• Kolom
  • PAYUNG HITAM #7: 9 Tahun Aksi Kamisan Bandung, Kota Kembang (masih) tidak Ramah HAM

PAYUNG HITAM #7: 9 Tahun Aksi Kamisan Bandung, Kota Kembang (masih) tidak Ramah HAM

Kini sudah 9 tahun bergulir di bawah payung hitam di Kota Bandung; 9 tahun lamanya kami menuntut dan 9 tahun lamanya pula pemerintah masih menutup mata.

Aoelia M.

Penulis lepas dan aktivis perempuan, bergiat dalam gerakan literasi dan pemberdayaan perempuan

Teatrikal pada Aksi Kamisan Bandung, 19 Juli 2021, mengajak warga untuk tidak lupa dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sekaligus mengingatkan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa kini dan masa depan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

21 Juli 2022


BandungBergerak.id - Tanggal 18 Juli menandai hari penting tercetusnya sebuah gerakan di Indonesia yang biasa dikenal masyarakat sebagai Aksi Kamisan. Diinisiasi oleh KonraS, JSKK, dan JRK pada tahun 2006 lalu, gerakan ini berfokus menuntut isu-isu pelanggaran HAM berat yang sudah lama diabaikan oleh pemerintah. Aksi Kamisan pertama yang diselenggarakan di Jakarta kemudian menjadi acuan bagi kota-kota lain dalam mengadakan aksi-aksi serupa.

Di kota Bandung sendiri, Aksi Kamisan mulai hadir di tahun 2013 lalu diinisiasi oleh seniman pantomim yang juga aktif bergerak di bidang kemanusiaan, Wanggi Hoed dan kawan-kawan. Sejak tahun tersebut, Aksi Kamisan pun terpantau aktif dilaksanakan di hadapan Gedung Sate atau Gedung DPRD Jawa Barat atau titik-titik keramaian lainnya di kota kembang.

Seiring gerak waktu, peserta yang ikut meramaikan panggung tuntutan rakyat ini kian beragam. Mulai dari warga korban penggusuran, solidaritas antar buruh, orangtua maupun kerabat dari orang-orang yang dihilangkan negara, kaum minoritas, kelompok-kelompok teater kecil, dan performer atau seniman jalanan, hingga para mahasiswa. Orang-orang ini kemudian bersama-sama menundukkan kepala di bawah payung hitam yang sama dan menuntut keadilan dalam aksi diam.

Jika ditilik lagi kebelakang, Aksi Kamisan banyak mendapat pengaruh dari sebuah gerakan di Plaza de Mayo Argentina. Pada tahun 1977, para ibu yang memperjuangkan keadilan untuk anak-anak mereka yang hilang atau dibunuh karena dituduh subversif oleh rezim pemerintah bersama-sama berkumpul dan mengadakan berbagai macam refleksi di pusat pemerintahan di kompleks Plaza de Mayo.

Maka, dengan harapan yang sama atas penghapusan impunitas dan tanggung jawab negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM lain seperti halnya pemberangusan kebebasan berpendapat, penggusuran paksa, dan pembubaran ibadah kaum minoritas.

Kini sudah 9 tahun bergulir di bawah payung hitam di Kota Bandung; 9 tahun lamanya kami menuntut dan 9 tahun lamanya pula pemerintah masih menutup mata. Jalan yang kami lalui memang tidak pernah mudah dan tidak jarang kami juga menjadi korban. Namun, selama kami berdiri bersama, kami akan terus ad dan berlipat ganda.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #4: Muhammad, Maria, dan Hal-hal di Antaranya
PAYUNG HITAM #5: Apa yang Bisa Diperbuat Setelah Pemekaran Papua?
PAYUNG HITAM #6: Rafi dan Impotensi Sistem Pendidikan

Bandung di Bawah Sepatu Lars

Sudah menjadi bahan cemoohan yang umum ketika Bandung untuk pertama kalinya menyandang predikat kota ramah HAM pada tahun 2015 lalu. Pemberian predikat tersebut dinilai tanpa dasar karena faktanya kasus demi kasus pelanggaran HAM terus tumbuh subur dari tahun ke tahun. Sebutlah kekerasan dan penganiayaan terhadap pengunjuk rasa Omnibus Law tahun 2020 lalu, atau pembubaran ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani di Gedung Sabuga tahun 2016 lalu.

Atau, siapa yang bisa luput melihat konflik penggusuran yang terjadi di Tamansari tepat setelah 2 hari predikat kota ramah HAM ke Kota Bandung?

Di hari ini, titik-titik penggusuran paksa terus bertambah: Anyer Dalam, Dago Elos-Cirapuhan, Laswi; dan korban-korban kekerasan terus berkaparan. Aksi Kamisan dan berbagai komunitas lain di jalan pun tidak jarang menghadapi kekerasan aparat bahkan ketika kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak mengandung unsur provokatif. Pembubaran kegiatan perpustakaan jalanan pada bulan Juni lalu, misalnya.

Kultur Bandung yang sangat kental dengan kultur sepatu lars begitu kontras dengan predikat yang disandangnya. Forum Demokrasi Bandung dan beberapa organisasi lokal lain pun pernah menyuarakan pernyataan sikap mereka terhadap pemberian predikat tersebut. Seperti yang dikutip dari, “Bandung Hari Ini: Setelah Deklarasi Kota HAM, lalu Apa?” Forum Demokrasi Bandung mempertanyakan Deklarasi Bandung Kota HAM di saat intimidasi dan diskriminasi bagi umat beragama minoritas masih eksis. 

Di tahun ke-9 kami mewakili aspirasi rakyat dari berbagai lapisan dan kalangan, besar harapan kami untuk bisa mewujudkan Bandung sebagai kota ramah HAM secara harfiah dan secara praktikal. Bukan hanya sekadar omprengan kosong yang dielu-elukan pejabat tapi tidak pernah dinikmati oleh masyarakatnya sendiri.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//