Cerita Sudarsono Katam dari Foto-foto Bandung Abad ke-19
Sudarsono Katam bikin foto-foto Bandung abad ke-19 bercerita. Bandung yang kini padat dan macet, dahulu dusun nan lengang.
Penulis Iman Herdiana25 Maret 2021
BandungBergerak.id - Buku fotografi Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an (2015) yang disusun Sudarsono Katam mengajak kita mengembara ke Bandung yang masih berupa tanah lapang dan dusun. Jalan-jalan membentang luas, kiri kanannya sawah, rumah bilik bamboo, dan hutan. Berbeda dengan Bandung masa kini yang padat, macet, dengan udara yang panas.
Sebagaimana judulnya, “Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an” adalah buku album foto-foto lawas yang dilengkapi narasi sejarah. Buku dengan sampul tebal warna putih ini bergambar foto anak-anak desa berpakaian abad ke-19 sedang membaca lembaran seperti koran.
Bagian dalam buku yang diterbitkan Penerbit Khazanah Bahari, Bandung (2015), ini berisi 250 halaman. Sebagai buku foto cerita, Sudarsono Katam memulai awal bab dengan garis besar sejarah fotografi yang masuk ke Hindia Belanda, nama Indonesia di zaman penjajahan Belanda.
Pada 1841, dr Jurriaan Munnich (1817-1865) tiba di Batavia atas permintaan pemerintah Hindia Belanda. Ia ditugaskan melakukan pemotretan di Pulau Jawa. Namun hasil jepretan Jurriaan tidak maksimal.
Sejumlah ahli fotografi terus didatangkan. Namun kebanyakan para fotografer asing itu justru membuka studio sendiri untuk menggarap bisnis percetakan pribadi.
Pada 1844 pemerintah Belanda mendatangkan Adolph Schaefer. Ia diberangkatkan ke Jawa Tengah untuk memotret relief Candi Borobudur dan menghasilkan 54 daguerrotype (perekaman gambar pada lempeng tembaga) yang terkenal hingga sekarang.
Lalu datang Antoine Francoise Lecouteux, fotografer pertama di Batavia yang menawarkan foto pada kertas albumen dan kaca. Ia bekerja sama dengan Isadore van Kinsbergen, pelukis potret dan aktor dari Belgia. Isadore terkenal sebagai fotografer benda antik Jawa.
Pada tahun 1857 Belanda kembali mendatangkan fotografer. Kali ini dua orang Inggris bernama Walter Bentley Woodbury dan James Page. Tugas mereka antara lain menjelajah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Teknologi fotografi ketika itu sudah beralih ke albumen, tidak lagi memakai daguerreotype. Kedua orang Inggris itu, yang dianggap sebagai peletak dokumentasi segala sesutu di Hindia Belanda, membuka studio foto Woodbury & Page pada 1857.
Pemerintah Hindia Belanda juga membentuk Dinas Topografi yang membawahi fotografi. Pada 1874 dinas tersebut berada di bawah angkatan perang Hindia Belanda. Dalam perkembangan berikutnya, dinas ini masuk ke Departemen Penerangan. Objek yang difoto dinas ini meliputi bangunan, monumen, bentang alam, dan suasana jalan.
Sudarsono Katam mencatat Kassian Cephas (1844-1912) sebagai fotografer pribumi pertama yang membuat foto-foto terdiri dari 160 panel relief Karmawibhangga, sebuah tingkat pertama dari bangunan Candi Borobudur (1890). Karya tersebut dibuat atas perintah Archaeologische Vereeniging yang diketuai IR J.W. Ijzerman. Kassian, putra Jawa tulen yang lahir 1844, kemudian menjadi fotografer keraton dan kesultanan. Ia meninggal pada 1912 di Yogyakarta.
Jalan Raya Pos dan Kilometer Nol
Buku Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an (2015) terdiri dari tiga bab atau bagian. Bagian pertama diawali dengan ulasan sejarah tentang Grote Postweg atau Jalan Raya Pos yang membelah Kota Bandung.
Menurut Sudarsono Katam, Jalan Raya Pos membentang dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jawa Timur) sepanjang 1.000 kilometer. Pembangunan jalan ini dikomando Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1809-1811).
Jalan tersebut dibangun selama setahun. “Dengan korban puluhan ribu jiwa akibat dipekerjakan paksa. Kebijakan itu telah menyengsarakan ratusan ribu rakyat Indonesia pada masa itu,” tulis Sudarsono Katam.
