• Berita
  • Memperkuat Narasi dan Praktik Toleransi dengan Karya Seni

Memperkuat Narasi dan Praktik Toleransi dengan Karya Seni

Program Creative Youth for Tolerance (CREATE) memperkenalkan konsep keberagaman dan toleransi dengan memanfaatkan media seni dan budaya.

Delapan orang partisipan dalam 3 tahun program Creative Youth for Tolerance (CREATE) Jawa Barat menutup kegiatan dengan menerima buku yang berjudul “Cerita Perubahan dari Sekolah” di Aula ST. Michael, Ciroyom, Kota Bandung, Rabu (8/2/2023). (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

Penulis Dini Putri9 Februari 2023


BandungBergerak.id — Tidak terasa sudah tiga tahun program Creative Youth for Tolerance (CREATE) berjalan sejak 2020 hingga penutupan program tersebut pada Rabu Siang (8/2/2023) di Aula Gereja Katolik Santo Mikael Bandung yang lokasinya berdekatan dengan kawasan kampung toleransi. Krisis toleransi, linkungan serta sejumlah peraturan daerah yang sering kali mendiskriminasi perempuan dan minoritas melatarbelakangi program tersebut.

Program CREATE  diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial dengan bantuan pendanaan dari USAID Indonesia. Program tersebut berlangsung di tiga provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Barat; di mana sejumlah penelitian mengidentifikasi daerah tersebut dengan  tingkat pelanggaran kebebasan beragama, dan kehadiran sejumlah peraturan daerah yang diskriminatif.

Di Jawa Barat program ini bermitra dengan YIVOS dan juga berkolaborasi dengan komunitas-komunitas yang bergerak pada isu yang menjadi perhatian tersebut. Di antaranya Jaringan Antar Umat Beragama (Jakatarub) yang menjadi jembatan kolaborasi untuk menciptakan ruang keberagaman pada bidang pendidikan.

Program CREATE bukan hanya memperkenalkan konsep keberagaman dan toleransi, namun juga mendorong siswa, orang tua dan guru untuk bersama-sama menghasilkan karya yang bermanfaat bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga berdampak positif pada masyarakat luas.

Field Officer CREATE Jawa Barat William Umbo mengatakan bahwa pendidikan toleransi perlu diajarkan pada anak sejak dini, karena ruang-ruang yang tercipta di lingkungan sekolah sering kali masih berasal dari kesamaan latar belakang yang homogen. Maka dari itu perlu inovasi yang dapat mengatasi problematika tersebut.

Wiliam meyakini setiap siswa memiliki ketertarikan yang tinggi untuk mempelajari banyak hal baru berkaitan dengan toleransi dan keberagaman, hanya saja ada keterbatasan media dan sarana untuk mengakses hal tersebut dan untuk itulah program ini hadir. Program tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat serta dengan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Walaupun programnya sudah berakhir temen-temen yang mempunyai value yang sama atau pernah mengikuti program CREATE mampu mentransformasikannya dalam bentuk lain yang dapat menggalakan (kepada masyarakat) isu toleransi, keberagaman, dan lain-lain yang walaupun dampaknya kecil tapi bisa menyentuh hati orang lain” Ujar Wiliam.

Program ini juga memiliki beberapa alat ajar. Salah satunya ialah buku “Jurnal 21 Hari Membangun Toleransi” untuk siswa SMA sederajat untuk membantu membuka paradigma dan perspektif baru mengenai isu keberagaman terkait dengan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar.

Dua orang siswa asal MAN 2 Kota Bandung membaca buku yang  diberikan oleh penyelenggara program Creative Youth for Tolerance (CREATE) Jawa Barat. (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)
Dua orang siswa asal MAN 2 Kota Bandung membaca buku yang diberikan oleh penyelenggara program Creative Youth for Tolerance (CREATE) Jawa Barat. (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

Baca Juga: LBH Pers Luncurkan Portal Konsultasi Virtual Hukum Gratis
Menolak Politik Dinasti, Kota Bandung Membutuhkan Wali Kota Properempuan
Imunisasi Perlu Digencarkan di Kota Bandung agar Terhindar dari Wabah Campak

Karya Seni Melahirkan Kemanusiaan

Program CREATE menjadikan seni budaya yang berkembang di Jawa Barat sebagai media utama untuk menyuarakan toleransi, keberagaman, kesetaraan gender, pembangunan perdamaian, dan inklusi sosial. Terdapat banyak kegiatan yang membuka ruang inklusif untuk mempertemukan peserta dari berbagai latar belakang yang ada termasuk penyandang disabilitas dan nondisabilitas dengan menggunakan metode artistik.

