Kelompok Penyanyi Jalanan Menuntut Pemerintah Kota Bandung Hentikan Razia
Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bandung memprotes razia pada delapan anggotanya yang berkebutuhan khusus oleh Satpol PP.
Penulis Awla Rajul10 Februari 2023
BandungBergerak.id – Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bandung menuntut Pemerintah Kota Bandung menghentikan razia buntut dari delapan disabilitas tunanetra anggota kelompok tersebut yang terjaring razia oleh Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Alun-alun Kota Bandung pada Sabtu (4/2/2023) lalu. KPJ memprotes penanganan anggotanya saat menjalani pembinaan di fasilitas Rumah Singgah yang dikelola Dinas Sosial Kota Bandung.
Dalam keterangan pers KPJ yang diterima BandungBergerak.id, delapan tunanetra yang terjaring razia ditempatkan dalam satu ruangan yang sama. Padahal delapan orang tersebut terdiri dari tujuh laki-laki dan seorang perempuan. Ruangan itu disebutkan sering menjadi tempat lalu lalang hewan liar sehingga membuat tidak nyaman. Kamar mandi pun dalam keadaan tidak layak, sebab tidak ada pintu dan berbau tidak sedap. Salah satu perempuan yang terjaring razia terindikasi sedang hamil tapi tidak dipedulikan terkait kondisi kehamilannya.
"Teman-teman udah mah difabel yang harusnya mendapatkan pelayanan khusus, mereka di sana tidak ada pengerahan apa pun. Dikumpulkan di satu tempat yang tidak layak, kotor, jijik, disatuin. Sama ada hewan-hewan seperti kucing dan anjing,” ujar Ketua KPJ, Cepi Suhendar melalui sambungan telepon kepada BandungBergerak.id.
KPJ menggelar aksi unjuk rasa pada Kamis (9/2/2023) di depan Gedung DPRD Kota Bandung memprotes razia pada delapan disabilitas tunanetra. KPJ menuntut delapan anggotanya dibebaskan, serta mendesak agar Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menghentikan razia yang tidak memberikan solusi.
KPJ mengkritik razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial maupun Satpol PP yang tidak memberikan solusi pada persoalan yang dihadapi anggotanya. Teman-teman tunanetra misalnya terpaksa mencari nafkah di jalanan akibat dampak pandemi yang dirasakan hingga kini. Lapangan kerja yang dulunya digeluti tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terlebih, Wyataguna yang dulu menjadi tempat pengembangan potensi tunanetra kini telah beralih fungsi.
Aksi itu sekaligus menagih realisasi hasil audiensi KPJ dengan DPRD Kota Bandung pada 15 Agustus 2022 lalu. Saat itu KPJ menuntut agar dilakukan evaluasi dan assessmen atas mekanisme razia. Sebab, teman-teman KPJ yang terjaring razia kemudian dilepas kembali dan berulang lagi, tapi tidak pernah mendapatkan solusi daya sosial.
"Tujuan razia adalah pembinaan, pemberdayaan, akan tetapi sampai hari ini tanggal 09 Februari 2023 juga belum ada realisasi dan tindak lanjut seperti yang disepakati oleh KPJ Bandung dan Kadinsos Kota Bandung. Keberadaan KPJ seharusnya tidak jadi citra buruk bagi kota, tapi diberdayakan. Tujuannya menjadi aset bagi kota," ujar Cepi.
Baca Juga: Memperkuat Narasi dan Praktik Toleransi dengan Karya Seni
LBH Pers Luncurkan Portal Konsultasi Virtual Hukum Gratis
Menolak Politik Dinasti, Kota Bandung Membutuhkan Wali Kota Properempuan
Tanggapan Rumah Singgah Kota Bandung
Menanggapi tuntutan aksi yang dilakukan oleh KPJ sebagai buntut razia pada delapan tunanetra anggota kelompok tersebut, Kasubag Tata Usaha Unit Pelayanan Teknis (UPT) Rumah Singgah Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bandung, Bonie Nugraha Permana menerangkan bahwa penjangkauan masyarakat yang melanggar aturan di ruang publik, atau razia merupakan kewenangan Satpol PP. Satpol PP kemudian membawa masyarakat yang dijangkau dalam razia ke UPT Rumah Singgah Dinas Sosial Kota Bandung. Ketika masuk di rumah singgah, masyarakat tersebut menjadi klien atau penerima layanan Dinas Sosial.
Dinas Sosial, klaimnya, memiliki prosedur dalam pelayanannya sebagaimana yang diatur dalam Permensos tentang Pelayanan Rehabilitasi Sosial Dasar. Beberapa pelayanan yang diterima oleh klien adalah dibersihkan dan diberikan pakaian, makan tiga kali sehari, ruang tidur dengan kasur, kebersihan, pemeriksaan kesehatan awal dan penyuluhan, seperti mental, bimbingan sosial, atau spiritual. Delapan tunanetra yang disebutkan sebagai anggota KPJ diberikan penyuluhan hipnoterapi sejak hari Rabu sampai hari Jumat selama tiga hari.