Pada 1809 Daendels meresmikan jembatan di Jalan Raya Pos yang dibangun melintasi Sungai Cikapundung. Peresmian ditandai dengan acara jalan kaki Daendels di atas jembatan Cikapundung ke arah timur, didampingi Bupati Bandung RA Wiranatakoesoema II. Di ujung perjalanan tersebut, Daendels menancapkan tongkatnya ke tanah dan meminta sang Bupati agar di tempat tersebut dibangun sebuah kota.
“Titik bekas tancapan tongkat Gubernur itu diyakini sekarang berada tepat di Patok Kilometer 0.00 (KM BD 0.00), yakni di Jalan Asia Afrika, di depan Kantor Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat,” kata Sudarsono Katam.
Pada perkembangan sejarah berikutnya, lanjut Sudarsono Katam, Grote Posweg Timur dari perempatan Pasar Baru diubah namanya menjadi Jalan Asia Afrika. Perubahan nama dilakuka nuntuk memperingati Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.
Narasi sejarah buku album foto tersebut diperkuat dengan foto-foto Bandung zaman baheula, termasuk foto Grote Postweg. Salah satunya foto simpang Grote Postweg Oost (Jalan Ahmad Yani) dan Riouwstraat (LLRE Martadinata atau Jalan Riau) pada 1910.
Di masa lalu simpang Riau-Ahmad Yani disebut batas kota Katja-katja Wetan. Kini Katja-katja Wetan ditandai dengan gapura beton. Jalan Riau (Martadinata) sekarang menjadi salah salah satu pusat wisata belanja Kota Bandung.
Simpang Riau-Ahmad Yani dulunya sebuah jalan desa yang sepi. Pada buku foto Sudarsono Katam, di jalan itu terlihat seseorang yang menuntun sepeda berpapasan dengan delman yang dikemudikan seorang kusir. Pohon-pohon jangkung berdiri di kiri-kanan jalan. Semua sisi jalan berupa sawah dan ladang dengan latar belakang pegunungan. Rumah-rumah masih sangat jarang.
Pada bagian atau bab “Warga Bandung”, Sudarsono Katam mengawali cerita fotonya dengan sebuah foto anak-anak bertelanjang kaki. Ada 10 anak yang tertangkap kamera. Semuanya memakai celana dan kain sederhana, dengan baju mirip pangsi atau kemeja tradisional lengan Panjang yang biasa dipakai suku adat Baduy. Seorang anak memegang layangan.
Buku tersebut juga memuat peta Kota Bandung pertama yang dibuat sekitar 1825. Peta “Plan Der Negorij Bandong” yang diyakini dibikin Wiranatakoesoema II, bupati berjuluk Dalem Kaum dengan masa tugas 1798-1829.
Mengenai para bupati Bandung tempo dulu, Sudarsono Katam juga memberi referensi berupa teks dan foto mereka. Disebutkan bahwa Bupati Kabupaten Ukur, sebutan untuk tatar Bandung, RA Wiranatakoesoema II sudah menyadari perlunya ibukota kabupaten berada di dekat Jalan Raya Pos sebelum Gubernur Daendels memerintahkan pemindahan ibukota kabupaten.
Pemindahan ibukota Kabupaten Bandung dari Krapyak (Dayeuhkolot) ke daerah Cikapundung Hilir (Taman Alun-alun Bandung dan Mesjid Raya Jawa Barat sekarang) dilakukan Bupati Wiranatakoesoema II pada 1810.
Pembangunan kota baru tersebut dipimpin bupati langsung dengan bantuan rakyat. Atas prakarsa ini, bupati Wiranatakoesoema II mendapat julukan Dalem Kaum sebagai pendiri Kota Bandung.
Ibu kota kabupaten yang baru itu diberi nama Bandung berdasarkan bisluit pemerintah Hindia Belanda tanggal 25 September 1810. Tanggal ini kemudian menjadi titi mangsa hari jadi Kota Bandung.
Pembangunan Bandung dilanjutkan bupati berikutnya, yakni Wiranatakoesoema III (1829-1846) yang dikenal Dalem Karanganyar, lalu bupati Wiranatakoesoema IV (1846-1874) yang dikenal Dalem Bintang.
Sudarsono Katam mencatat, pembangunan besar-besaran terjadi di masa Bupati Martanegara (1893-1918), rumah-rumah berdinding tembok bata beratap genteng, jembatan bambu diganti jembatan besi. “Maka wajar bila Martanegara diberi gelar Bapak Pembangunan Kota Bandung,” tulis Sudarsono Katam.
Penduduk Bandung Berpakaian Seadanya
Penduduk Kota Bandung pada paruh akhir abad ke-19 tumbuh mengikuti perkembangan zaman dan pertumbuhan kota. Pertambahan penduduk Bandung terlihat siginifikan 1896-1906 dan setelah 1920.
