• HAM
  • Tuntutan Penuntasan Kasus HAM, antara Bandung dan Jakarta

Tuntutan Penuntasan Kasus HAM, antara Bandung dan Jakarta

Penuntasan kasus HAM akan terus disuarakan dari generasi ke generasi, walaupun rezim penguasa berganti. Hari Pembela HAM Internasional menguatkan tuntutan ini.

Para pegiat Aksi Kamisan Bandung berdiri di bawah payung hitam di depan Gedung Sate pada tahun 2016 lalu. Sudah berumur delapan tahun, kegiatan ini secara konsisten menyuarakan isu-isu HAM. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana9 Desember 2021


BandungBergerak.idKasus pelanggaran HAM di Indonesia hingga kini masih jauh dari kata tuntas. Banyak kasus yang tersendat, jalan di tempat, atau mungkin dilupakan. Penuntasan kasus-kasus HAM di masa lalu itu menemukan momennya di hari Hari Pembela HAM Internasional 2021 hari ini, Kamis (9/12/2021).

Momen yang ditetapkan PBB melalui Deklarasi Pembela HAM tersebut kebetulan jatuh hari Kamis bertepatan dengan aksi kamisan yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM. Di Bandung, aksi kamisan biasa dilakukan di depan Gedung Sate yang menjadi simbol dari pemerintah. Pesertanya kebanyakan anak muda yang sadar akan pentingnya penuntasan kasus HAM.

Sementara itu, Koalisi Pembela HAM merilis data miris tentang meningkatnya serangan terhadap para pembela HAM dewasa ini dan terus meningkat setiap tahunnya, baik jumlah maupun ragam kekerasannya. Pada tahun 2019 YPII mencatat pembela HAM yang mengalami kekerasan mencapai 290 orang.

Pada tahun 2020, Amnesty International mencatat 253 orang, dan pada tahun 2021 jumlah korban naik menjadi 297 orang. Jika dilihat dari isu sektoral, sepanjang 2020, ELSAM mencatat ada 178 Pembela HAM di isu lingkungan yang mengalami kekerasan, dan 2 di antaranya meninggal akibat pembunuhan. Pun halnya laporan ELSAM pada periode Januari-Agustus 2021 menyebutkan sebanyak 95 korban individu dan kelompok mengalami ancaman dan kekerasan.

“Jika dilihat dari bentuknya, ada beragam bentuk kekerasan dan ancaman yang terjadi pada pembela HAM yang meningkat tajam yaitu pada serangan digital, kriminalisasi dengan menggunakan pasal karet, dan serangan berbasis gender,” demikian Koalisi Pembela HAM yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, ELSAM, Greenpeace, ICEL, Imparsial, Institute for Women’s Empowerment, Kemitraan, KontraS, LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, dan YPII, dalam keterangan tertulis yang diterima BandungBergerak.id, Kamis (9/12/2021).

Koalisi mengungkapkan, SAFEnet mencatat 147 insiden serangan digital sepanjang 2020. Puncak serangan digital terjadi saat penolakan Omnibus Law di bulan Oktober 2020. Sedangkan di tahun 2021 (per November), terjadi 120 insiden dan puncaknya adalah serangan terjadi pada bulan Mei yang menyasar aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch dan mantan anggota KPK yang dipecat karena tidak lulus TWK.

Di samping itu, upaya kriminalisasi terhadap pembela HAM terus berlangsung. Kasus terbaru yang menjadi perhatian publik adalah kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Pun halnya teror bahan peledak yang menimpa kekuarga pembela HAM, Veronica Koman.

“Serangan pada pembela HAM acap terjadi ditujukan pada keluarga dan kerabat dekat yang tidak terlibat dalam advokasi yang dilakukan pembela HAM tersebut. Jurnalis dan media sebagai pilar demokrasi pun tidak terbebas dari serangan dan potensi kriminalisasi karena pekerjaannya sebagai jurnalis, misalnya kasus yang menimpa Asrul di Palopo dan Nurhadi di Surabaya,” papat Koalisi.

Strategi pembangunan rezim pemerintah saat ini yang berorientasi infrastruktur, ekonomi, dan investasi, dinilai memperburuk situasi perlindungan dan keamanan pembela HAM. Dari segi aktor pelaku penyerangan, Koalisi mencatat, Komnas HAM mencatat bahwa kepolisian menjadi pihak yang sering diadukan sebagai pelaku dalam kasus pelanggaran HAM.

Hari Pembela HAM Nasional

Deklarasi Pembela HAM secara garis besar memuat dua maklumat. Pertama, pengingat pentingnya pemenuhan hak terhadap setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM. Kedua, perintah kepada negara untuk melindungi setiap individu dan kelompok yang memperjuangkan HAM secara institusional dan administratif.

Sayangnya, Koalisi menilai perlindungan terhadap Pembela HAM di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. UU 39/ 1999 tentang HAM dan beberapa peraturan sektoral lainnya belum sepenuhnya memberikan perlindungan pada pembela HAM.

Indonesia sebenarnya telah menetapkan 7 September 2021 sebagai Hari Pembela HAM Nasional. Ini sesungguhnya menjadi harapan baik, untuk menghormati dan memenuhi hak-hak pembela HAM dan melahirkan usulan kebijakan perlindungan pada pembela HAM, misalnya UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pasal 66 di mana pejuang lingkungan tidak dapat dipidanakan meskipun kebijakan turunanya dalam bentuk Permen Anti-SLAPP belum terealisasi.

