• Opini
  • Mencari Konsensus dari Perspektif Prioritas Kesehatan Mental Antargenerasi

Mencari Konsensus dari Perspektif Prioritas Kesehatan Mental Antargenerasi

Setiap generasi memiliki pandangan berbeda pada isu kesehatan mental. Pola didik dan lingkungan mempengaruhi cara masing-masing menanggapi isu kesehatan mental.

Virzinia Diva Lehet Deborah Simanjuntak

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Gangguan jiwa bukan aib yang harus ditutupi. Masalah kesehatan mental bisa dipulihkan dengan mengakses layanan konsultasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

18 Januari 2023


BandungBergerak.id—Kesehatan mental adalah kondisi dari ketenteraman, kedamaian, maupun kesejahteraan emosional, sosial, dan psikologis manusia. Ketiga hal tersebut akan berimbas bagaimana manusia berpikir, memiliki perasaan, dan pada akhirnya bagaimana bertindak. Kesehatan mental seseorang akan memiliki pengaruh bagaimana individu menangani atau menindaklanjuti ketika stres, hubungannya dengan orang lain, dan membuat keputusan.

Dalam setiap fase kehidupan, mental health atau kesehatan mental menjadi hal yang fundamental dan esensial dimulai dari kecil sampai dewasa. Di masa kini, kesehatan mental kerap menjadi pembahasan publik terutama mengenai mengapa kesehatan mental sangat perlu dipelihara dengan baik. Pembahasan ini terus muncul karena banyaknya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat terlambat serta ketidakacuhan seseorang dalam menanggapi gangguan mental. Kesadaran manusia di zaman sekarang sudah memprioritaskan kesehatan mental setara dengan kesehatan fisik.

Perspektif kesehatan mental berbeda-beda berdasarkan generasi. Generasi baby boomers, X, Y, dan Z memiliki cara pandang berlainan perihal kesehatan mental.

Generasi baby boomers merupakan generasi kelahiran 1946-1964 yang lahir setelah Perang Dunia ke-2 berakhir. Istilah dari baby boomers datang karena tingkat kelahiran yang melonjak secara global pasca perang. Generasi ini dikenal sebagai generasi yang memiliki kedisiplinan tinggi, kondisi mental yang kuat, memegang teguh prinsip, serta memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi.

Selanjutnya adalah generasi X yang lahir direntang tahun 1965-1980. Pada periode tersebut tingkat kelahiran secara signifikan lebih rendah dibandingkan periode generasi baby boomers. Generasi X besar bersama komputer, televisi, dan internet. Generasi ini memiliki ciri kualitas yang disiplin, berpikir logis, pekerja keras, dan sebagainya.

Generasi selanjutnya adalah generasi Y atau biasa disebut sebagai generasi milenial yang lahir tahun 1981-1996. Generasi Y lahir pada masa transisi menuju kehidupan digital. Generasi ini cenderung memiliki dorongan yang substansial untuk berekspresi dan berpendapat dan memiliki cara berpikir yang lebih kritis.

Generasi termuda adalah generasi Z yang lahir tahun 1997-2012. Generasi Z merupakan generasi yang hidup di tengah kecanggihan dunia dalam segi teknologi, sejak lahir sudah hidup bersama kemajuan teknologi. Hal ini mengimbas pada kebutuhan generasi Z yang pada dasarnya secara implisit menempatkan teknologi menjadi bagian dari kebutuhan primer. Dari berbagai pengamatan, kehidupan generasi Z yang sangat bergantung pada teknologi menjadi salah satu faktor yang membuatnya menempatkan kesehatan mental menjadi hal yang fundamental dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Data American Psychological Association menyebutkan 45% dari generasi Z menyatakan bahwa mereka memiliki kesehatan mental yang baik. Akan tetapi, dalam ukuran kuantitas justru generasi-generasi sebelumnya memiliki kondisi mental yang lebih baik ketimbang generasi Z. Sebanyak 56% generasi milenial menyatakan kesehatan mentalnya sangat baik, generasi X 51%, dan generasi baby boomers 70%. Generasi Z kerap disebut sebagai generasi yang lemah dan generasi tertekan. Tetapi di sisi lain generasi Z juga merupakan generasi yang konsisten lebih terdorong untuk mencari bantuan seperti dalam bentuk terapi maupun konseling.

