• Berita
  • Imunisasi Perlu Digencarkan di Kota Bandung agar Terhindar dari Wabah Campak

Imunisasi Perlu Digencarkan di Kota Bandung agar Terhindar dari Wabah Campak

Dinas Kesehatan Kota Bandung mengungkapkan di tahun 2023 terdapat 17 terduga (supect) campak dan dua kasus dinyatakan positif. Imunisasi harus ditingkatkan.

Petugas kesehatan menyuntik vaksin pada anak balita dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) di halaman Masjid At Taqwa di Sukagalih, Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/8/2022). Ibu-ibu identik dengan tugas mengurus anak dan rumah tangga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau1 Februari 2023


BandungBergerak.id - Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyatakan kejadian luar biasa (KLB) terhadap kasus campak di tanah air. Di Jawa Barat sendiri, dua daerah yang masuk KLB Campak adalah kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung Barat.

Sementara itu, di Kota Bandung, Dinas Kesehatan Kota Bandung mengungkapkan di tahun 2023 terdapat 17 terduga (supect) campak dan dua kasus dinyatakan positif. Munculnya persoalan campak ini salah satunya disebabkann karena dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan layanan imunisasi yang belum tercapai seratus persen.

Capaian imunisasi rendah terjadi di RW 05 Jamika, Kota Bandung, yang belum mencapai 100 persen. Banyak kendala yang dihadapi salah satunya masih banyak orang tua yang tidak mau membawa anaknya untuk diimunisasi.

Ketua Kader Posyandu RW 05 Jamika Tita Juwita mengatakan, pascapandemi Covid-19 geliat imunisasi mulai dijalankan, salah satunya pada bulan imuniasasi anak nasional (BIAN) pada akhir tahun 2022 lalu. Namun, ia mengaku ketercapaian imunisasi pada BIAN tidak sampai 100 persen.

Tita mengungkapkan faktor orang tua yang tak mau membawa anaknya ke posyandu untuk diimunisasi menjadi salah satu kendalanya. Selain itu, masih banyak orang tua yang takut jika anaknya diimunisasi akan sakit.

Pascapandemi pun ketercapaian imunisasi belum  menyeluruh. Masih banyak anak di kelurahan Jamika belum mendapatkan imunisasi secara penuh. Kader Posyandu bukannya tak mau menjangkau, tapi tiap kali pihaknya akan melakukan pendataan dan mengetuk pintu warga untuk mengingatkan agar membawa anaknya ke posyandu, tiap itu pula banyak warga menolak.

“Kalau imunisasi tiap kali posyandu, tapi dari warganya pada gak mau. Iya itu kendalanya, jadi sasaran kita teh ngak seratun persen anak-anak yang diimunisasinya,” ungkap Tita, ditemui Bandungbergerak.id di kediamannya di kelurahan Jamika, Kota Bandung, Rabu (25/1/2023).

Pernah suatu waktu Tita menghadapi warga yang ngumpet saat pintu rumah mereka diketuk kader Posyandu. Ada pula warga yang beralasan anak mereka lagi sakit.

Mengenai campak, Tita mengungkapan sejauh ini belum menemukan kasus. Namun Tita khawatir rencahnya cakupan imunisasi justru membuat warganya banyak yang sakit. Tapi di lain sisi ia tak bisa memaksa orang tua untuk membawa anaknya ke posyandu.

Upaya terus dilakukan untuk mengajak orang tua membawa anaknya diimunisasi. Di posyandu sendiri, kader sering kali mesti menyiapkan makanan ringan untuk anak agar orang tuanya mau datang ke posyandu.

“Caranya biar warga mau ibunya dibujuk dulu, gak apa-apa buat kesehatan anak. Terus dari posyandu bikin snack buat anaknta supaya kan mau. Nggak rewel. Kan kebanyakan kalau sudah liat bu bidan takut anak-anaknya,” ceritanya.

Ketercapaian Imunisasi Belum 100 Persen

Ketercapaian imunisasi di Puskesmas Sukapakir wilayah Jamika sendiri terbilang belum mencapai target. Hal ini disampaikan Pengelola Imunisasi Puskesmas Sukapakir Nurul Nuraeni. Di tahun 2022 pihaknya menghitung dari 95 persen vaksinasi yang tercapai hanya 50 hingga 60 persen dari total sekitar 422 balita di Sukapakir.

