• Berita
  • Tahun Baru Imlek sebagai Momentum Menegakkan Toleransi di Kota Bandung

Tahun Baru Imlek sebagai Momentum Menegakkan Toleransi di Kota Bandung

Merawat perbedaan di Kota Bandung tidak bisa mengandalkan kerja-kerja kelompok masyarakat. Mereka membutuhkan dukungan dari Pemerintah Kota Bandung.

Umat Konghucu menyalakan lilin besar saat perayaan malam tahun baru Imlek di vihara Darma Ramsi, Bandung, 22 Januari 2023. Membakar lilin besar jadi tradisi dalam ritual doa saat pergantian hari di malam Imlek sebagai bentuk doa, harapan, dan keberuntungan di tahun yang baru. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana23 Januari 2023


BandungBergerak.idIsu toleransi kerap kali menggema pada momen tahun baru Imlek di Kota Bandung. Tokoh agama sampai aktivis berbicara pentingnya menegakkan toleransi antarumat beragama di kota urban ini. Semua menyadari bahwa kota yang memiliki keragaman etnik, budaya, dan agama ini menyimpan potensi konflik yang harus dikikis dengan sikap-sikap toleran.

Upaya membangun pemahaman akan keberagaman Kota Bandung salah satunya dilakukan Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub). Sejak tahun 2.000an, Jakatarub bergerak mensosialisasikan tentang pentingnya membangun penghormatan pada perbedaan agama, budaya, etnis, ras di Kota Bandung.

"Kami inisiasi dari orang-orang muda dan para tokoh agama. Tur malam Imlek ini termasuk salah satu program kami. Tapi sepanjang pandemi kemarin kami tidak melakukan tur langsung, hanya online," kata Arfi Pandu Dinata, Koordinator Jakatarub, dikutip dari siaran pers Pemkot Bandung, Senin (23/1/2023).

Jakatarub rutin berkeliling merayakan hari besar atau perayaan penting dari beragam agama di Kota Bandung.

"Selain bulan Ramadan, Idulfitri, dan Natal, kami juga ada meditasi lintas iman. Lalu kunjungan ke teman-teman penghayat kepercayaan untuk diskusi bersama," ungkapnya.

Arfi juga berharap, agar para generasi muda di Kota Bandung bisa menggerakkan perdamaian promosi toleransi dan mengedukasi orang-orang di sekitar.

"Kita perlu membuka diri, berdialog dengan umat yang berbeda dengan kita. Jadi, kurangi kecurigaan, mari bersama kita jalin komunikasi dengan lintas iman. Kita bisa sama-sama menghidupi kebhinekaan dari hal-hal yang sehari-hari kita lakukan," ujarnya.

Namun, merawat perbedaan di Kota Bandung tidak bisa mengandalkan kerja-kerja kelompok masyarakat. Mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah. Pemerintah, khususnya Pemkot Bandung sebagai representasi negara tentunya harus berdiri pada semua golongan dan menjunjung kebhinekaan. 

Mengapa Bandung Beragam?

Sudah lama Bandung dikenal sebagai kota yang majemuk. Bandung merupakan ibu kota Provinsi Jawa Barat, juga sebagai kota pendidikan, kota jasa dan wisata. Posisi ini membuat Bandung menjadi tujuan warga yang berasal dari luar Bandung, bahkan dari luar pulau Jawa. Jadi otomatis Bandung menjadi kota urban yang plural (bhineka).

“Kehadiran para pendatang, baik dari daerah-daerah lain di Indonesia maupun dari luar negeri, tidak dapat dihindari. Tidak sedikit dari kalangan pendatang tersebut yang kemudian menjadi penduduk Kota Bandung, sehingga komposisi penduduk Kota Bandung makin beragam,” tulis Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati dalam “Jurnal Umbara, Indonesian Journal Of Anthropology”.

Dalam tulisannya, para peneliti mengutip pengamat sosial Budi Radjab (2006) yang menguraikan terbentuknya keberagaman di Kota Bandung sejak lebih dari seabad lampau. Keberagaman itu dibentuk oleh berbagai suku bangsa yang bermukim di Kota Bandung, seperti yang berasal dari Jawa, Batak, Minangkabau, Minahasa, Ambon, Cina, Belanda, dan orang Sunda yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kota Bandung.

