatan Jalan Raya Pos di Bandung, pasukan zeni dibantu penduduk selesai membangun jembatan yang melintasi Sungai Cikapundung (Tanda Nol Kilometer). Kunjungan Mas Kalak ke Bandung setelah Mei 1808 itu bisa jadi dikawani oleh Andries, yang menjadi juru bicaranya.

Peresmian ibu kota Bandung sendiri terjadi pada 25 September 1810. Menurut Hardjasaputra (2002: 33), fakta terungkap dari tulisan Raden Asik Natanegara (dalam Volksalmanak Soenda 1938), yang menyatakan Kota Bandung diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung bersamaan dengan diangkatnya Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang dan tertuang surat keputusan tanggal 25 September 1810.

Teks Sunda-nya sebagai berikut: “Ku lantaran aya jalan besar anyar beunang ngahadean jeung ngagedean tea, dayeuh Bandung dipindahkeun ti Dayeuhkolot ka sisi jalan gede sisi Cikapundung, ari dayeuh Parakanmuncang dipindahkeun ka kampung Anawadak. Bareng jeung dipindahkeunana eta dua dayeuh dina sabisluit keneh tg. 25 September 1810 diangkat kana Patih Parakanmuncang, Raden Suria, Patinggi Cipacing, ngaganti Raden Wirakusuma nu dilirenkeun lantaran kurang cakep jeung kedul”.

Bagaimana dengan wilayah Kabupaten Bandung saat itu? Andries sendiri (De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen, 1830: 33) menyatakan bahwa Kabupaten Bandung terdiri atas Distrik Timbanganten, Cikembulan, Cipeujeuh, Banjaran, Cimahi, Negara, Cilokotot, Kopo, Cisondari, Rongga, Cicalengka, Majalaya, Limbangan, Cipicung, Dangdeur, Rajamandala, Bayabang dan Cihea, ditambah tanah perkebunan atau distrik Ujungberung.

Dengan mempertimbangkan ihwal perpindahan ibu kota Kabupaten Bandung dan cakupan wilayahnya, saat Andries diangkat menjadi pengawas kopi nampaknya tempat dinasnya bukan di sekitar Distrik Negara atau ibu kota Kabupaten Bandung, karena masih ada dalam tahap pembangunan. Saya lebih memilih Distrik Timbanganten sebagai tempat kerjanya yang baru.

Pendapat tersebut dilandasi temuan De Haan (1910: 286) dari Regeering 19 Mei 1809, yang berisi pernyataan Andries sendiri yang mengungkapkan bahwa dia memperoleh tempat dinas yang sangat menguntungkan, yaitu di Trogong atau Tarogong. Westland (De Levensroman van Andries de Wilde, 1948: 19) juga menyatakan hal yang sama.

Letusan Dahsyat Guntur

Dari informasi yang berhasil dikumpulkan De Haan (Priangan, Vol III, 1912: 99), saya tahu Tarogong adalah pusat kota atau ibu kota dari Distrik Timbanganten, paling tidak sejak 1691. Dalam laporan VOC tanggal 1 Februari 1763, daerah ini dikenal sebagai penghasil padi dan berdasarkan catatan perjalanan Pieter Engelhard tahun 1802, Timbanganten menghasilkan 5.000 pikul kopi per tahunnya.

Menurut Regeering 8 Oktober 1779, batas-batas Distrik Timbanganten adalah Gunung Wayang (bukan bagian Timbanganten) di timur, Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray ke Linggaratu (timur laut puncak Gunung Karacak). Dari situ ke arah barat laut dan sepanjang Sungai Ciwalen mencapai Sungai Cimanuk. Kemudian muara Sungai Cibedug, Kampung Cibulan, dan puncak Gunung Kaledong.

Dengan demikian, tempat dinas Andries yang baru mencakup juga Gunung Guntur. Menurut Westland (1948: 19), Andries yang pada dasarnya pencinta alam sangat menikmati pemandangan sekeling tempat dinasnya. Selama dua tahun, dia tinggal di kaki Gunung Guntur atau Donderberg, yang konon ketinggiannya mencapai 4.000 kaki di atas tempatnya tinggal. Oleh karena itu, bila petang, pemandangannya selalu tertumbuk pada puncak gunung itu dan pikirannya melayang ke mana-mana. Kala pagi, saat terbangun, Gunung Guntur pula yang nampak menantinya, bak seorang teman. Meski demikian, dia menganggap ada rona pengkhianatan dari gunung besar itu.

