Potensi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM Menguar dari Wacana Perda Anti-LGBT Kota Bandung
Pemkot dan DPRD Kota Bandung berencana menerbitkan perda anti-LGBT. Aturan ini dinilai akan memicu diskriminasi dan pelanggaran HAM.
Penulis Emi La Palau27 Januari 2023
BandungBergerak.id - Tiba-tiba saja Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dan DPRD sepakat akan membentuk peraturan daerah tentang pencegahan dan larangan LGBT. Aturan yang ditujukan kepada kelompok minoritas dari ragam gender dan seksualitas ini berpotensi memicu tindakan disktiminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Meski baru rencana, wacana tersebut terlanjur menuai pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah organisasi yang bergiat di bidang HAM dan keberagaman menolak hadirnya perda yang akan mendiskriminasi pada kelompok rentan minoritas seperti LGBTQ+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan keragaman gender lainnya).
Penolakan misalnya datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia mengungkapkan jika Perda anti-LGBT Kota Bandung jadi dibentuk, maka aturan ini akan menjadi dasar bagi munculnya tindakan represi negara (melalui Pemkot) terhadap warganya yang minoritas.
Tindakan represi ini bisa berupa kekerasan maupun diskriminasi. Tindakan yang dilatarbelakangi perda berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM yang bertentangan dengan konstitusi.
Di sisi lain, Kota Bandung pernah mendeklarasikan diri sebagai kota ramah HAM pada 23 April 2015, sehari menjelang puncak peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Bahkan dalam sejarahnya, Bandung dikenal sebagai ibu kota Asia Afrika karena menjadi tempat dihelatnya KAA yang menentang penjajahan dan diskriminasi di dunia.
“Nah, tentu ini (perda) bertolak belakang dengan konstitusi dan bahkan cita-cita kota ramah HAM di Kota Bandung. Pembentukan perda jelas melanggar HAM karena diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Dampaknya bisa semakin memicu kekerasan dan diskriminasi oleh masyarakat,” ungkap Lasma, kepada Bandungbergerak.id, Jumat (27/1/2023).
Sebelumnya, Wali Kota Bandung Yana Mulyana menyatakan dukungannya terhadap rencana pembentukan Perda Pencegahan dan Larangan LGBT oleh DPRD Kota Bandung. Wacana ini diklaim sebagai aspirasi dari kelompok masyarakat.
"Kalau saya tentunya menyepakati karena selain menyalahi norma agama, norma hukum juga," ujar Yana Mulyana, dalam keterangan pers, Selasa, 24 Januari 2023. Realisasi dari wacana tersebut, kata Yana, selanjutnya ada di tangan DPRD.
Penolakan terhadap perda pencegahan dan larangan LGBT juga muncul dari Koordinator Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub), Arfi Pandu Dinata. Ia menyesalkan hadirnya wacana perda ini.
Menurut Arfi, jika memang ada satu kelompok masyarakat sipil yang mengajukan perda, seharusnya pemerintah tak hanya mendengar dari satu sisi saja, yaitu pengusul. Sebab, masih ada kelompok lain yang memiliki perspektif HAM yang mendukung keberagaman.
Arfi menyatakan, pemkot merupakan representasi dari negara. Sebagai cerminan dari negara, maka sikap dan kebijakan mereka mestinya berdiri di semua golongan atau kelompok. Tak hanya mengamini suara satu pihak saja.
Apalagi menurut Arfi, Bandung tengah dicitrakan sebagai kota toleran dan agamis karena memiliki keberagaman agama dan budaya. Hadirnya wacana perda anti-LGBTQ+ akan mencederai citra Kota Bandung sendiri.
“Respons kita tentu sangat menyesalkan ya terkait wacana ini. Berarti bakal ada lagi satu kelompok kemanusiaan lain yang akan terdiskriminasi, tersisihkan. Tentu dalam perspektif HAM dan keberagaman berbahaya, ya, apalagi dalam konteks penyelenggaraan pemerintah daerah yang harusnya bisa memfasilitasi semua orang,” ungkap Arfi.
Bandung sebagai kota toleran dan agamis mengandung makna yang humanis atau menghormati kemanusiaan. Namun hadirnya perda anti-LGBT tentu membuat makna tersebut dipertanyakan.
“Nah, yang kita pahami Bandung agamis itu dan humanis ya, masa sih kalau Bandung humanis mencederai kelompok kemanusiaan yang lain. Nah ini sangat disesalkan, ya. Mudah-mudahan gak ada ya, nggak jadi kedepannya,” tambah Arfi.
Hadirnya wacana perda diskriminatif di Kota Bandung juga dinilai sebagai bentuk kemunduran. Catatan Jakatarub, selama tahun 2022 terdapat indikasi bahwa Pemkot Bandung kurang menghormati keberagaman ketika wali kotanya menghadiri peresmian gedung Annas milik kelompok yang antiterhadap kelompok lain. Menurut Arfi, apa pun konteksnya, seorang wali kota tidak bisa dibenarkan menghadiri kelompok yang memiliki perspektif antikeberagaman.
Baca Juga: Klaim ODF 100 Persen Kota Bandung di saat Sungai Cikapundung masih Tercemar
Kebijakan Menaikkan Tarif Parkir di Kota Bandung untuk Siapa?
Tahun Baru Imlek sebagai Momentum Menegakkan Toleransi di Kota Bandung
Banyak Hal Penting yang Mestinya Diurusi
Arfi juga menyoroti banyaknya isu sosial yang lebih mendesak untuk segera ditangani oleh Pemkot Bandung, salah satunya persoalan kriminalitas jalanan yang ramai terjadi akhir-akhir ini. Sarana dan prasarana publik di Kota Bandung juga banyak yang mesti ditangani, seperti lampu-lampu penerang jalan yang tak berfungsi dan membuat warga yang melintas menjadi tidak aman dan nyaman.
“Buat teman-teman aktivis perempuan yang keluar malam jadi berisiko tinggi. Khususnya untuk keamanan. Kenapa sih ngak ngurusin ini yang lebih urgen. Tidak mendengar suara-suara ini ketimbang berbicara tentang identitas yang lain yang harus disisihkan,” ungkapnya.
Arfi melihat pemkot masih menggunakan pendekatan suara mayoritas dan favoritisme kepada kelompok tertentu yang menuding kelompok ragam gender dan seksualitas meresahkan warga. Padahal ada yang lebih prioritas untuk diurus pemkot, seperti begal dan kriminalitas.