• Opini
  • Kudeta Militer dan Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia, Bagaimana Disposisi Diplomasi Indonesia?

Kudeta Militer dan Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia, Bagaimana Disposisi Diplomasi Indonesia?

Indonesia sebagai negara yang memiliki asas bebas aktif untuk politik luar negeri dapat berperan penting dalam mengatasi kasus kemanusiaan di Myanmar.

Syanne Averina Teja

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung

Jilid buku The Burma Spring: Aung San Suu Kyi dan Perjuangan Demi Jiwa Bangsa, ditulis Rena Pederson, Penerbit Kakilangit Kencana, 2016. (Sumber: perpustakaan.jakarta.go.id)

19 Januari 2023


BandungBergerak.idBeberapa tahun terakhir, Myanmar mengalami beberapa peristiwa yang menjadi perhatian masyarakat global. Salah satu peristiwa yang menggemparkan dunia internasional adalah kudeta militer di negeri yang dulu bernama Burma itu.

Sebagai negara yang masih bertransisi dalam proses untuk menjadi negara yang demokratis, di era pemerintahan Thein Sein (2011-2016) kebebasan masyarakat berdemokrasi didukung oleh amandemen perundang-undangan dan militer diberikan jaminan bahwa mereka akan tetap memiliki kekuatan dan kekuasaan yang sama dengan sebelumnya. Ketika partai NLD (National League for Democracy) yang lebih condong untuk bertransisi ke demokrasi naik sebagai partai yang memimpin di tahun 2016, partai tersebut menjanjikan adanya jaminan kepada pihak militer bahwa mereka dapat mempertahankan kekuatan militer dalam pemerintahan negara tersebut.

Namun pada tahun 2018, partai NLD mengajukan amandemen untuk mengurangi pengaruh militer di bidang politik. Tindakan partai tersebut yang menunjuk perwakilan dan anggota partainya sendiri sebagai pemegang kekuasaan utama di seluruh negara bagian dan wilayah tanpa persetujuan partai-partai etnis yang pernah menjadi sekutunya merupakan salah satu alasan kudeta terjadi. Sentralisasi kekuasaan hingga hegemonisasi kekuatan partai NLD memperburuk sentimen antarpartai. Dengan ketegangan antara partai politik dan militer yang merasa posisinya terancam, kudeta untuk menggulingkan pemerintahan terbukti mudah dilaksanakan.

Penahanan Aung San Suu Kyi (presiden terpilih) dan anggota partai NLD menuai respons buruk dari rakyat Myanmar. Demokrasi yang mereka cita-citakan bukanlah sesuatu yang dibangun dengan kekejaman dan teror. Para pengunjuk rasa mempertaruhkan hidup untuk menyuarakan pendapat agar kritik yang mereka berikan bisa didengar dan pemimpin mereka kembali.

Hingga saat ini, Myanmar masih mengalami ketidakstabilan di berbagai aspek kehidupan. Pada tahun 2022, Myanmar mengalami krisis ekonomi terparah selama 20 tahun terakhir. Dilansir dari World Bank, sekitar 40 persen dari seluruh populasi di negara tersebut hidup dalam kemiskinan. Hal ini merupakan akibat dari berbagai isu dan konflik yang terjadi selama beberapa tahun terakhir yang berkaitan dengan politik dan sosial masyarakat, ditambah situasi selama pandemi yang berdampak secara global kian memperburuk kegiatan ekonomi di negara tersebut.

Krisis lain yang dihadapi negara tersebut adalah kondisi sosial yang semakin memprihatinkan akibat perpecahan politik. Rakyat Myanmar berjuang untuk menghilangkan kediktatoran militer dari kehidupan berbangsa dan bernegara mereka. Namun hingga saat ini, tindakan militer semakin semena-mena dan mengancam hak asasi manusia rakyat Myanmar. Tercatat dalam laporan yang disampaikan Nicholas Koumjian, Kepala Independent Investigative Mechanism for Myanmar (IIMM), pada pertemuan United Nations Human Rights Council (Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) bulan September lalu, bahwa anak-anak di Myanmar sering kali mengalami kekerasan sebagai ancaman untuk orang tuanya dan bukti kekerasan seksual kepada pria dan wanita semakin marak didapatkan. Melalui data Global Centre for The Responsibility to Protect, tercatat bahwa lebih dari 2.200 jiwa telah dibunuh dan 12.000 orang ditahan sejak pendudukan militer bulan Februari 2021 lalu.

Kudeta militer tahun 2021 lalu bukan kudeta pertama yang terjadi di Myanmar. Sebelumnya militer di negara tersebut tercatat telah melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan dengan menggunakan senjata dan menteror rakyat Myanmar dengan rasa takut. Militer yang merupakan bagian dari lembaga pemerintahan menolak mengakui diri sebagai penguasa, namun sebagai penyelamat dalam situasi yang tidak stabil.