Anggapannya memang terbukti karena gunung itu meletus pada 9 Mei 1809 atau tiga bulan setelah Andries bekerja di wilayah Kabupaten Bandung. Letusan Guntur direkam dalam bukunya (1830: 3-5) dengan sangat hidup.

Katanya, “Pada masa-masa itu, saya sempat dua kali menyaksikan ledakan amarah gunung itu, yang membebaskan pergolakannya dari perut bumi. Saat teringat fenomena mengerikan itu saya menggigil ketakutan. Dari rumah, saya lihat Tarogong membentang ke arah gunung, seluruh bentangannya dibanjiri lava yang muncul seperti nyala api sangat besar. Di bawah suara guruh menggelegar, banyak batu besar bercahaya, seperti bola api melayang di udara, sementara abu berbentuk awan keluar dari kawah, saking pekatnya tidak dapat naik ke atas bumi, seraya menahan cahaya siang dan membuat Tarogong menjadi bentangan sangat luas dan gelap pekat”.

Dalam keadaan demikian, katanya, dia tidak dapat menuliskan kesan itu di luar karena alam seakan-seakan terdiam. Bahkan yang dikhawatirkannya adalah nasib Tarogong yang akan seperti Pompeii, terkubur oleh abu (“ja het scheen te vreezen, dat Trogong, als Pompeji, onder de assche bedolven zou worden”). Penduduk di sekitarnya berhamburan keluar rumah, karena takut dan sarat dengan semua barang yang masih bisa diselamatkan. Andries sendiri hanya ditemani kepala di tempat itu, Raden Rangga Jaya Nagara, serta para pembantunya (“en niemand bleef mij bij, dan de Raden Ranga Jaya Nagara, het hoofd der plaats, en mijne huisselijke bedienden”).

Konon, setelah kondisi yang mengkhawatirkan itu berlalu pada sore hari, angin bertiup dari tenggara, membawa awan abu ke pegunungan yang lebat dan tak berpenghuni, berjatuhan tanpa menyebabkan kerusakan parah. Sedangkan gerumbul kayu dan bambu lebat hancur oleh cahaya aliran lava dan abu panas menghanguskan buah dan dedaunan di cecabang pohon kopi.

Tidak lama setelah Guntur meletus, Andries yang kerap dilanda rasa penasaran, hendak melihat kawah gunung dari dekat. Untuk itulah dia mendaki Guntur, tetapi tidak bisa berlanjut, karena “panasnya lava yang telah menumpuk begitu tinggi di beberapa tempat, hingga saat melangkah kami pun terperosok sampai lutut” (“nog op eenen goeden afstand van denzelven moest ik terugkeeren, doordien de hitte van de lava, welke op sommige plaatsen zoo hoog opgehoopt was”).

Soal kekhawatiran Tarogong akan mirip seperti Pompeii dibenarkan oleh Franz Wilhelm Junghuhn (Java, zijne Gedaante, zijn Plantentooi en Inwendige Bouw, Vol II, 1850: 75). Kata naturalis itu, “Massa yang dilontarkan gunung itu jauh melampaui dasarnya, membentuk lapangan puing-puing lava, tanah kosong yang penampakannya liar dan mengerikan, yang meningkat ukurannya setiap ada letusan baru, dan desa-desa di sekitar Tarogong dan Garut, mirip seperi Pompeii kedua, terancam bahaya untuk terkubur (en de schoone dorpen Trogon en Garoet, gelijk een tweede Pompeji, dreigen te begraven)”.

Baca Juga: Biografi Andries de Wilde #1: Mengapa Mengkaji Tuan Tanah Ujungberung dan Sukabumi?
Biografi Andries de Wilde #2: Dokter Bedah di Batavia
Biografi Andries de Wilde #3: Penerjemah Mas Kalak

Jilid De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen (1830). Di awal bukunya, Andries de Wilde menggambarkan betapa dahsyatnya letusan Gunung Guntur yang disaksikannya. (Sumber: Books.google.com)
Jilid De Preanger-Regentschappen op Java Gelegen (1830). Di awal bukunya, Andries de Wilde menggambarkan betapa dahsyatnya letusan Gunung Guntur yang disaksikannya. (Sumber: Books.google.com)

Mendidik Anak Pribumi

Karena tempat dinasnya di wilayah Kabupaten Bandung, terbuka peluang bagi Andries de Wilde berkenalan dengan keluarga bupatinya. Dalam pengantar Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek, Benevens twee stukken tot oefening in het Soendasch (1841: vi-vii), Taco Roorda di Amsterdam pada 13 Maret 1841 menyatakan kembali obrolan yang sempat disampaikan oleh Andries kepadanya.

