• Berita
  • Perda Anti-LGBT sebagai Bentuk Penyebaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan

Perda Anti-LGBT sebagai Bentuk Penyebaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan

Perda anti-LGBT muncul di tahun politik untuk mendulang suara. Padahal ada persoalan lain di Indonesia yang lebih serius, yaitu masalah korupsi dan pendidikan.

Salah satu gedung di kompleks Balai Kota Bandung, Selasa (8/5/2021). Pemkot Bandung mewacanakan Perda Anti-LGBT yang banyak ditentang aktivis keberagaman. (Foto: Fakhri Fadlurrohman/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana30 Januari 2023


BandungBergerak.idPemkot Bandung baru-baru ini mewacanakan pembentukan peraturan daerah anti-LGBT. Rupanya peraturan yang mendiskriminasi kelompok minoritas pinggiran ini menggejala secara nasional seiring tahun politik. Peraturan ini dinilai akan menumbuhsuburkan praktik penyebaran kebencian terhadap kelompok rentan, yakni kalangan LBGT. 

Berdasarkan pemantauan Koalisi Kami Berani, dalam kurun waktu Desember 2022 hingga kini, sedikitnya terdapat 4 daerah di Indonesia yang menyatakan akan mengajukan raperda diskriminatif anti-LGBT, yaitu Garut, Bandung, Makassar, dan Medan.

Koalisi Kami Berani merupakan forum yang terdiri dari 24 organisasi masyarakat sipil. Koalisi menyayangkan maraknya dorongan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif di berbagai wilayah di Indonesia.

Peraturan diskriminatif itu muncul di saat Indonesia masuk ke tahun politik. Banyak politikus dan pimpinan-pimpinan daerah maupun nasional memilih menggunakan pendekatan politik identitas yang mengkambinghitamkan dan semakin meminggirkan kelompok yang dianggap salah oleh interpretasi mayoritas.

“Salah satu yang marak digaungkan belakangan ini adalah wacana pembentukkan Perda anti-LGBT, demikian pernyataan Koalisi Kami Berani, dalam siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Senin (30/1/2023).

Koalisi menyatakan, pembentukan perda diskriminatif dipakai para politikus dengan tujuan meraup suara dengan menggunakan politik identitas. Politikus nasional maupun di daerah dinilai tidak memiliki kerangka kebijakan yang baik untuk ditawarkan ke masyarakat. Padahal politik praktis ini akan berbahaya bagi kestabilan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan keamanan di masyarakat.

Selain itu, hal ini juga akan semakin menjauhkan dan menghambat bagi pencapaian target-target pembangunan yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia.

Sebagai contoh, perda-perda yang mengatasnamakan moralitas seperti perda P4S Kota Bogor, yang digadang-gadang sebagai upaya Pemerintah Kota Bogor untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, justru akan semakin memperburuk respons kesehatan di Kota Bogor itu sendiri. Data global menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan diskriminatif justru akan membuat orang-orang yang hidup dengan HIV atau rentan terhadap HIV akan semakin enggan mencari layanan kesehatan, karena takut mereka akan stigma dan diskriminasi.

“Pendekatan hukum dan kebijakan berbasis moral dan identitas semacam ini menjauhkan publik dari krisis yang sebenarnya dihadapi Indonesia,” kata Koalisi.

Baca Juga: Hak Para Pejalan Kaki Kota Bandung yang Terabai
Membuka Perpustakaan Literaksi Tamansari, Menghidupkan Ruang Perjuangan Warga
Potensi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM Menguar dari Wacana Perda Anti-LGBT Kota Bandung

Menihilkan Persoalan Krusial di Indonesia

Salah satu persoalan krusial Indonesia adalah korupsi, yang mestinya menjadi prioritas. Saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di dunia, dengan indeks persepsi korupsi di bawah 40. Indeks negara hukum Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun dan Indonesia saat ini secara global berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakan negara hukum.

Dari sisi pendidikan, hanya 19 persen penduduk Indonesia berusia antara 25-34 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah ini sangat rendah dibanding dengan negara-negara OECD lainnya, yang rata-rata tingkat pendidikan tingginya berkisar di 47 persen.

Selain itu, negara sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya yang menggunakan politik identitas sebagai alat. Padahal Presiden Jokowi menyatakan bahwa negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu dan berjanji akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesain secara yudisial.

Presiden Jokowi dalam pidato Istana Negara 11 Januari 2023 itu menegaskan, ”Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang."

Nono Sugiono, juru bicara Koalisi Kami Berani, menyebut pemerintah tidak belajar dari kasus-kasus intoleran yang merupakan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

“Intoleransi dan kebencian berdasarkan identitas memecah belah anak bangsa, dan membuat Indonesia menjadi negara yang semakin terbelakang karena fokus politisinya adalah politik praktis yang memainkan identitas kelompok rentan,” kata Nono yang juga Ketua Arus Pelangi.

Komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi dan data-data di atas menunjukan pemerintah Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan berhenti mendistraksi masyarakat dengan isu moralitas dan politik identitas.

Jika Negara terus menerus menggunakan hal ini untuk mendiskriminasi dan mengkambinghitamkan kelompok rentan, maka Indonesia akan semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan, kesenjangan, dan instabilitas.

Melalui siaran persnya, Koalisi Kami Berani menyatakan:

1. Negara untuk menghentikan segala bentuk pembiaran terhadap praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas dan rentan termasuk LGBT sebagai bentuk komitmen pemenuhan HAM; secara khusus: 

a. Mendorong pemerintah daerah untuk mencabut perda-perda diskriminatif dan menghentikan upaya pembuatan kebijakan diskriminatif lainnya;

b. Mendorong Kemendagri dan Kemenkumham untuk melakukan eksekutif review dan memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang membentuk raperda/perda diskriminatif;

c. Mendorong pembentukan legislasi antidiskriminasi yang komprehensif yang melindungi kelompok minoritas dan rentan di Indonesia;

2. Mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang zalim yang menggunakan politik identitas dan berbasis kebencian terhadap suatu kelompok dalam pemilu nanti;

3. Meminta media untuk tidak menyebarkan praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas termasuk kelompok LGBT.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//