• Berita
  • Hak Para Pejalan Kaki Kota Bandung yang Terabai

Hak Para Pejalan Kaki Kota Bandung yang Terabai

Karakteristik trotoar di Kota Bandung bermacam-macam. Rekayasa trotoar saja tidak cukup untuk menciptakan jalur pedestrian yang nyaman bagi pejalan kaki.

Sejumlah remaja penderita low vision dan tuna netra murid SLB Negeri A Pajajaran beserta orang tua dan pendamping saat pawai disabilitas di Bandung, 20 Desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana30 Januari 2023


BandungBergerak.idBagaimana rasanya berjalan kaki di Dago (Jalan IR H Djuanda) atau di Jalan Braga? Orang mungkin akan teringat dengan trotoar nyaman yang terbuat dari batu-batu alam. Di kawasan Dago bahkan masih bisa ditemukan pohon-pohon damar menjulang, ada juga katapang laut yang masih remaja tapi cukup memanjakan mata.

Di Jalan Braga, mata pejalan kaki akan dimanjakan dengan bangunan-bangunan tua era kolonial Belanda, barang-barang antik, lukisan, dan sejumlah kafe dengan citarasa kuliner Eropa. Namun pengalaman di Dago maupun Jalan Braga sulit ditemukan di trotoar lain.

Contohnya tidak usah jauh-jauh, di Jalan Dipatiukur yang konon kawasan pendidikan, masih ditemukan trotoar yang terserobot parkir liar. Tak jauh dari kawasan kota lama Jalan Braga, trotoar di Jalan Oto Iskandar Dinata memiliki masalah serupa: hak pejalan kaki banyak terampas.

Temuan Parkir Liar

Masalah parkir liar menjadi sorotan saat Sekretaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna meninjau ruas Jalan Dago dan Jalan L.L.R.E. Martadinata (Jalan Riau), Jumat 27 Januari 2023. Berbekal dari kunjungan ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung berencana merekayasa trotoar agar tidak digunakan sebagai tempat parkir. Jelas karena trotoar dibangun untuk pejalan kaki, bukan untuk parkir.

"Perlu ada sejumlah rekayasa yang dapat menunjang fungsi trotoar sebagai fasilitas bagi pejalan kaki," kata Ema, dalam siaran pers.

Di Jalan Riau, Ema menemukan kendaraan yang parkir di trotoar atau di bahu jalan. Ia menyayangkan tindakan tersebut. Menurutnya, upaya pemerintah dalam menghadirkan berbagai macam aspek layanan infrastruktur perlu diimbangi dengan perilaku disiplin dari masyarakat.

“Padahal, kita sama-sama tahu fungsi trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki,” ucap Ema, seraya mengajak semua pihak untuk sama-sama merawat dan menjaga fasilitas publik yang ada di Kota Bandung.

Sebagai peringatan, Pemkot Bandung akan menindak pelaku parkir liar dengan penggembokan, penyegelan kendaraan, sampai didenda. Pelaku yang terkena sanksi gembok akan diminta datang ke Kantor Dishub Kota Bandung.

Perencanaan Tata Ruang tidak Matang

Hak pejalan kaki, trotoar, merupakan unsur penting dari perencanaan penataan kota. Elemen kota terdiri dari bangunan, pohon, jalan, jalur jalur pedestrian (untuk pejalan kaki), taman-taman kota (Adi Ardiansyah, Jalur Pedestrian Dipusat Kota Bandung Ditinjau Dari Perilaku Pejalan Kaki Studi Kasus Koridor Jalan R. Dewi Sartika)

Dengan kata lain, diperlukan perencanaan yang matang dalam menata komponen-komponen kota tersebut. Sulit membangun kenyamanan bagi pejalan kaki dengan hanya melakukan rekayasa trotoar saja, misalnya. Karena setiap jalan ataupun trotoar memiliki karakter yang terkadang unik. Rekayasa di satu teroroar belum tentu cocok dengan di trotoar lain.

Di Jalan Dipatiukur, Tri Widianti Natalia, menyebut jalan ini sebagai salah satu jalan kolektor sekunder di Kota Bandung dengan panjang jalan sekitar  1,85 kilometer. Perkembangan ekonomi di Jalan Dipatiukur berkembang dengan sangat pesat seiring dengan hadirnya beberapa kampus negeri maupun swasta, seperti Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Komputer Indonesia (Unikom), dan Institut Teknologi Harapan Bangsa (ITHB).

“Semakin pesat dan beragamnya fungsi bangunan disepanjang Jalan Dipati Ukur, menyebabkan terjadinya peningkatan pergerakan yang cukup pesat serta munculnya berbagai kegiatan jasa dan komersil di sepanjang jalan ini. Seperti fungsi bangunan pendidikan, fungsi bangunan fungsi residensial, fungsi bangunan komersil, dan fungsi bangunan jasa,” tulis Tri, dalam jurnal Hubungan Karakteristik Pejalan Kaki dengan Peningkatan Fasilitas Trotoar di Sepanjang Jalan Dipatiukur Bandung.

Tri Widianti Natalia yang juga dosen Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, Unikom, menuliskan peningkatan pergerakan aktivitas dan mobilitas  kendaraan yang cukup tinggi di sepanjang Jalan Dipatiukur perlu diimbangi dengan ketersediaan fasilitas pejalan kaki yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Hal ini untuk meningkatkan akses pejalan kaki (walkability) disepanjang Jalan Dipatiukur, sehingga akan mengurangi volume lalu lintas yang akan berdampak pada pengurangan polusi kendaraan.

