Ketimpangan Sosial di Jawa Barat Kian Lebar
Berdasarkan rilis tersebut, tahun ini Pemprov Jabar mengklaim paling baik menurunkan angka kemiskinan per September 2022, yakni 17,36 ribu jiwa.
Penulis Iman Herdiana20 Januari 2023
BandungBergerak.id - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Barat pada bulan September 2022 adalah sebanyak 4,05 juta orang. Persentase penduduk miskin tersebut mencapai 7,98 persen dari total jumlah penduduk. Jawa Barat juga menghadapi jurang ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan. Masalah ini tak kunjung selesai dalam lebih dari satu dekade lalu.
Tiap tahunnya, angka kemiskinan Jawa Barat fluktuatif, naik turun, sebagaimana terlihat dari siaran pers BPS Jawa Barat, diakses Jumat (20/1/2023). Berdasarkan rilis tersebut, tahun ini Pemprov Jabar mengklaim paling baik menurunkan angka kemiskinan per September 2022, yakni 17,36 ribu jiwa.
Padahal penurunan ini terjadi jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2022 dengan persentase 0,08 persen poin. Namun mengalami kenaikan sebesar 0,01 persen poin jika dibandingkan dengan September 2021.
BPS juga mencatat persentase penduduk miskin di wilayah perkotaan pada September 2022 sebesar 7,52 persen, sementara di wilayah perdesaan sebesar 9,75 persen. Artinya angka kemiskinan lebih besar terdapat di perdesaan Jawa Barat.
Jumlah dan persentase penduduk miskin itu ditentukan oleh garis kemiskinan yang tercatat sebesar 480.350 rupiah per kapita per bulan pada September 2022. Dengan kata lain, warga miskin Jawa Barat berpendapatan hanya 480.350 rupiah per kapita per bulan.
Selain itu, BPS merilis Tingkat Ketimpangan (Gini Ratio) Provinsi Jawa Barat September 2022 sebesar 0,412. Angka ini menurun tipis 0,005 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,417. Namun ketimpangannya meningkat 0,006 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2021 yang sebesar 0,406. Catatannya, ketimpangan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Pembangunan Cenderung Menumpuk di Satu Titik
Lebih dari satu dekade lalu, angka kemiskinan di Jawa Barat tetap ada. Pemimpin atau gubernur berganti-ganti, tetapi angka ketimpangan seakan semakin menganga.
Pritha Aprianoor dan Muhammad Muktiali, dari Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, melalui jurnal ilmiahnya membedah potret kemiskinan Jawa Barat antara 2007-2013.
Dalam kurun tersebut, Pritha dan Muktiali menulis bahwa ketimpangan wilayah di Provinsi Jawa Barat termasuk ketimpangan level tinggi. Ini terjadi karena kegiatan perekonomian maupun pembangunan hanya berpusat di beberapa wilayah saja.
Baca Juga: Peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan di Bandung, Pelanggaran HAM di Masa Lalu Belum Selesai
Mengatasi Banjir di Kota Bandung tidak Cukup dengan Rumah Pompa, Drainase Harus Ditambah
Pengalaman Warga Lolos dari Kriminalitas Jalanan Kota Bandung
Kegiatan perekonomian ini banya terpusat di Kota Bandung sebagai ibu kota dan beberapa wilayah lain yang dijadikan sebagai pusat industri seperti Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi serta Karawang yang berada di wilayah utara Jawa Barat.
Tidak meratanya perekonomian membuat tidak merata pula kemajuan suatu daerah. Beberapa wilayah maju pesat sedangkan yang lainnya tidak.
Kondisi ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, peneliti melihatnya dari 9 kelompok, yaitu: kesejahteraan dan tingkat pendidikan penduduk, kelompok jumlah penduduk, tenaga medis serta sarana pendidikan dan kelompok komposisi penduduk dan sarana kesehatan.
“Strategi yang dapat dirumuskan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan Jawa Barat adalah dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, meningkatkan kualitas infrastruktur, meningkatkan jumlah investasi, meningkatkan pendapatan asli daerah, meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan lain-lain,” tulis Pritha dan Muktiali, dikutip dari jurnal berjudul Kajian Ketimpangan Wilayah Di Provinsi Jawa Barat.
Keduanya menyarankan pemerintah harus bisa mengenali potensi dan kelemahan wilayah masing-masing. Setiap wilayah memiliki karakteristik tersendiri yang apabila dikenali dan secara kreatif dikembangkan, akan menjadi nilai tambah bagi wilayah tersebut.
Contohnya seperti wilayah yang memiliki sektor basis pertanian, apabila pemerintah tidak mengenali potensi ini maka pertanian akan dibiarkan menjadi pertanian konvensional, namun apabila pemerintah cermat dalam mengenali potensi wilayah, pertanian ini dapat dijadikan agroindustri maupun agrowisata yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan penghasilan lebih.