Nyatanya, ketidakstabilan tersebut sengaja dibuat oleh militer yang menginginkan kekuasaan dan menggunakan ketidakstabilan tersebut sebagai justifikasi tindakannya. Di tengah kericuhan politik yang terjadi di Myanmar, politik internasional negara tersebut dilaksanakan oleh Jendral Senior Min Aung Hlaing yang merupakan pemimpin kudeta militer. Ketika pertemuan antara pemimpin negara anggota ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dilaksanakan pada 24 April 2021, kedatangan Min Aung Hlaing sebagai pemimpin Myanmar memicu kontroversi masyarakat internasional pada waktu itu. Meskipun faktanya seluruh negara anggota ASEAN setuju untuk bertemu Min Aung Hlaing, mereka menyatakan bahwa tidak akan mengakuinya sebagai kepala negara Myanmar di KTT tersebut.

Para kritikus dan pengamat hubungan internasional mengatakan keputusan ASEAN untuk menemui Min Aung Hlaing tidak etis dan merupakan bentuk legitimasi kudeta militer dan kekejaman yang dilakukan militer terhadap rakyat Myanmar. Lantas, mengapa Indonesia dan negara lainnya tidak dapat langsung membantu rakyat Myanmar di tengah rusuhnya kudeta militer?

Baca Juga: Melestarikan Budaya Rumah Tradisional dengan Arsitektur Vernakular
Mencari Konsensus dari Perspektif Prioritas Kesehatan Mental Antargenerasi
George Harrison The Beatles, Pionir Konser Amal di Dunia

Deportasi Pengungsi Myanmar oleh Malaysia

Lima tahun berlalu sejak krisis kemanusiaan genosida etnis Rohingya, para pengungsi masih belum bisa kembali ke rumah mereka di Myanmar. Beberapa rakyat Myanmar berhasil melarikan diri dari pendudukan militer dan mengungsi ke negara lain untuk mencari pertolongan dan keselamatan, namun kebebasan yang mereka idamkan tidak berhasil mereka raih.

Salah satu negara yang menjadi tempat pelarian para pengungsi Myanmar yakni Malaysia. Negeri Jiran melakukan tindakan tak terduga di bulan Oktober lalu. Malaysia mendeportasi 150 warga negara Myanmar, termasuk enam pembelot dari militer Myanmar yang semuanya ditangkap setibanya di tanah air mereka dan berkemungkinan dijatuhi hukuman mati.

Tindakan pemulangan pengungsi dari Myanmar oleh pemerintah Malaysia merupakan pelanggaran hukum internasional yang melarang pemulangan terhadap individu yang negara asalnya benar-benar mengalami krisis dan sangat berisiko bagi individu tersebut untuk kembali dikarenakan adanya ancaman-ancaman terkait hak asasi manusia. Aktivis kemanusiaan di Malaysia sendiri mencekam tindakan yang dilakukan pemerintah mereka merupakan sesuatu yang tragis karena bertolak belakang dengan fakta bahwa Malaysia merupakan salah satu pemegang peran penting dalam menegakkan kemanusiaan di Myanmar.

Terlihat dari foto dan berita yang dilaporkan oleh jurnalis dan media yang berada di Myanmar, rakyat yang tengah berdemonstrasi membawa palang, spanduk, dan reklame yang menyatakan permohonan mereka kepada masyarakat internasional agar dapat menyelamatkan mereka dari kekejaman militer yang terjadi di negara mereka. Tulisan-tulisan yang menyebutkan ASEAN, PBB, hingga lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya tersebar di media sosial dan seharusnya menjadi urgensi permasalahan kemanusiaan yang kian tak kunjung usai. Tangisan dari rakyat Myanmar yang mengalami luka fisik dan trauma yang mendalam menunjukkan betapa sengsaranya mereka di tempat yang tak lagi bisa mereka sebut sebagai rumah. Jalan yang rusak, bangunan yang terbakar, korban jiwa yang kian meningkat, hingga eksekusi para aktivis yang dengan berani menyatakan pendapat mereka sudah sepatutnya menjadi fokus dalam pertemuan-pertemuan forum internasional dan ditindaklanjuti dengan sigap. 

Faktanya, Indonesia dan negara lain di dunia masih terikat dengan perjanjian dan hukum internasional yang berlaku untuk tidak ikut campur dalam permasalahan domestik negara lain. Salah satunya adalah prinsip ASEAN dalam Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara yang  menyatakan bahwa ASEAN tidak campur tangan dalam urusan internal negara anggotanya.

Namun, terdapat faktor lain mengapa Indonesia sebagai anggota PBB tidak dapat langsung ikut campur maupun menindaklanjuti kasus kemanusiaan di Myanmar. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan Dewan Keamanan PBB dimana setiap intervensi militer atau penggunaan kekuatan harus disetujui oleh kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB – Inggris, AS, Prancis, Tiongkok, dan Rusia – karena mereka semua memiliki hak veto.