Sudarsono Katam mencatat, sejumlah peristiwa yang memengaruhi pertumbuhan penduduk Bandung antara lain pindahnya beberapa instansi pemerintah dari Batavia ke Bandung, meningkatnya perekonomian kota yang ditandai dengan pameran dagang tahunan Jaarbeurs pada 1920.
Sudarsono Katam membandingkan jumlah penduduk Bandung pribumi, Belanda dan Eropa, dan etnis Tionghoa dan timur lainnya. Pada 1846, Bandung dihuni 11.000 pribumi, 9 Belanda dan Eropa, dan 43 Tionghoa dan Timur asing. Total 11.052.
Jumlah tersebut meninkat pada 1920 di mana pribumi menjadi 97.017, Belanda dan Eropa 9.043, dan Tionghoa dan orang timur lainnya 6.740. Total 112.800.
Tentu jumlah tersebut masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penduduk saat ini. Tahun 2000 saja, lanjut Sudarsono Katam, jumlah penduduk Bandung sudah mencapai 2.136.260.
Sudarsono Katam lantas menampilkan foto-foto warga Bandung, antara lain, potret pribumi dan keturunan Eropa pada 1908. Pada foto itu seorang pribumi duduk di tanah di bawah tanggungan barang dagangannya., sedangkan seorang Eropa duduk di tangga rumah tembok sambil membaca buku.
Ada pula foto warga Bandung yang berjualan buah-buahan pada 1900. Terlihat warung penuh buah-buahan yang ditunggui seorang pedagang dengan pinggang terikat kain sarung. Di samping warung buah itu, seorang tua duduk dengan seorang anak. Di kejauhan ada delman yang menjadi kendaraan utama masa itu.
Di bab “Sekitar Bandung”, Sudarsono Katam menceritakan daerah-daerah penyangga Bandung, seperti Cimahi dan Bandung selatan yang kini menjadi Kabupaten Bandung, dan utara, misalnya Lembang, yang kini masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat.
Bab tersebut dibuka dengan foto dua pribumi dan kuda di sebuah jalan dan hutan. Foto ini menunjukkan bahwa Bandung pada masa itu masih berupa dusun. Daerah-daerah di pinggirannya masih didominasi hutan.
Tentang Kota Cimahi, diceritakan bahwa kota yang kini berbatasan dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat itu awalnya hanya sebuah gardu pergantian kuda di Jalan Raya Pos. Lingkungan gardu pos berkembang menjadi sebuah desa kecil, kemudian dijadikan pembangunan pos militer sebagai garda terdepan untuk menjaga Bandung dari serbuan tentara Inggris.
Beberapa foto tentang Cimahi menampilkan, antara lain, tentara Hindia Belanda sedang berkumpul di depan Gedung militer Cimahi pada 1900 serta foto pasar tahun 1907 yang menunjukkan pemandangan orang berkumpul di bawah pohon dengan latar pegunungan. Ada pula foto Jalan Raya Cibabat yang membentang lebar dan lengang. Kiri kanan jalan masih penuh pohon dan hutan. Orang-orang berjalan kaki dengan pakaian tradisional.
Di bagian-bagian akhir buku, Sudarsono Katam menghadirkan suasana pedesaan. Salah satunya gadis Priangan pedesaan yang masih terbiasa tidak mengenakan kebaya atau kemben ketika bekerja. Ketika sedang membawa kayu bakar di atas kepalanya, dia menutup bagian bawah tubuhnya dengan kain batik dan membiarkan bagian atasnya terbuka.
Sudarsono Katam bilang, desa pada pertenganan abad ke-19 masih berupa permukiman kecil. Desa-desa ini umumnya terletak di sekitar tepi hutan, ladang, persawahan, aliran sungai, dan jalan ke perkebunan.
Tentang Penulis
Sudarsono Katam lahir di Lampung Utara pada 1945 dari orang tua berdarah Jawa Timur dan Jawa Barat. Ia menetap di Bandung sejak 1954 hingga sekarang dan telah menulis banyak buku tentang kota berjuluk Parijs van Java ini.
Buku Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an (2015) disusun berdasarkan rasa kecintaan Sudarsono Katam terhadap Kota Bandung. Ia berharap warga Bandung sekarang dan generasi berikutnya dapat memiliki bahan masukan berharga setelah membaca bukunya.
“Buku ini juga dipersembahkan untuk memperkaya literatur mengenai kota Bandung yang oleh banyak pihak dirasa masih sangat terbatas jumlahnya,” tulisnya di halaman Kata Pengantar.
Informasi Buku
Judul: Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an
Penulis: Sudarsono Katam
Penerbit: Khazanah Bahari, Bandung
Cetakan: I, 2015