Namun hal ini meningkat dari tahun 2021 yang capaian imunisasinya lebih rendah dibanding tahun 2022. Pada BIAN 2022, pihaknya mengejar ketertinggalan imunisasi sampai anak usia 5 tahun untuk mengejar ketertinggalan imunisasi selama pandemi Covid-19.

Selain itu, imunisasi juga menyasar calon ibu atau perempuan yang akan melangsungkan pernikahan, yakni imunisasi difteri. Untuk imunisasi anak, selain jadwal imunisasi umum, pihak puskesmas juga melakukan imunisai terhadap siswa kelas 1, 2, dan kelas 5 sekolah dasar. Vaksin yang diberikan berupa campak rubella MR (Measles Rubella) dan dhipteri tetanus (dt). Sementara vaksin kanker serviks belum mulai diberikan.

Nurul menjelaskan selama pelaksanaan BIAN mengalami beberapa kendala yang membuat tidak mencapai target 100 persen dari 1.200an target bayi hingga anak-anak. Hanya 800an anak yang dapat diimunisasi campak dan rubella. 

“Campak rubellahnya memang tidak tercapai. Sempat sweeping memang ada yang informasinya ada yang nggak tahu, ada yang tidak mau disuntik anaknya karena efek samping mungkin karena ada yang takut demam,” terang Nurul, kepada Bandungbergerak.id di Puskesmas Sukapakir.

Ada juga orang tua yang antivaksin. Mereka sama sekali tidak melakukan imunisasi pada bayinya. Kendala lainnya karena banyak keluarga yang berpindah-pindah sehingga susah terdata.

“Cuma memang gitu, jadi kita itu dicari sasarannya agak bingung ke mana. Cuma saat ini juga di posyandu kalau yang belum lengkap kita kasih anjurkan untuk imunisasinya, atau kita kasih juga rujukan pengantar imunisasinya biar datang lagi ke sini untuk imunisasinya,” terang Nurul.

Selain itu, pengetahuan orang tua juga menjadi salah satu kendala. Tidak semua orang tua sadar pentingnya imunisasi untuk anak-anak.

Baca Juga: Ketidakadilan Pembagian Waktu pada Lampu Merah di Kota Bandung
Perda Anti-LGBT sebagai Bentuk Penyebaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan
Hak Para Pejalan Kaki Kota Bandung yang Terabai

Kondisi Kasus di Kota Bandung

Rendahnya cakupan imunisasi karena pandemi membuat kasus campak bermunculan. Pada 2022 kemarin di Kota Bandung terdapat sekitar 70 suspect kasus, 9 kasus di antaranya terkonfirmasi positif campak. Mereka berasal dari beragam latar belakang, mulai dari usia 9 bulan, 11 bulan, 14 bulan, 1 tahun, 5 tahun, hingga 8 tahun. Daerahnya tersebar di wilayah Kiaracondong, Ujung Berung, Cibeunying Kidul, dan Cibiru.

Kepada Dinas Kesehatan Kota Bandung Anhar Hadian mengatakan, pihaknya telah melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap dua kasus positif campak yang ditemukan. Kasus pertama ditemukan pada akhir Desember 2022 dan kasus kedua ditemukana di awal Januari 2023. Keduanya adalah kakak beradik. Hingga kini, belum ditemukan ada suspect tambahan dari lingkungan kedua anak tersebut.

Anhar mengaku hingga kini pihaknya masih menunggu hasil laboratorium dari Bio Farma terhadap 15 kasus supect lainnya.

“Kami sudah lakukakn penyelidikan epidemiolohi kemudian yang kita lihat apkah ada yang demam lagi, teman main tetangga lainnya, dan alhamdulillah kita tidak menemukan suspect sampai sekarang kita pantau kami belum menerima laporan apakah ada suspect tambahan di sekitar yang positif tadi,” papar Anhar saat dikonfirmasi Bandungbergerak.id, melalui sambungan telepon, Selasa (31/1/2023).