Hal inilah yang membuat generasi Z dominan dalam memprioritaskan akan kesehatan mental dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Melihat perbedaan karakteristik didikan dan evolusi lingkungan dari tahun kelahiran generasi-generasi membuat kesadaran akan kesehatan mental serta urgensi dari kepentingan prioritas pada kesehatan mental bervariasi.

Baca Juga: Masjid Swafoto
Apakah Penerapan Arsitektur Organik Efektif Mengurangi Pemanasan Global?
Meningkatkan Produktivitas Perusahaan dengan Teori Dua Faktor

Pemahaman Generasi Tua pada Urgensi Kesehatan Mental

Gangguan kesehatan mental dapat terjadi pada siapa pun, faktor penyebab dan dampaknya pun juga berbeda-beda. Gangguan kesehatan mental juga tidak mengenal umur, ras, dan jenis kelamin. Perbedaan hanya datang dari seberapa sadarnya seseorang akan urgensi dari kesehatan mental dan seberapa tanggapnya akan isu tersebut. Sejumlah faktor dapat berkontribusi dalam menaikkan risiko seseorang mengalami gangguan mental seperti pengalaman di awal kehidupan yang memberatkan seseorang seperti trauma ataupun pelecehan, pengalaman terkait dengan kondisi medis yang dalam keadaan kronis yang masih berlangsung seperti kanker, faktor biologis, ketidakseimbangan kimia di otak, penggunaan alkohol atau obat-obatan, memiliki perasaan kesepian atau isolasi, dan sebagainya.

Kesadaran dalam pentingnya merespons gangguan mental berbeda bagi orang-orang tua di zaman sekarang karena pengaruh didikannya di masa lalu yang cukup disiplin dan keras untuk membentuk mental yang kuat dalam menghadapi hal-hal yang mengimbas pada kondisi psikologis. Orang dewasa yang lebih tua condong tidak mengakui gangguan kesehatan mental dan tidak banyak mengakses layanan kesehatan mental. Generasi tua pun setuju akan stigma mengenai kesehatan mental bahwa itu menjadi hal indikasi dari kelemahan jika mengalami masalah psikologis. Gagasan mengenai “pilihan” untuk membicarakan kesehatan mental menjadi aspek yang memengaruhi perbedaan pandangan terutama di generasi tua.

Generasi tua seperti generasi X dalam menghadapi masalah psikologis cenderung memberikan respons seperti “berhenti berpikir berlebihan” ataupun “berhenti memperhatikan gangguan tersebut”. Sama seperti penyelesaian yang didistribusikan dari aspek kebudayaan dan agama, keduanya tidak memberikan jalan keluar yang substansial dalam menangani kondisi mental. Ketimpangan informasi yang salah serta solusi konvensional menjadi bagian dari kesenjangan generasi, hal tersebut harus dilepaskan guna memahami gangguan kesehatan mental yang terus berkembang. Dan kesadaran ini dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan kecanggihan digital di mana pengetahuan ilmiah memiliki aksesibilitas yang jauh lebih mudah.

Stigma Kesehatan Mental dan Perspektif Generasi Z

Sebanyak 91% laporan yang disampaikan mengenai gejala akibat stres di antaranya didominasi oleh laporan yang datang dari anak muda. Pernyataan tersebut membawa generasi muda dalam stigma kesehatan mental yang lemah. Banyak orang menghindari diagnosis dan perawatan akibat dari stigma yang diciptakan. Stigma mengenai kesehatan mental terciptakan karena kurangnya wawasan dan pemahaman mengenai kesehatan mental, sehingga atensi yang didapat dan juga empati mengenai urgensi dari dampak gangguan kesehatan mental pun sangat minim. Stigma mengenai lemahnya diri seseorang ketika harus berhadapan dengan isu kesehatan mental menyebabkan seolah-olah individu itu disalahkan karena kondisi diri mereka sendiri, sehingga ia akan merasa malu untuk bisa terbuka akan isu kesehatan mentalnya.

Generasi Z lebih banyak melaporkan mengenai kesehatan mental mereka yang buruk ketimbang generasi lainnya. Hal ini membawa mereka untuk mengambil aksi dengan melakukan pengobatan ataupun terapi. Tahun kelahiran generasi Z merupakan tahun-tahun di mana sudah ada internet, media sosial, dan kecanggihan teknologi yang keunggulannya juga memberikan dampak negatif. Generasi Z harus menghadapi hal yang tidak dialami generasi sebelumnya di usia dini seperti introduksi dari media sosial dan bagaimana realitas dampaknya terhadap diri seseorang.

