• HAM
  • Realitas Kebebasan Pers di Jawa Barat tak Sebebas Hasil Survei Dewan Pers

Realitas Kebebasan Pers di Jawa Barat tak Sebebas Hasil Survei Dewan Pers

Kebebasan pers di Jawa Barat menempati posisi kedua di Indonesia. Di lapangan, masih ada upaya menghalang-halangi tugas jurnalis.

Salah satu aksi dalam peringatan Hari Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 2015 yang digelar AJI Bandung bersama seniman di Jalan Dago, Bandung, Minggu (3/5/2015) siang. (Foto: Iqbal Kusumadirezza/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki26 Oktober 2021


BandungBergerak.idGubernur Jawa Barat Ridwan Kamil baru-baru ini merilis survei termutakhir Dewan Pers yang menunjukkan indeks kebebasan pers (IKP) di Jawa Barat tahun 2021 menduduki peringkat kedua tertinggi dari 34 provinsi di Indonesia. Skor IKP Jawa Barat sebesar 82,66 poin yang berarti cukup bebas. Namun, survei ini dinilai tak menggambarkan realitas pers sesungguhnya.

Pada kurun waktu tahun 2018-2021, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung melihat masih banyak permasalahan yang dihadapi sejumlah wartawan di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung, dalam menjalankan kerja jurnalistiknya. Tantangan yang paling banyak ditemukan yakni berupa penghadangan oleh pihak tertentu terhadap wartawan yang sedang meliput di lapangan. Kasus menghalang-halangi jurnalis dalam peliputan umumnya terjadi di saat demonstrasi atau unjuk rasa.

Padahal tanggung jawab wartawan dalam meliput dan menyebarkan informasi kepada masyarakat telah dilindungi Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Sekjen AJI Bandung, Iqbal Lazuardi mengatakan bahwa yang paling dirugikan dari penghadangan peliputan oleh wartawan adalah masyarakat.

“Kita tahu masih banyak jurnalis yang dihalang-halangi, contohnya ketika meliput aksi. Yang paling dirugikan adalah masyarakat ketika jurnalisnya dihalang-halangi, dibatasi. Masyarakat tidak akan tahu fakta yang sebenarnya seperti apa,” ujar Iqbal Lazuardi, kepada Bandungbergerak.id, Senin (25/10/2021).

Berdasarkan hasil pantauan dan laporan, ada sekitar 4 kasus yang diterima AJI Bandung pada kurun waktu yang sama, terdiri dari kasus kekerasan dan kesejahteraan wartawan. Iqbal mengatakan, jumlah tersebut masih jauh dari kondisi realitas yang ada di lapangan.

Kekerasan terhadap wartawan juga sempat menimpa dua anggota AJI Bandung ketika meliput kegiatan Hari Buruh atau May Day 2018. Kasus tersebut ditangani Tim Advikasi Jurnalis Independen (TAJI) yang dibentuk AJI Bandung bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Namun, belum ada perkembangan lebih lanjut setelah kasusnya dilaporkan ke pihak kepolisian hingga kini.

Berkaca dari sederet kasus yang terpantau, Iqbal yang juga turut berkecimpung dalam survei IKP bersama Dewan Pers sebagai narasumber ahli, menegaskan bahwa data tersebut belum sepenuhnya mewakili kondisi nyata di lapangan.

“Kalau dilihat realitanya di Kota Bandung sendiri, idealnya (IKP di Jawa Barat) belum setinggi itu,” tegasnya.

LBH Bandung juga menyampaikan penilaian serupa. Bahkan kebebasan pers di Kota Bandung justru dinilai mundur selama beberapa tahun terakhir. LBH Bandung telah menerima sejumlah laporan seputar tindakan represi terhadap wartawan dalam saat meliput aksi unjuk rasa. Laporan yang diterima tidak hanya datang dari wartawan profesional yang bekerja di media arus utama, ada juga laporan dari beberapa lembaga pers mahasiswa (LPM).

Anggota Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung, Heri Pramono memaparkan, semakin banyak pula wartawan dan pegiat LPM yang menerima ancaman dan tekanan setelah melakukan reportase pada isu-isu tertentu. Sehingga survei IKP yang dilakukan Dewan Pers tidak bisa menjadi patokan informasi yang dapat dikonsumsi masyarakat secara umum.

“Ada beberapa laporan ketika memberitakan terkait dengan isu kekerasan seksual, kritik terhadap isu-isu strategi yang sedang bergulir, (wartawan) mendapat ancaman atau tekanan,” papar Heri Pramono, menanggapi skor IKP di Jawa Barat, Sabtu (23/10/2021).

Ia menegaskan, survei IKP oleh Dewan Pers tidak bisa diperuntukkan kepada publik umum. “Tergantung konstruksinya survei itu untuk siapa karena data publik kan banyak ya,” tambahnya.

Baca Juga: Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
Bandung Hari Ini: Setelah Deklarasi Kota HAM, lalu Apa?
Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM

Kesejateraan Wartawan di Masa Pagebluk

Selama masa pagebluk Covid-19 melanda Kota Bandung, banyak wartawan yang mengalami perampasan kesejahteraan. Bentuknya beragam, mulai dari terpaksa dirumahkan tanpa upah, pemotongan upah pokok, kehilangan tunjangan kesehatan, sampai pemecatan atau PHK sepihak.

Tantangan dan kesulitan wartawan selama pagebluk ini dialami oleh Rasyid, seorang warga Kota Bandung yang belum lama ini terkena dampak pemotongan kuota pekerja dari tempatnya bekerja. Diketahui, ia telah melakukan reportase di salah satu media pemberitaan daring di Kota Bandung selama lebih dari satu tahun.

