• Berita
  • Peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan di Bandung, Pelanggaran HAM di Masa Lalu Belum Selesai

Peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan di Bandung, Pelanggaran HAM di Masa Lalu Belum Selesai

Bandung sebagai ibu kota Konferensi Asia-Afrika, warganya dinilai belum sepenuhnya bisa mendapatkan hak hidup yang layak. Contohnya, penggusuran marak.

Wanggi Hoed memberikan orasi pada peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan, di depan Gedung Sate, Kamis (19/1/2023). Permintaan maaf presiden terhadap 12 kasus HAM masa lalu apakah hanyalah gimmick atau ajang cuci tangan masa kepemimpinan yang akan berakhir? (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul20 Januari 2023


BandungBergerak.idAksi dengan pakaian serba hitam dan berpayung hitam dilakukan oleh keluarga korban kekerasan hak asasi manusia (HAM), di depan Istana Negara, sejak 18 Januari 2007. Momen ini kemudian menjadi titimangsa berlangsungnya Aksi Kamisan. Aksi serupa kemudian menjalar di kota-kota lainnya termasuk di Bandung. Tujuan aksi tidak lain untuk merawat ingatan akan kekerasan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai hari ini.

Tak terasa di tahun ini Aksi Kamisan menginjak usianya yang ke-16. Kendati demikian, pelanggaran-pelanggaran HAM terus terjadi di negeri kepulauan ini.

“Tidak ada perubahan sama sekali. Di Jawa banyak terjadi (pelanggaran HAM), tapi di Sumatera lebih banyak lagi,” teriak John Heryanto ketika berorasi, salah seorang aktivis Aksi Kamisan asal Lampung, di depan Gedung Sate, Bandung, Kamis (19/1/2023).

John menerangkan bahwa persoalan kekerasan di Jawa cenderung lebih banyak mengundang perhatian. Padahal, di pulau-pulau lainnya juga banyak kekerasan oleh aparatur negara. Persoalan-persoalan sengketa, perebutan lahan, kekerasan, penganiayaan, hingga pembunuhan berkedok pembangunan untuk umum. Hal ini juga terjadi di daerah asal John, Lampung.

Menurut John, Bandung sebagai ibu kota Konferensi Asia-Afrika, sebuah konferensi nonblok yang menginspirasi negara-negara di Asia dan Afrika menolak kolonialisme dan menyatakan kemerdekaan, nyatanya belum sempurna. Warga Bandung dinilai belum sepenuhnya bisa mendapatkan hak hidup, pendidikan, dan kesehatan yang layak.

“Pemerintah masih kolonial. Masyarakat tidak banyak mendapatkan hak hidup yang layak. Penggusuran masih terjadi,” teriak John.

John menyinggung pernyataan maaf Presiden Joko Widodo mengenai 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Ia menilai permintaan maaf pemerintah hanyalah pencitraan dan dan berkedok kampanye untuk kepentingan pemilu (Pemilihan Umum).

Di akhir orasi ia menegaskan, salah satu cara yang dapat dikuatkan oleh masyarakat dengan terus bersolidaritas. Masyarakat ikut menyuarakan melalui Aksi Kamisan.

“Berdiri setiap Kamis, berdiri bersama-sama, merawat ingatan,” tegasnya.

Wanggi Hoed, seniman pantomim dan aktivis Aksi Kamisan Bandung menyebutkan bahwa 16 tahun adalah waktu yang panjang. Selama rentang waktu tersebut telah banyak kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh negara. Upaya yang dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran HAM pun demikian. Namun upaya yang dilakukan oleh negara tidak sesuai harapan dan berujung pada impunitas.

“Aksi Kamisan ini sebagai gerakan melawan impunitas. Bentuk ruang publik juga yang ruang publiknya tidak ada lagi sekarang," kata Wanggi, dalam orasinya.

Pada peringatan Aksi Kamisan ke-16 tahun ini, selain dilakukan di Bandung dan di Jakarta, juga dilakukan di kota-kota lainnya di Indonesia. Wanggi menguji, bagaimana ketika peringatan Aksi Kamisan setahun atau dua tahun mendatang, akankah pelanggaran HAM berkurang dan terselesaikan atau malah makin bertambah.