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa generasi-generasi muda seperti generasi Z memiliki tingkat literasi mengenai kesehatan mental yang lebih tinggi dibandingkan generasi yang lebih tua. Perihal ini, generasi muda lebih kapabel mengidentifikasi gejala penyakit kesehatan mental. Kecanggihan teknologi sangat membantu generasi muda dalam mencari bantuan secara daring. Eskalasi dari pemanfaatan terapi oleh generasi Z merupakan produk dari keterbukaannya akan kesehatan mental. Kesadaran yang tinggi dan penerimaan akan kesehatan mental umumnya akan menuju pada diskusi yang terbuka mengenai masalah psikologis dan bagaimana cara mengelola keadaan stres.

Berbagai alasan mengapa generasi Z lebih terbuka untuk membicarakan kesehatan mental. Eksistensi media sosial mengikat generasi Z dengan cerita-cerita orang lain tanpa menghiraukan bila orang tersebut adalah orang asing. Faktor tersebut menjadi kunci fundamental mengapa generasi Z lebih mudah membicarakan topik kesehatan mental dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Generasi Z lebih banyak mengambil tindakan dalam mencari solusi ataupun jalan keluar yang substansial dalam menangani kesehatan mental.

Mencari Konsensus dari Perbedaan Perspektif pada Isu Kesehatan Mental

Stigma mengenai kesehatan mental juga muncul di generasi Z, namun lebih sedikit dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Media sosial berperan signifikan memberikan perspektif isu kesehatan mental. Ada sisi buruk dan juga ada sisi baiknya. Media sosial menjadi media yang substansial dalam mendistribusikan berbagai pemahaman dan pengalaman masing-masing dalam isu kesehatan mental. Dengan instrumen yang juga tidak mengenal umur, ini menjadi komponen yang solutif  untuk menemukan konsensus pada perbedaan perspektif  antargenerasi mengenai urgensi kepentingan kesehatan mental.

Antargenerasi bisa belajar bersama untuk menyatukan pemahaman mengenai isu kesehatan mental. Antargenerasi bisa saling belajar dan terbuka dalam isu kesehatan mental. Pemahaman atas gangguan kesehatan mental yang dapat berpengaruh pada aktivitas seseorang harus dipahami antargenerasi.

Komunikasi yang terbuka dalam keluarga antara orang tua dengan anak dan juga antargenerasi akan dapat mengurangi beban emosional. Komunikasi yang terbuka mengenai pengalaman-pengalaman generasi yang lebih tua dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai ekspektasi mereka yang akan datang ketika beranjak dewasa.

Keberadaan perbedaan antargenerasi di dalam kehidupan dari sisi umum juga merekonstruksi berbagai perbedaan dalam pemahaman masing-masing generasi. Contoh kasusnya pada urgensi dari kesehatan mental. Perbedaan perkembangan lingkungan dari setiap generasi mengindikasikan adanya perbedaan pola didik pada setiap generasi dan bagaimana hal tersebut mengonstruksi kekuatan psikologis dan mental mereka.

Generasi baby boomers dan generasi X cenderung lebih keras dalam menanggapi isu kesehatan mental karena pola didik yang disiplin dan keras di zaman mereka. Generasi tersebut memiliki tendensi setuju pada stigma kesehatan mental yang mengindikasikan kelemahan diri seseorang. Jika dibandingkan dengan generasi Z yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh internet ataupun media sosial, generasi Z  lebih terbuka membicarakan mengenai isu kesehatan mental. Generasi Z lebih mudah membicarakan kondisi kesehatan mental mereka.

Perbedaan pandangan mengenai urgensi kesehatan mental antargenerasi akan berimbas pada hubungan antargenerasi ini. Jika dari keempat generasi yang ada tersebut tidak memiliki titik temu terkait isu ini, akan ada sebuah retakan dalam hubungan antargenerasi terutama dalam segi afeksi dan empati yang merupakan dua komponen penting ketika membicarakan isu kesehatan mental. Antargenerasi harus belajar dan saling terbuka dalam berkomunikasi untuk menumbuhkan rasa simpati satu sama lain dalam isu kesehatan mental. Sehingga diharapkan dapat membentuk konsensus bersama dari perbedaan pandangan antargenerasi mengenai urgensi kepentingan kesehatan mental.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//