"Hari ini terakhir, tadi udah selesai jam 11 atau jam 12. Nah rencana siang ini mereka akan kami pulangkan. Sekarang sedang menunggu secara teknis kendaraan operasional. Karena kami gak mau melepaskan mereka begitu saja dengan status mereka sebagai disabilitas tunanetra, akan kami antar ke rumah masing-masing," terang Bonie kepada BandungBergerak.id melalui telepon, Jumat (10/2/2023).
Saat diterima oleh Dinsos, delapan tunanetra hendak ditempatkan sesuai SOP, satu ruangan dua orang dengan fasilitas yang layak dengan tempat tidur.
"Nah kebetulan yang tunanetra ini, dari awal mereka masuk, mereka yang meminta untuk disatukan dan ingin di lantai dasar. Dengan pertimbangan kenyamanan bahwa mereka tunanetra, bisa saling membantu dan menjaga, dan mereka bisa mengisi waktu dengan saling berbicara, jadi satu ruangan. Itu betul-betul permintaan mereka dan mereka merasa nyaman," ujar Bonie.
Bonie mengaku, fasilitas rumah singgah lainnya ada di lantai dua dan tiga, namun delapan tunanetra menolak ditempatkan di sana. Di lantai dasar sendiri ditempati banyak klien dan hanya ada satu ruang yang kosong. Ia mengaku sudah mengarahkan agar pindah ke kamar yang lain, namun mereka tidak mau. Kamis sore (9/2/2023) ia juga mencoba mengarahkan agar mereka pindah, tapi tetap tidak mau. Pertimbangan mereka tidak pindah karena ketika pindah harus beradaptasi lagi dengan denah lokasi, arah jalan, dan lainnya. Ia menegaskan pelayanan yang diberikan sudah sesuai prosedur dan mempertimbangkan kenyamanan mereka.
Bonie membantah tudingan mengenai tidak adanya pembinaan yang dilakukan selama ditempatkan di Rumah Singgah. Dinas Sosial kabupaten/kota memiliki kewenangan memberikan rehabilitasi dasar, sementara bimbingan pelatihan adalah kewenangan Dinas Sosial provinsi. Ia mengaku, Rumah Singgah sudah menjalankan assessmen pada klien. Misalnya dengan menanyai identitas. Jika berasal dari luar kota, maka akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial asal klien untuk dinita dijemput dan ditangani di sana. Dinsos sendiri tidak bisa instan dalam melayani klien, asesmen tidak bisa dilakukan dalam hitungan jam. Makanya klien harus diinapkan di rumah singgah beberapa hari. Sebab salah satu fungsi asesmen yang dilakukan untuk menggali informasi mulai dari identitas, motif hingga latar belakang mereka hidup di jalanan.
"Mereka (delapan tunanetra) diberikan penyuluhan hipnoterapi untuk menggali kadar emosional, bagaimana kepercayaan diri mereka dan lain-lain. Dengan harapan ketika mereka dipulangkan minimal ada sebuah perubahan perilaku. Meski tidak bisa instan seperti ini, minimal kami menjalankan program seperti itu," ujar Bonie.
Bonie menjelaskan, jika klien dalam usia kerja produktif, biasanya ditawari dan direkomendasikan untuk ke balai atau panti pelatihan milik Dinas Sosial Provinsi atau Kementerian Sosial. Sebab balai atau panti inilah yang bisa memberikan pelatihan, beberapa pelatihan di antaranya adalah mekanik dan menjahit. Setelah diberikan pelatihan selama tiga bulan, klien diberikan modal alat. Harapannya usai mengikuti pelatihan, dengan ada alat dan kompetensi klien bisa bekerja mandiri.
“Itu sepertinya program pemerintah yang sudah sangat baik dan selalu kami lakukan. Hanya kendalanya, ketika kami tawarkan, ini rekan-rekan klien ada yang menolak, ada yang tidak mau, dan lain-lain," ujar Bonie.
Ia mengaku, Dinas Sosial tidak bisa memaksa dan mengarahkan klien agar tidak kembali lagi ke jalan. Rumah singgah menerapkan pelayanan sesuai prosedur yang sudah ditentukan. Selepas dari Rumah Singgah, minimal klien bisa kembali ke siklus hidup yang normal. Sebab sebelumnya ada yang malas mandi, waktu tidur tidak menentu, serta makan seadanya ketika ada uang. Selama di Rumah Singgah dibiasakan dengan siklus normal, makan teratur, olahraga, ibadah, dan kegiatan sosial.