Sebab, Aksi Kamisan yang berumur panjang menandakan tidak adanya penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu maupun yang terjadi belakangan.

Baca Juga: Kudeta Militer dan Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia, Bagaimana Disposisi Diplomasi Indonesia?
Pengalaman Warga Lolos dari Kriminalitas Jalanan Kota Bandung
Mengatasi Banjir di Kota Bandung tidak Cukup dengan Rumah Pompa, Drainase Harus Ditambah

John memberikan orasi pada peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan, di depan Gedung Sate, Kamis (19/1/2023). Menurut pria asal Lampung ini, pelanggaran di daerah lain belum cukup mendapat perhatian, berbeda dengan pelanggaran yang terjadi di Pulau Jawa. (Foto: BandungBergerak.id)
John memberikan orasi pada peringatan 16 Tahun Aksi Kamisan, di depan Gedung Sate, Kamis (19/1/2023). Menurut pria asal Lampung ini, pelanggaran di daerah lain belum cukup mendapat perhatian, berbeda dengan pelanggaran yang terjadi di Pulau Jawa. (Foto: BandungBergerak.id)

Maaf atau Menambah Kebohongan Baru?

“Negara tidak tegas menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia. Negara tidak pernah benar-benar berpihak pada korban,” teriak Althaf, orator berikutnya.

Althaf menilai Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu tidak menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM. Sebab, mandat yang diberikan melalui aturan tersebut hanyalah menganalisis permasalahan, sebab-akibatnya, serta dampak yang timbul akibat pelanggaran tersebut.

Namun Wanggi mengapresiasi tindakan permohonan maaf tersebut merupakan langkah iktikad baik yang dilakukan oleh pemerintah. Meski demikian ia mempertanyakan apakah permohonan maaf yang disampaikan benar-benar tulus atau hanya sekedar “gimmick” menjelang ajang pemilu atau ajang cuci tangan masa kepemimpinan yang akan berakhir.

Permintaan maaf yang dilakukan oleh presiden, lanjut Wanggi jangan sampai mencederai keluarga korban. Keluarga korban HAM masa lalu sempat dipanggil ke istana untuk membahas penyelesaian persoalan HAM. Namun, terhadap kasus-kasus HAM yang telah terjadi di masa lalu tetap tidak ada penyelesaian.

“Harus ada pengadilan HAM ad-hoc yang dilakukan negara terhadap 12 kasus ini untuk bisa membuka dan melihat masa lalu yang penuh dengan kejahatan kemanusiaan ini,” terang Wanggi kepada BandungBergerak.id, usai aksi.

Dalam Keppres) No. 17 tahun 2022 terdapat poin yang memandatkan analisa terhadap kasus-kasus HAM di masa lalu, namun tidak memandatkan penyelesaian. Kekerasan yang terjadi belakangan seperti di Kinipan, Wadas, dan daerah lainnya menunjukkan kebohongan-kebohongan berlapis.

“Kebohongan-kebohongan ini ternyata berlapis. Poin analisis (di dalam Keppres) itu akan menjadi indikator yang berlapis tadi. Apakah ini akan menjadi itikad baik atau jangan-jangan mengembalikan lagi kebohongan-kebohongan yang seperti sudah-sudah,” tambahnya.

Keppres tersebut menjadi salah satu indikator penilaian terhadap komitmen negara untuk menyelesaikan persoalan HAM di masa lalu. Jika Keppres masih berujung pada impunitas, maka kekerasan dan kebohongan laten masih terus dipraktikkan oleh rezim oligarki.

Wanggi menegaskan bahwa umur 16 tahun Aksi Kamisan merupakan bukti kekerasan dan pelanggaran yang masih berlangsung. Kalaupun kasus HAM di masa lalu tidak ada atau sudah terselesaikan, Aksi Kamisan akan terus menyala untuk menyuarakan kasus-kasus yang terpinggirkan di tingkat lokal yang tidak menjadi perhatian media arus utama. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//