Tiongkok sendiri akan menjadi penghalang utama tindakan Responsibility to Protect (R2P) karena geografis Myanmar yang begitu signifikan untuk perekonomian Tiongkok.  Stabilitas regional Myanmar bagi Tiongkok tidak selalu terbatas pada siapa yang mengendalikan negara di mana selama kekuatan pemerintahan dapat memberikan keamanan teritorial, politik, dan ekonomi untuk investasi. Tiongkok merasa intervensi militer asing dapat menimbulkan risiko kekacauan lebih lanjut. Oleh karena itu, intervensi militer di Myanmar di bawah R2P tidak hanya berbahaya secara praktis, tetapi juga sangat tidak mungkin secara politis. 

Disposisi Indonesia

Indonesia sebagai negara yang memiliki asas bebas aktif untuk politik luar negeri dapat berperan penting dalam mengatasi kasus kemanusiaan di Myanmar. Dengan kondisi Indonesia yang tidak terikat pada poros atau kubu tertentu, Indonesia dapat menjadi penengah untuk jalur mediasi masyarakat global dalam menjangkau rakyat Myanmar.

Hal yang perlu disadari bahwa permasalahan Myanmar tidak lagi terbatas dalam kedaulatan pemerintahan terkait internal suatu negara, tetapi bersangkutan dengan keselamatan manusia yang berkewarganegaraan Myanmar. Permasalahan ini bukan lagi menjadi isu domestik, tetapi harus menjadi perhatian dari kawasan Asia Tenggara dan dunia internasional. ASEAN, sebagai organisasi regional Asia Tenggara, ikut berkewajiban untuk menjaga keamanan negara-negara anggotanya dan menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Begitu juga PBB yang memiliki tanggung jawab untuk mengatasi isu kemanusiaan yang terjadi demi keselamatan rakyat Myanmar. Indonesia sebagai anggota dari kedua lembaga tersebut memiliki kemampuan yang cukup untuk membantu rakyat Myanmar lepas dari cengkraman ketakutan. 

Tindakan yang bisa dilakukan adalah melalui jalur yang lebih fleksibel sehingga memungkinkan untuk kesempatan diskusi terbuka maupun tindakan yang dilakukan secara darurat untuk menyesuaikan urgensi yang dibutuhkan tanpa ketegangan politik antarnegara maupun pertumpahan darah. Indonesia harus mampu mengajak ASEAN dan PBB agar mendengarkan permintaan bantuan dari rakyat Myanmar dan dengan sigap memberikan bantuan yang menjamin keamanan rakyat Myanmar.

Untuk itu, hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Myanmar agar bisa berdiskusi secara terbuka terkait permasalahan politik yang berlangsung, terutama untuk berdialog dengan kekuatan militer dan partai NLD agar mencapai sebuah kesepakatan yang menghormati pilihan rakyat, membebaskan tahanan politik, serta menjamin kesejahteraan dan keselamatan rakyat Myanmar. Langkah lain yang harus dilaksanakan oleh Indonesia adalah meyakinkan negara-negara tetangga agar tidak menutup diri dari para pengungsi ataupun mendeportasi para pengungsi Myanmar kembali ke negara mereka yang mengancam keselamatan mereka. 

Dalam upaya Myanmar menjadi negara yang demokrasi, kekuatan militer yang otoriter menutupi dan menjustifikasi tindakan-tindakan kejam sebagai cara untuk mendisiplinkan dan menghukum secara tegas masyarakatnya. Rakyat dikekang dan hak asasinya dipertaruhkan bahkan sebatas menyuarakan pendapat. Peristiwa kudeta militer Myanmar seakan menjadi sebuah personalisasi peribahasa, “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga.”  Militer yang bertindak semena-mena dan melakukan pelanggaran HAM selama puluhan tahun serta krisis etnis Rohingya tidak akan bisa menutupi kekejaman yang dilakukan. Ketakutan atas dampak kekejaman yang mereka lakukan menjadi alasan kudeta militer dijalankan dan menyebabkan kesengsaraan rakyat Myanmar.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, isu ini tidak lagi terbatas pada permasalahan domestik suatu negara namun berkaitan dengan hak asasi manusia. Meskipun faktanya saat ini, negara-negara di dunia masih terikat prinsip kebebasan negara mengatur urusan domestiknya, tindakan Malaysia yang mendeportasi pengungsi Myanmar tidak sesuai dengan kode etik hukum internasional.

Mempertimbangkan disposisi diplomasi Indonesia dan negara lain di dunia saat ini, hal yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan solusi dalam bentuk upaya damai dengan berdiplomasi dalam forum internasional namun tetap menyiapkan kekuatan militer yang dibutuhkan untuk langsung menindaklanjuti kasus kemanusiaan yang sedang dihadapi rakyat Myanmar.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//