Pelaksanaannya melibatkan siswa, guru, dan orang tua di 8 sekolah yakni SMAN 1 Batujajar, SMAN 1 Lembang, SMAN 2 Lembang, SMAN 1 Cisarua, MAN 2 Kota Bandung, SLBN A Padjajaran, SMAN 7 Bogor, serta SMAN 9 Bogor. Program edukasi dikemas dalam bentuk media seni. Bentuk karya seni yang dihasilkan pun cukup unik dan berbeda. Salah satunya dengan membuat karya seni yang inklusif yang bisa dinikmati juga oleh penyandang difabel.

Dosen Pendidikan Seni Rupa UPI Galih Jatu Kurnia menyoroti soal isu ketimpangan yang sering terjadi antara seniman dengan apresiator difabel. Karena acap kali yang terjadi  ialah seniman jarang memikirkan bahwa apresiator sangatlah beragam, termasuk di dalamnya para penyandang difabel yang juga memiliki hak untuk mengapresiasi karya seni.

Misalnya, penyandang tunanetra yang kesulitan untuk mengapresiasi seni lukisan, atau tunarungu dengan seni musik. Maka muncullah gagasan bahwa karya seni juga perlu berkeadilan dan memperhatikan inklusifitas. Akhirnya terbentuk karya seni multimedia yang mampu memberikan kesepatan beberapa indra manusia untuk dapat menikmati setiap karya seni yang ada.

“Temen-temen yang difabel juga udah gak malu-malu lagi untuk unjuk kemampuan mereka dan untuk bekerjasama dengan teman-teman yang nondifabel. Value akhirnya di situ, jadi kita betul-betul setara, kita betul-betul saling mengenali potensi, yang nggak lagi mikirin apa perbedaa kita, tapi apa sih sesuatu yang bisa kita hasilkan bersama,” ujar Galih.

Program CREATE mendorong peserta untuk menghasilkan karya, baik dalam bentuk video edukasi maupun buku  untuk memberikan edukasi atau setidaknya memunculkan kesadaran kepada masyarakat mengenai bagaimana pesan-pesan yang disampaikan lewat karya tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kebahagiaan para peserta Creative Youth for Tolerance (CREATE) Jawa Barat ketika sesi foto bersama di Aula ST.Michael. Hasil dari program ini diharapkan bisa terimplementasikan kepada semua kalangan mengenai toleransi beragama. (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)
Kebahagiaan para peserta Creative Youth for Tolerance (CREATE) Jawa Barat ketika sesi foto bersama di Aula ST.Michael. Hasil dari program ini diharapkan bisa terimplementasikan kepada semua kalangan mengenai toleransi beragama. (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

Inklusifitas Bukan Menjadi Suatu Penghalang

Untuk mendukung implementasi pendidikan inklusif, pemerintah provinsi Jawa Barat membentuk lembaga resources center yang dilekatkan pada sekolah luar  biasa (SLB). Ketika Jawa barat menggulirkan pendidikan inklusif sejak tahun 2002, Jawa Barat memiliki kebijakan sistem dukungan secara kegiatan melalui lembaga resources center tersebut.

“Jawa barat itu punya sistem dukugan secara kedinatan itu lewat resources center yang dilekatkan di SLB negeri se-Jawa Barat, jadi kita fungsinya ada tiga, pendampingan, fasilitasi, advokasi. Mendampingi sekolah-sekolah ketika menghadapi anak berkebutuhan khusus, kemudian melakukan advokasi juga ketika kita menemukan diskriminasi, menemukan tindakan anti toleransi, ketika menemukan apa-apa yang tidak pada tempatnya,” ujar Kepala Resources Center SLBN A Padjajaran Kota Bandung.

Ayu Nurlita yang merupakan siswi SMAN 1 Batujajar menjadi contoh siswi yang dapat berkarya dan mengekspresikan diri dengan Stand Up Comedy. Dengan mengikuti program tersebut, ia belajar lebih banyak mengenai isu toleransi dan keberagaman yang ada.

“Kalo ada lagi acara kaya CREATE gini bagus untuk diikuti, rekomendasi buat pelajar yang lain supaya tau toleransi, keberagaman, kesetaraan gender, terus buat temen-temen juga lebih menghargai kalau yang berbeda agama, berbeda suku, warna kulit, lebih dihargai lagi. Terus kalau buat yang temen-temen disabilitas, lebih diterima lagi oleh kita, lebih bisa berkomunikasi. Soalnya kan kita juga sama manusia,” ujar Ayu.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//