Peresmian Gedung Dakwah Annas oleh Wali Kota Bandung Dinilai Kemunduran dalam Membangun Toleransi
Wali Kota Bandung diharapkan memberi klarifikasi terkait peresmian Gedung Dakwah Annas milik organisasi yang memiliki rekam jejak diskriminasi dan intoleran.
Penulis Tim Redaksi30 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Bandung yang digaungkan sebagai rumah bersama antarumat beragama dikhawatirkan mengalami kemunduran dengan munculnya kabar bahwa Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, baru saja meresmikan Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (Annas), Minggu (28/8/2022).
Kabar peresmian Gedung Dakwah Annas disampaikan siaran pers lembaga advokasi keberagaman, Setara Institute. Dalam rilisnya, Setara Institute menyebutkan bahwa Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, meresmikan Gedung Dakwah Annas yang berlokasi di Jalan R.A.A. Martanegara No.30 Turangga Kota Bandung.
Setara Institute juga mengutip sambutan Wali Kota Bandung dalam peresmian gedung dakwah tersebut, yangyang menyatakan bahwa pemerintah kota Bandung mengapresiasi dibangunnya gedung dakwah Annas.
Wali Kota memberikan dukungan kepada Annas agar gedung dakwah ini semakin memberikan keamanan dan kenyamanan bagi warga masyarakat Kota Bandung dalam menjalankan aktivitas keagamaan sesuai agama yang diakui oleh negara.
Setara Institute memandang langkah Pemkot Bandung melalui wali kotanya justru berpotensi menumbuhkan aksi intoleransi yang tidak menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka, Setara Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut:
Pertama, Setara Institute mengecam keras kehadiran wali kota dan aparatur negara di Kota Bandung serta dukungan mereka terhadap Annas. Apa yang dilakukan oleh Wali Kota Bandung dan aparat pemerintah di Kota Bandung jelas merupakan keberpihakan nyata dan fasilitasi aktif kepada Annas yang, menurut data riset Setara Institute, kerap kali menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada kategori aktor nonnegara.
“Selain itu, pernyataan wali kota dalam sambutannya, yang membingkai kelompok-kelompok yang menjadi objek gerakan Annas seakan “tidak diakui negara” merupakan pernyataan dan sikap intoleran,” kata Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan, dikutip dalam keterangan pers, Selasa (30/8/2022).
Kedua, Setara Institute menyatakan kehadiran dan apresiasi yang diberikan oleh Wali Kota Bandung telah menciderai rasa keadilan korban intoleransi, terutama komunitas Syiah, yang secara berulang telah menjadi korban intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan.
“Selain itu, wali kota juga telah memporak-porandakan agenda-agenda inklusi sosial dan penguatan kohesi sosial yang dengan kerja diupayakan jaringan masyarakat sipil dan komunitas lintas agama di Bandung,” katanya.
Ketiga, Setara Institute mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk memberikan teguran kepada wali kota, aparatur pemerintah kota, dan kecamatan. Aparatur negara, termasuk DPRD, aparat TNI, dan kepolisian setempat, harus bersikap netral dan patuh pada UUD Negara Republik Indonesia tahun di mana Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 (2) memberikan jaminan kesetaraan kepada tiap-tiap orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Demikian pula dengan Panglima TNI dan Kapolri. Mereka harus memberikan peringatan dan teguran keras kepada jajarannya yang mendukung kegiatan organisasi intoleran.
Keempat, Setara Institute mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang penamaan organisasi yang mengandung frasa anti terhadap kelompok tertentu, dengan tetap menghormati hak berkumpul dan berorganisasi sesuai jaminan HAM dan hak konstitusional warga.
Setara Institute menyatakan, permusuhan terhadap sesama warga negara yang diekspresikan sebagai nama dan misi organisasi nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 yang menjamin kesetaraan warga negara.
Frasa antikelompok agama tertentu yang diusung suatu organisasi dinilai bertentangan dengan Pasal 3 UU Ormas, yang berbunyi “Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Wali Kota Bandung Yana Mulyana telah diminta klarifikasinya terkait kehadirannya dalam peresmian Gedung Annas. Namun wali kota menjanjikan bahwa klarifikasi akan disampaikan lain waktu.
“Nantilah, nanti itu mah, nanti, nanti,” ucap Yana Mulyana, Selasa (30/8/2022).
Namun pada beberapa kesempatan, Pemkot menyatakan bahwa Bandung merupakan kota agamis yang menghormati semua agama, sebagai sebagai rumah bersama untuk semua agama dan beragam suku bangsa.
Yana Mulyana pernah menyatakan bahwa hubungan antarumat beragama di Bandung harmonis.
"Kami harus bisa menjamin setiap warga bisa melaksanakan ibadah sebaik-baiknya," beber Yana, pada siaran pers tentang Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Periode 2022-2027 di Balai Kota Bandung, Rabu (6/7/2018).
Yana mengatakan, dengan perbedaan suku ras agama maupun budaya semua masyatakat bersatu untuk menjaga keamanan kenyamanan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada siaran pers yang sama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bandung, Bambang Sukardi menyampaikan, situasi kondusif saat ini tidak terlepas dari peran pemuka agama juga tokoh masyarakat di Kota Bandung dalam mendorong persaudaraan dan perdamaian.
Baca Juga: Jawa Barat Terus Bergelut dengan Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Koalisi Masyarakat Penutur Bahasa Sunda: Pernyataan Arteria Dahlan Mencederai Kebebasan Berekspresi
Komnas HAM Beberkan Potret Kekerasan Negara terhadap Rakyatnya dalam Kurun 2020-2021
Penting, Klarifikasi Wali Kota Bandung
Pernyataan serupa juga disampaikan organisasi kerukunan antarumat beragama di Kota Bandung, Jakatarub (Jaringan Kerja Antarumat Beragama). Pendiri Jakatarub, Wawan Gunawan berharap Pemkot Bandung segera memberikan klarifikasi terkait kehadiran Wali Kota Bandung di peresmian Gedung Dakwah Annas.