Kini, Rasyid sudah menganggur sekitar empat bulan semenjak terkena PHK secara sepihak. Akan tetapi, permasalahannya tidak hanya itu, ia mengaku dipecat tanpa pesangon dan tidak menerima tunjangan kesehatan ketika sempat dinyatakan positif Covid-19 dan mengambil cuti.

“Sebelumnya, saya sakit dan gak kerja hampir dua pekan, tapi libur saya gak dihitung cuti jadi dianggap bolos. Saya gak dapat tunjangan kesehatan yang harusnya jadi hak, katanya karena masalah ekonomi (media) atau apalah. Gak lama setelahnya, saya dikasih surat PHK dan tanpa pesangon,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id, Minggu (24/10/2021).

Menurut Iqbal, kasus serupa banyak dialami oleh wartawan lainnya. Bahkan, isu itu sudah menjadi sorotan jauh sebelum pagebluk terjadi. Iqbal menyatakan, kesejahteraan jurnalis erat kaitannya dengan kemerdekaan pers. Hal ini mestinya menjadi komponen yang masuk dalam IKP Dewan Pers. Apalagi pagebluk membuat PHK pada jurnalis kian menjamur.

Kesejahteraan pada jurnalis maupun PHK sanga dipengaruhi faktor perekonomian dan bisnis perusahaan media itu sendiri, yang semakin terpukul oleh pagebluk. Meskipun begitu, setiap perusahaan media tetap wajib memenuhi segala kebutuhan dan hak para pekerjanya.

“Ada beberapa media yang hampir dan gulung tikar di tengah pandemi, tapi tidak memberikan hak-hak normatifnya kepada wartawan. Itu juga menjadi noda (kebebasan pers),” ungkap Iqbal.

Padahal merujuk sejumlah poin dalam UU Pers, setiap media dan pelaku pers dituntut menjunjung tinggi profesionalitas. Ada beberapa hal yang perlu dijamin, di antaranya lingkungan fisik di mana wartawan bekerja, kondisi perekonomian dan kesehatan, pandangan dan kebijakan politik, serta sistem pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Kesehatan Mental Jurnais

Buruknya kesejateraan wartawan dan kebijakan sejumlah media selama pagebluk berpengaruh besar terhadap kesehatan mental para jurnalis. Iqbal Lazuardi memaparkan, semakin banyak wartawan yang stres dan depresi selama menjalankan tugasnya di masa pagebluk.

Faktor penyebab gangguan mental yang dihadapi jurnalis bermacam-macam, mulai dari stres karena kehilangan pekerjaan, kesehatan jasmani yang tidak terjamin, hingga kesulitan ekonomi. Banyak wartawan yang stres dan depresi karena tuntutan beban kerja yang justru semakin berat. Ada pula perusahaan media yang tidak mempertimbangkan berbagai tantangan wartawannya selama melakukan reportase dalam kondisi pagebluk.

Saat ini, AJI Bandung tengah melakukan survei dan bekerjasama dengan berbagai pihak dalam menanggapi isu kesehatan mental yang kian meningkat. Survei ini diharapkan bisa mengungkap sekaligus menangkap realitas bagaimana kondisi kerja jurnalistik selama pagebluk.

“Kita mau menyiapkan ruang konsultasi kepada jurnalis-jurnalis di Bandung, terutama terhadap perempuan. Kita akan bekerjasama dengan sejumlah dokter dan ahli,” tutur Iqbal.

Indeks Kebebasan Pers Indonesia

Kemerdekaan pers di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999. Kemerdekaan pers juga sangat penting dalam negara demokratis. Survei termutakhir yang dilakukan Dewan Pers menunjukkan bahwa skor IKP di Indonesia kini mencapai angka 76,02 poin atau meningkat sebanyak 0,75 dari tahun sebelumnya.

Diketahui, skor IKP terbagi ke dalam lima kategori, yaitu tidak bebas, kurang bebas, agak bebas, cukup bebas, dan bebas. Rentang skor terendah 1-30 poin untuk kategori tidak bebas dan skor tertinggi 90-100 poin untuk kategori bebas.

Ada sekitar 20 indikator dalam penilainnya, termasuk kasus kekerasan, tingkat kesejahteraan wartawan, hubungan politik media, dan sederet indikator lainnya. Dewasa ini, 19 di antaranya terindikasi dalam kategori cukup bebas. Faktor inilah yang berdampak besar pada peningkatan skor IKP tahun 2021 di Indonesia.

Sementara itu, ada sebanyak 17 indikator yang mengalami peningkatan. Di sisi lain, ada tiga indikator yang cenderung menurun, antara lain informasi akurat dan berimbang, tata kelola media, dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas dengan skor 62,08 poin.

Seperti telah disinggung di atas, Jawa Barat soal IKP ini masuk dalam urutan kedua teratas dari 34 provinsi di Indonesia.  Dalam survei IKP dilakukan Sucofindo dan Dewan Pers itu, ada tiga indeks penilaian lingkungan yang disurvei, yakni lingkungan politik, lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum. Pada indeks lingkungan politik Jabar meraih poin 84,09, lingkungan ekonomi 80,89, dan lingkungan hukum pada nilai 81,38.

"Alhamdulillah tahun ini, berkat kekompakan dan reformasi, Jawa Barat melompat dari sebelumnya ranking 29 menjadi ranking dua. Menjadi ranking dua ini suatu kebahagiaan. Hal yang kurang - kurang akan kami evaluasi, yang baik-baik akan terus di pertahankan," ujar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di Kota Bandung, Jumat (22/10/2021), mengutip siaran persnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//