Menurut Taco, ketika Andries diangkat menjadi pengawas budidaya kopi di Keresidenan Priangan pada 1808, dia segera menyadari ihwal pentingnya dapat berbicara dalam bahasa setempat, mengetahui tulisannya, serta mengenal adat tabiat pribumi. Dengan bantuan petunjuk dari pribumi yang mumpuni, Andries segera dapat mempelajari beberapa hal yang bermanfaat baginya.

Namun, ternyata, ia juga hendak menggunakan atau menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada orang lain. Untuk itulah, ia mengajari anak bupati Bandung dan beberapa anak pemuka pribumi lainnya. Bahkan anak-anak muda itu dianggapnya sebagai anak angkat. Anak-anak itu diajari menulis dalam bahasa Melayu dan Sunda dengan aksara Latin dan Jawa. Selanjutnya dalam berbagai kesempatan mengontrol budidaya kopi, anak-anak itu dibawanya serta, lalu diberi arahan serta pengetahuan ihwal budidaya dan produk lainnya. Ternyata pengetahuan anak-anak asuhnya berguna saat Andries berhalangan untuk inspeksi kopi, karena mereka dapat mewakilinya. Dengan keakraban itulah, Andries dan murid-muridnya sering berkorespondensi, sekalian latihan menulis.

Dengan demikian, kata Taco, Andries berhasil membentuk anak-anak muda pribumi yang punya kompetensi. Salah satunya adalah bupati Bandung yang memerintah saat itu (1841), Adipati Nata Koesouma. Agar anak-anak didiknya terbentuk, Andries biasanya memberikan latihan harian berupa beberapa patah kata yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa lainnya, serta dituliskan ke dalam aksara berbeda. Lama-lama kata-kata yang diberikan kepada muridnya bertambah sukar, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk mengumpulkan dan membuat koleksi kosa kata, yang dapat diberikan sebagian-sebagian kepada muridnya.

Namun, menurut saya, keterangan tahun 1808 yang dinyatakan Taco Roorda keliru. Karena baru pada 4 Februari 1809, Andries menjadi pengawas kopi di Kabupaten Bandung. Mungkinkah Andries sendiri yang keliru menyebut tahun saat menyampaikannya kepada Taco? Atau Taco yang salah tulis lagi keterangan dari Andries? Saya kira dua-duanya memungkinkan. Yang terang, selama masa dinasnya di Tarogong, Distrik Timbanganten, Andries dapat kerap berkeliling ke semua distrik di Kabupaten Bandung, sehingga punya banyak kesempatan untuk bertemu dan berkirim surat dengan murid-muridnya. 

Sebagai tambahan, anak bupati yang dididik Andries itu kemudian menjadi Adipati Wiranatakusumah III atau Dalem Karanganyar (1829-1846). Ayahnya adalah Adipati Wiranatakusumah II alias Dalem Kaum (1794-1829). Menurut De Haan (Priangan, Vol I, 1910: 136), dalam laporan 29 Januari 1808, dikatakan Adipati Wiranatakusumah II memiliki anak laki-laki berumur delapan tahun. Bisa jadi anak inilah yang diajari Andries selama masa dinasnya di Tarogong antara 1809-1812.

De Haan juga menyatakan dalam laporan tahun 1816, anak tertua bupati Bandung bernama Anggadiredja dan baru saja selesai berdinas dalam pemerintahan Inggris di Pulau Jawa. Ia berjanji akan menjadi pengganti ayahnya yang baik demi Kabupaten Bandung. Sementara dalam dekrit 5 Desember 1814, Raden Moekharam alias Anggadiredja menerima gelar Aria, sehingga namanya menjadi Raden Aria Moekharam. Ayahnya sendiri meninggal pada Maret 1829.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//