Para peneliti menyatakan, keberagaman suku bangsa yang mendiami Kota Bandung semakin bertambah ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi di awal abad ke-20, yang mengundang kehadiran banyak orang dari suku bangsa dan daerah lain ke Kota Bandung untuk menempuh pendidikan dan akhirnya menetap. 

Kendati jumlah etnik Sunda secara umum identik sebagai penduduk asli di wilayah Bandung, tetapi dominasi etnik ini secara kultural berubah secara dinamis. Pada awal tahun 1970-an, menurut para peneliti bahwa etnik Sunda masih relatif mendominasi, termasuk dalam hal kebudayaan, antara lain dalam hal penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.

“Tetapi, dominasi ini mengalami perubahan seiring pertumbuhan Kota Bandung, baik dari sisi kepadatan penduduk, aktivitas ekonomi, dan berkembangnya sarana pendidikan,” demikitan tulis para penilit dari Unpad tersebut.

Baca Juga: Tahun Kelinci setelah Pagebluk
Ketimpangan Sosial di Jawa Barat Kian Lebar
Peresmian Gedung Dakwah Annas oleh Wali Kota Bandung Dinilai Kemunduran dalam Membangun Toleransi

Potensi Konflik pada Masyarakat Majemuk

Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati mencatat, keberagaman Kota Bandung di satu sisi menjadi potensi yang menambah daya tarik. Di sisi lain, juga menyimpan potensi konflik yang bersumber dari keberagaman identitas tersebut. 

Salah satu konflik yang rentan muncul di tengah-tengah masyarakat yang beragam adalah konflik yang bersumber dari perbedaan agama. Para penulis kemudian melihat Bandung dalam konteks nasional melalui studi yang dilakukan Centre of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2012, menyatakan bahwa toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah.

Menurut CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian ini dilakukan pada Februari 2012 di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden.

Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Hasil survei juga menunjukkan kecenderungan intoleransi ada

“Data di atas menunjukkan bahwa meskipun persepsi sebagian besar responden tergolong positif terhadap keberagaman agama, tetapi ketika dikaitkan dengan keberadaan rumah ibadat di lingkungan permukiman, masih ada responden yang mempersepsinya sebagai hal yang tidak seharusnya dilakukan,” tulis para peneliti.

Hal itu bermakna bahwa persepsi toleransi beragama cenderung positif jika perbedaan agama itu masih berada dalam jarak sosial yang tidak terlampau dekat dengan kehidupan sehari-hari responden. Sebaliknya, ketika aktivitas pemeluk agama lain tersebut dinilai sudah memasuki ranah kehidupan sehari-hari, misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan ibadat di sekitar lingkungan permukiman, maka persepsi toleransi mengalami pergeseran ke arah kecenderungan penolakan. 

Para peneliti mengingatkan kemungkinan konflik pada masyarakat yang majemuk umumnya dipicu oleh perizinan pembangunan rumah ibadat yang berada dalam ranah kewenangan pemerintah, sehingga hal ini penting untuk dibenahi dalam rangka meningkatkan capaian indeks toleransi. 

Kepada Pemerintah Kota Bandung, para peneliti meminta agar meningkatkan perannya dalam meminimalkan risiko konflik yang dipicu oleh sentimen keagamaan. Menurut responden yang mereka teliti, diharapkan pemerintah berperan lebih banyak dan lebih substantif dalam hal regulasi kehidupan umat beragama, memenuhi jaminan hak beragama, serta dalam hal penciptaan situasi toleransi yang kondusif, seperti melalui penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendidikan multikultural.

“Pemerintah juga diharapkan lebih tegas, konsisten, dan adil terhadap semua pemeluk agama dalam mensosialisasikan peraturanperaturan yang terkait dengan perizinan pembangunan rumah ibadat dan penerapan peraturan-peraturan tersebut,” kata para peneliti.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//