Anhar tidak menampik jika memang pihaknya masih menemukan tantangan di lapangan, termasuk kesulitan mengajak orang tua agar anak mereka diimunisasi. Saat ini pihaknya mengklaim sedang melakukan langkah-langkah persuasif kepada masyarakat demi terciptanya kekebalan kelompok.

“Jadi memang tantangan ya kalau bicara campak, pencegahan terbaik itu adalah imunisasi. Pembentukan kekebalan kelompok itu ya dilakukan imunisasi. Jadi kami sangat mengharapkan sekali pihak keluarga, atau saudaranya mau mendorong anaknya untuk diimunisasi,” terangnya.

Pemerintah Perlu Mendorong Ketercapaian Imunisasi

Menurut Kepala Staf Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Djatnika Setiabudi, munculnya wabah campak salah satunya dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Pada masa awal pandemi, terjadi penurunan cakupan imunisasi campak terhadap anak-anak. Penurunan ini akhirnya menurunkan angka kekebalan komunitas (herd immunity) campak di masyarakat.

“Karena pandemi Covid-19 awal-awal, maka sekarang ‘panennya’,” kata Djatnika dilansir dari laman resmi Unpad, Rabu (1/2/2023).

Pada masa sebelum pandemi, penyebaran campak sudah dapat dikendalikan sehingga kasus penularan campak hanya bersifat sporadis, tidak berbentuk wabah atau KLB. Di saat bersamaan, meningkatnya penularan campak disebabkan masih banyak warga yang menolak anaknya untuk diimunisasi.

Djatnika menjelaskan campak merupakan salah satu penyakit yang sangat menular. Jika seseorang tidak memiliki kekebalan yang baik, kemungkinan terinfeksi campak sebesar 90 persen. Karena sangat menular, maka kekebalan kelompok yang dibutuhkan juga tinggi.

Campak tidak hanya menyerang pada anak-anak, jika remaja ataupunn orang dewasa yang kekebalannya rendah, dia berisiko terkena infeksi. Kemungkinan tertular campak juga bisa terjadi kepada anak yang belum lengkap vaksinasinya. Hanya saja, dampak dari penyakitnya tidak terlalu berat karenasudah memiliki tingkat kekebalan yang sedikit.

Dampak berat dari campak akan dirasakan oleh mereka yang belum sama sekali diimunisasi, yaitu rentan mengalami komplikasi penyakit lain seperti pneumonia, radang otak, hingga gizi buruk. Untuk itu, pemberian vaksin campak dinilai penting untuk meningkatkan kembali kekebalan komunitas.

“Jika seseorang tidak divaksin campak, kemungkinan tertular campak makin besar,” ungkapnya.

Ia menegaskan tidak ada istilah terlambat untuk imunisasi campak. Bagi yang belum mendapatkan vaksin, ia mengignatkan agar segera melakukan imunitasi di layanan terdekat seperti posyandu atau puskesmas.

Segera Ditangani

Djatnika menjelaskan seseorang yang tertular campak akan mengalami fase gejala awal, seperti demam tinggi, batuk pilek, hingga mata merah. Fase ini merupakan fase yang paling mudah menularkan. Selain itu, penularan campak dilakukan tidak melalui sentuhan kulit, tetapi melalui percikan droplet di udara. Untuk itu, ia mendorong jika sudah menunjukkan gejala terkena campak, segeralah untuk berobat ke fasilitas kesehatan.

Anak yang terkena campak sebaiknya diam di rumah, sehingga tidak menularkan ke orang lain. Jika anak yang sakit sudah bisa menggunakan masker, maka sebaiknya menggunakan masker.

Pemerintah, lanjut Djatnika, dalam menghadapi KLB ini perlu menggiatkan pemetaan secara epidemiologi. Pemerintah harus dapat menemukan populasi penularan virus dengan tujuan untuk melindungi mereka yang sehat atau belum terkena.

“Yang sehat juga perlu memakai masker, karena penularan campak melalui pernapasan,” katanya.

Saran lainnya kepada pemerintah adalah melakukan imunisasi massal di daerah yang berpotensi terserang campak.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//