“Saya ingin mempertanyakan dulu (wali kota) benar datang khusus untuk acara itu. Kalau benar datang dan menyetujui, meresmikan, itu jelas kemunduran bagi Kota Bandung,” kata Wawan Gunawan, saat dihubungi BandungBergerak.id.
Saat ini klarifikasi dari Pemkot Bandung amat penting disampaikan kepada masyarakat. Sebab, langkah Wali Kota Bandung akan berpengaruh pada upaya membangun rumah bersama (inklusifisme) bagi Kota Bandung sendiri.
Kalau Wali Kota Bandung tidak memberikan klarifikasi, maka Jakatarub sebagai komunitas yang selama ini aktif mengupayakan kerukunan antarumat beragama, sangat menyesalkan langkah Pemkot Bandung.
Padahal menurut catatan Jakatarub, saat ini kerukunan antarumat beragama di Kota Bandung sedang mengalami tren perbaikan. Indeks toleransi Kota Bandung menurut Setara Institute pada 2020 mengalami kenaikan dari nomor 70 menjadi 36.
“Artinya naik 100 persen. Dengan persitiwa ini (peresmian Gedung Dakwah Annas) memperburuk Kota Bandung yang sudah kita bangun,” katanya.
Wawan mengingatkan bahwa Wali Kota Bandung merupakan jabatan yang merepresentasikan negara. Dalam Konstitusi jelas disebutkan bahwa negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM). Beragama merupakan bagian dari HAM yang sangat penting. Bahkan beragama termasuk hak nondelegebati yang tidak boleh ditangguhkan (nonderogable rights). Bahwa kebebasan beragama berarti bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun.
Jakatarub – bersama Kesbangpolinmas yang tidak lain bagian dari birokrasi Pemkot Bandung – saat ini sedang giat-giatnya membangun dialog antarumat beragama, termasuk dengan kelompok sunni dan syiah. Namun dengan langkah Pemkot Bandung yang memihak pada kelompok dengan riwayat intoleran dikhwatirkan akan mementahkan semua upaya dialog yang telah dilakukan.
Wawan juga menggarisbawahi nama organisasi yang mengusung antikelompok agama tertentu. Menurutnya nama ini menganandung kebencian yang tak seharusnya mendapat dukungan dari pejabat negara.
“Wacana Suni Syiah harusnya didorong dalam bingkai persaudaraan dan perdamaian. Kalau bingkai permusuhan disetujui wali kota itu kesalahan besar,” katanya.
Menurutnya, persaudaraan suni syiah di Indonesia sangat bisa dan sudah terjadi. Praktik syiah bahkan sudah masuk dalam kultur di Indonesia, seperti bubur merah dan bubur putih untuk menghormati Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Ada juga tradisi asyura.
Selain itu, di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sangat terbuka terhadap kelompok syiah demi terciptanya perdamauan dan persaudaraan. Dengan kata lain, upaya persaudaraan suni syiah di Indonesia sudah lama dan bisa dilakukan.
“Tiba-tiba ada lembaga yang dari namanya saja mau memecah belah. Seharusnya wali kota bijak turut mendamaikan. Bukan berpihak pada satu pihak,” katanya.
Pada 2021, laporan Setara Institute menunjukkan bahwa kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) masih menjadi masalah di Indonesia maupun di provinsi Jawa Barat. Bahkan Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan kasus KBB tertinggi dalam 14 tahun berturut-turut.
Dari sisi aktor, Setara Institute menyatakan pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh kepolisian (16 tindakan) dan pemerintah daerah (15 tindakan). Pelanggaran KBB oleh aktor nonnegara paling banyak dilakukan oleh kelompok warga (57 tindakan), individu (44 tindakan), dan organisasi masyarakat/ormas (22 tindakan).
Jika ditinjau dari provinsi dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terbanyak pada tahun 2021, Jawa Barat menempati posisi pertama dengan 40 kasus. Lalu, disusul oleh DKI Jakarta (26 kasus), Jawa Timur (15 kasus), Kalimantan Barat (14 kasus), Sumatera Utara (11 kasus).
Sejak 2008, Provinsi Jawa Barat secara konsisten menempati posisi teratas sebagai provinsi dengan pelanggaran KBB terbanyak. Meski Jawa Barat selalu berada di urutan tertinggi sebagai provinsi paling intoleran terkait KBB, namun Wawan Gunawan melihat ada peningkatan praktik-praktik toleransi dan perdamaian. Gerakan ini tumbuh subur di Jawa Barat terutama di masyarakat sipil.
“Praktik baik di Jawa Barat terus bertambah terutama di gerakan masyarkat sipil. Sekarang banyak komunitas-komunitas yang konsens pada isu toleransi dan perdamaian ini,” kata Wawan Gunawan.
Kelompok-kelompok properdamaian di Jawa Barat tersebut misalnya Peace Generation Bandung, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi), Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon, (Gerakan Pemuda untuk Inklusi Cimahi (Gradasi), dan sebagainya.
Wawan juga mengatakan, pada perayaan asyura komunitas Syiah di Bandung tahun ini berlangsung aman dan damai. Artinya, ada proses dialog damai antarumat beragama yang selama ini dibangun. Perlu diketahui, pada tahun-tahun sebelumnya menjelang perayaan hari besar umat Syiah itu, kerap kali ada massa yang berdemonstrasi melakukan penolakan.
*Tulisan ini hasil liputan reporter BandungBergerak, Emi La Palau dan Iman Herdiana