Tri menyatakan, untuk meningkatkan berjalan kaki perlu ditingkatkan kepuasan pejalan kaki terhadap elemen pembentuk trotoar. Nilai kenyamanan trotoar akan menjadi pendorong pejalan kaki untuk berjalan. Beberapa elemen trotoar yang dapat meningkatkan walkability di antaranya kepuasan terhadap nilai kenyaman, aman, dan atraktif dengan akses yang menerus tanpa terputus, pohon peneduh, sitting group, lampu penerangan pada malam hari, jarak tempuh, jalur penyebrangan, halte dan tempat pemberhentian.

“Namun pada kenyataannya peran penting Jalan Dipatiukur tidak didukung dengan kualitas aksesibilitas bagi pejalan kaki.  Hampir secara umum kondisi trotoar di sepanjang Jalan Dipatiukur buruk bahkan ada beberapa ruas jalan yang tidak memiliki trotoar,” tulis Tri.

Dalam penelitiannya, Tri menyimpulkan, karakteristik demografi pejalan kaki di sepanjang Jalan Dipatiukur didominasi oleh mahasiswa dengan usia 17-24 tahun, dengan berjalan bersama teman dengan lama waktu 5-10 menit dengan tujuan berjalan untuk kuliah. 

Fasilitas utama yang diharapkan untuk ditingkatkan bagi pejalan kaki yang berjalan di sepanjang Jalan Dipatiukur adalah perbaikan trotoar. Hal ini karena kondisi fisik trotoar di sepanjang Jalan Dipatiukur sangat memprihatinkan dan tidak ramah bagi pejalan kaki, bahkan pada sebagian ruas Jalan Dipatiukur tidak memiliki trotoar.

“Selain trotoar, fasilitas yang diharapkan pejalan kaki untuk ditingkatkan adalah tempat duduk untuk istirahat. Hal ini karena sebagian pejalan kaki berjalan dengan teman-temannya, keberadaan tempat duduk dapat dijadikan sebagai area interaksi pejalan kaki bersama teman-temannya dan tempat istirahat bagi pejalan kaki yang berjalan lebih dari 15 menit,” papar Tri.

Baca Juga: Membuka Perpustakaan Literaksi Tamansari, Menghidupkan Ruang Perjuangan Warga
Bandung (Lagi-lagi) Darurat Sampah
Potensi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM Menguar dari Wacana Perda Anti-LGBT Kota Bandung

Sejumlah remaja penderita low vision dan tuna netra murid SLB Negeri A Pajajaran beserta orang tua dan pendamping saat pawai disabilitas di Bandung, 20 Desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Sejumlah remaja penderita low vision dan tuna netra murid SLB Negeri A Pajajaran beserta orang tua dan pendamping saat pawai disabilitas di Bandung, 20 Desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Trotoar di Kota Lama lain lagi

Karakteristik trotoat-trotoar di kota lama Bandung, lain lagi. Arief Wicaksono1, Ahmad Hadi Prabowo2, Endhi Ibuhindar Purnomo3 (Arief dkk) dalam jurnal AGORA (2019) menulis pada daerah kawasan kota lama Bandung, jalur pedestrian tidak digunakan sebagaimana fungsinya, yakni dipakai berjualan kaki lima dan parkir.

Mahasiswa dari jurusan arsitektur Universitas Trisakti itu menilai pejalan kaki di kota lama Bandung tidak mendapatkan kenyamanan dan keamanan ketika menggunakan jalur pejalan kaki. Menurut SNI 03-2443-1999, fungsi fundamental dari jalur pedestrian  adalah memberikan kenyamanan dan keamanan pada pejalan kaki secara optimal.

“Kenyamanan jalur pedestrian (perlu) dijadikan dalam perencanaan perkotaan khususnya di dalam kawasan Kota Lama karena jalur pedestrian akan digunakan untuk pengunjung yang akan menikmati jejak sejarah Kota Bandung,” tulis, Arief dkk.

Pembangunan jalur pedestrian yang optimal akan menunjukkan kualitas kenyamanan dan kuantitas pejalan kaki yang maksimal sehingga akan berdampak baik pada lingkungan perkotaan dan mengurangi efek rumah kaca, polusi, dan mereduksi konsumsi energi.

Kawasan kota lama Bandung mempunyai jalur pedestrian yang cukup dipadati pejalan kaki. Kawasan ini merupakan akses yang menghubungkan Stasiun Bandung dengan destinasi wisata yang terdapat di kota Bandung seperti Masjid Agung dan Alun-Alun Bandung.

“Namun kenyamanan di dalam kawasan ini sulit dirasakan oleh pejalan kaki,” tulis Arief dkk.

Secara umum, kualitas pejalan kaki di setiap ruas sudah memiliki kualitas dasar dari jalur pedestrian. Namun Jalan Sudirman dan Jalan Asia Afrika merupakan jalur yang paling baik dikawasan kota lama ini. Dua ajaln ini telah memiliki beberapa komponen perabot jalan sehingga dapat dilalui dengan nyaman. 

Sementara kawasan kota lama lainnya, Jalan Oto Iskandardinata, menurut hasil perhitungan sudah baik namun paling buruk dibanding dua jalur lainnya (Jalan Sudirman dan Jalan Asia Afrika).

“Permasalahan pada jalur ini (Jalan Oto Iskandardinata) terdapat pada siang hari karena banyaknya pedagang yang memakai jalur pejalan kaki dan perabot jalan belum tersedia pada ruas jalan ini,” katanya.

Menurutnya, jalur pedestrian di Jalan Oto Iskandardinata perlu dibuat senyaman mungkin, perlu diberi perhatian khusus terutama penataan pedagang kaki lima agar ruas jalur pedestrian di dalam kawasan kota lama Bandung dapat menjadi ruas jalur pedestrian yang walkable bagi pengunjung dan masyarakat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//