Namun, Koalisi melihat mekanisme anti-SLAPP ini bisa diperkuat lagi dengan menghentikan SLAPP sedini mungkin. Anti-SLAPP dalam pembelaan HAM secara umum menjadi penting untuk diadopsi dalam Revisi UU 39/1999 Tentang HAM agar perlindungan kepada Pembela HAM terhadap serangan hukum menjadi lebih utuh.

Tak luput juga Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), harus diimplementasikan secara lebih tegas untuk mengerem laju kasus kriminalisasi terutama di tingkat penyidik dan kejaksaan agar lebih selektif dalam menilai sebuah tindak pidana.

Berdasarkan uraian tersebut, Koalisi Pembela HAM, bertepatan dengan hari Pembela HAM Internasional mendesak:

1. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi Pembela HAM dan menyetujui menjadikan 7 September sebagai hari Pembela HAM Nasional;

2. DPR-RI meneguhkan komitmen dan janji politik untuk melakukan revisi UU HAM No.39/1999 dalam Prolegnas 2022 dengan memasukkan ketentuan perlindungan pada Pembela HAM;

3. Pemerintah dan DPR-RI agar melakukan amandemen pada UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mencabut pasal karet di berbagai undang-undang yang seringkali digunakan sebagai alat mengkriminalisasi Pembela HAM;

4. Aparat penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan agar menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam penanganan perkara Pembela HAM;

5. Komnas HAM segera melakukan diseminasi SNP No. 6 tentang Pembela HAM ke seluruh jajaran Kementerian dan Kelembagaan dan menerbitkan revisi Peraturan Komnas HAM No. 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM juga mempercepat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap Pembela HAM, khususnya menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran berat HAM.

Baca Juga: Realitas Kebebasan Pers di Jawa Barat tak Sebebas Hasil Survei Dewan Pers
LBH Bandung Ajak Warga Kirim Surat Menolak Pemecatan 57 Pegawai KPK ke Presiden Jokowi

Anak Muda di Kamisan Bandung

Suara penegakan HAM dan perlindungan terhadap pembela HAM di Indonesia justru banyak muncul dari bawah, yakni dari anak-anak muda, seperti yang terjadi pada Kamisan Bandung. Kegiatan mingguan ini mendapat antusias dari banyak kalangan, termasuk melahirkan jurnal-jurnal penelitian, salah satunya dilakukan Tryan Nugraha dari Universitas Padjadjaran (Unpad).

Dalam makalah berjudul “Makna Kamisan Oleh Anggota pada Aksi Penegakan HAM di Kota Bandung”, Tryan Nugraha mengungkapkan Kamisan Bandung konsisten digelar selama belasan tahun, dengan visi dan misi yang sama dengan Kamisan di Jakarta, yaitu mengusut dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Mereka konsisten melakukan aksi setiap Kamis, di bawah terik dan hujan, walupun jumlah massanya kadang sedikit. Mereka terus mendorong lahirnya kebijakan dan keputusan pemerintah terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh sanak keluarganya yang sampai detik ini tidak ada kepastian.

“Berbeda dengan aksi kamisan di Kota Bandung, anggotanya adalah para muda-mudi yang bukan dari keluarga korban kekerasan HAM di masa lalu. Setiap minggunya mereka selalu hadir dan menyuarakan keadilan di negara Indonesia dengan permasalahan-permasalahan sosial khususnya menuntut keadilan kasus pelanggaran HAM,” ungkap Tryan Nugraha.

Tryan juga mencatat, kebanyakan dari anggota Kamisan Bandung adalah para remaja yang masih terbilang sangat muda, misalnya pelajar SMA/SMP, dan ada pula mahasiswa dan yang sudah bekerja paruh waktu.

Menurutnya, mereka bukan berasal dari keluarga korban kekerasan HAM di masa lalu. Namun mereka mengikuti kamisan bukan karena ajakan dari teman-teman atau lingkungannya. Namun, atas dasar kesadaran kepedulian mereka terhadap pelanggaran HAM yang belum terselesaikan sampai saat ini. Tryan lantas mengutip keterangan peserta kamisan Bandung bernama Rizal yang mengatakan:

“Memang aksi kamisan berdiri oleh para keluarga korban dan beberapa orang bahkan mengetahui dengan kasus penghilangan paksa mahasiswa pada zaman reformasi. Logikanya mahasiswa turun ke jalan pada zaman itu untuk membela rakyat yang kontra dengan masa Orba, dan mereka pula yang menjadi korban pada masa itu. Mereka, pada saat itu rela menjadi korban kekearasan HAM, dan kita sebagai anggota kamisan, khususnya saya berdiri setiap hari kamis untuk selalu mengenang para pahlawan pada tahun 1998 yang telah memakan korban. Dan pada zaman ini pula saya selalu konsisten berdiri tegak dalam aksi kamisan selalu menuntuk penegakan HAM kepada pemerintah yang sampai sekarang belum juga terselesaikan. Dan saya pribadi ikut aksi kamisan ini dari tahun 2015 gak ada unsur-unsur politik ataupun ada pihak yang membujuk untuk ikut. Tapi saya ikut aksi tersebut atas dasar kepedulian sesama manusia,” ungkap Reza.

Tryan menyimpulkan, peserta Kamisan Bandung mengikuti aksi tersebut atas dasar kepedulian sesama umat manusia, menuntut, dan menyuarakan penegakan HAM di Indonesia. Menurutnya, para anggota aksi kamisan di luar dari keluarga korban menjadi simbol solidaritas untuk menuntut keadilan terhadap rezim yang banyak memakan korban jiwa.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//