• Berita
  • Aksi Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Bandung Mendesak DPR Segera Sahkan RUU PPRT

Aksi Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Bandung Mendesak DPR Segera Sahkan RUU PPRT

Aksi serentak digelar di tujuh kota besar mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Sejumlah pekerja rumah tangga melakukan unjuk rasa di depan Kantor DPRD Jawa barat, Citarum, Kota Bandung, Rabu (15/2/2023). Aksi ini bertujuan untuk mengenang Tragedi PRTA Sunarsih serta memperjuangkan situasi PRT yang rentan kekerasan dan perbudakan. (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau16 Februari 2023


BandungBergerak.id – Koalisi masyarakat sipil dari Bandung menggelar aksi solidaritas di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Jalan Diponegoro pada Rabu (15/2/2023). Aksi ini sebagai bentuk solidaritas untuk memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional dan sekaligus meminta DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Aksi ini serentak dilakukan di 7 kota besar, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Semarang, Surabaya, Sumenep dan Kota Bandung, yang berpusat di DPRD Provinsi masing-masing.

Peserta aksi yang berlangsung siang hari itu sengaja mengenakan daster sebagai simbol pekerja rumah tangga. Mereka mengacungkan beragam poster yang menyuarakan nasib pekerja rumah tangga yang selama ini masih terpinggirkan.

Eva Eryani, misalnya, dalam orasinya meminta agar pemerintah memperhatikan upah layak terhadap PRT. Ia menyoroti bahwa PRT butuh pekerjaan yang layak, juga butuh jaminan kesehatan.

“Tapi apa yang terjadi , kebutuhan kalian kami penuhi, jam kerja kami penuhi, dari pagi bahkan subuh, kami berbakti untuk mereka yang namanya majikan, kami seperti hidup tanpa ada kepastian,” ujar Eva .

“Kami butuh upah layak. Dan membutuhkan UU ini segera disahkan.”

Koordinator aksi tersebut, Deti Sopandi mengatakan bahwa aksi ini merupakan solidaritas untuk para pekerja rumah tangga yang belum mendapatkan perlindungan payung hukum yang jelas. RUU PPRT begitu mendesak karena sehari saja menunda akan ada 11 pekerja rumah tangga yang mendapat kekerasan.

Deti mengungkapkan PRT menjadi salah satu pekerjaan yang memberikan pendapatan besar bagi negara, setelah buruh sawit, buruh perikanan. Namun hingga kini perlindungannya hukumnya tak ada. Sehingga pihaknya mendesak agar UU ini segera disahkan.

“RRU ini mengatur jaminan kesehatan sosial, upah sampai jam kerja, karena sekarang dasarnya pasti majikan tidak kuat di mata hukum, sehingga kalau ada kasus terjadi kekerasan agak sulit, aturannya memang belum diatur khusus,” ujar Deti.

“Sahkan UU PPRT, salah satu itu, untuk mengatur pekerja bisa mendapat upah layak dari jam kerja, jaminan kesehatan, dan beroganisasi pastinya.”

Di sela aksi tersebut, Heri Pramono dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung mengatakan bahwa  RUU PPRT ini telah melalui proses panjang sejak isu tersebut bergulir tahun 2004. Kondisi pekerja rumah tangga domestik hingga kini memang belum diperhatikan dengan baik oleh negara. Jika dilihat, para pekerja yang kebanyakan adalah perempuan kerap kali di nomor duakan. Ditambah dengan beban-beban kerja domestik para PRT bekerja di ranah yang sangat privat, dan fakta perlindungan yang sangat minim. Jika dilihat baik pekerja domestik dalam negeri maupun tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri rentan mendapat kekerasan.

Saat ini jumlah pekerja domestik sudah semakin banyak namun minim perlindungan hukum. Sudah waktunya negara campur tangan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga.

“Kami mendukung pentingnya UU PPRT ini untuk segera disahkan, karena kemarin UU TPKS bisa realisasi kenapa yang ini belum. Jadi dirasa kurang aja, ketika TKPS ini sudah disahkan, maka RUU PPRT ini juga dong,” ujar Heri.

Salah satu peserta aksi memperlihatkan poster yang bertulis “ Pekerja Rumah Tangga Bukan Budak” di depan Kantor DPRD Jawa barat, Citarum, Kota Bandung, Rabu (15/2/2023).  (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)
Salah satu peserta aksi memperlihatkan poster yang bertulis “ Pekerja Rumah Tangga Bukan Budak” di depan Kantor DPRD Jawa barat, Citarum, Kota Bandung, Rabu (15/2/2023). (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Tahapan Pemilu 2024, dari Pemutakhiran Data Calon Pemilih hingga Hari Pemungutan Suara 14 Februari
Menghitung Kerugian Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan karena Kemacetan di Kota Bandung
Kelompok Penyanyi Jalanan Menuntut Pemerintah Kota Bandung Hentikan Razia
Memperkuat Narasi dan Praktik Toleransi dengan Karya Seni

Pengalaman Tak Mengenakan dari Mantan PRT

Aksi tersebut di ikuti oleh sejumlah mantan pekerja rumah tangga. Di antaranya Aan Aminah, Eti Mulyati, dan juga Meti Hermayangti yang telah merasakan betapa pahitnya bekerja sebagai PRT dan diperlakukan tak mengenakan. Jam kerja tak terbatas, dan upah yang tidak layak.

Meti Hermayanti (45 tahun) menceritakan pengalamannya saat bekerja sebagai PRT. Ia menjadi PRT ketika masih di bawah umur. Ketika itu ia berusia 14 tahun, masih duduk di bangku SMP. Ia bekerja sebagai PRT di rumah salah satu saudaranya untuk membiayai sekolah dan mendapat tambahan uang.  

Sudah sejak pagi pukul 3.30 WIB subuh sudah harus bangun, lalu langsung bekerja. Memasak nasi, mencuci pakaian, mencuci piring, dan membersihkan rumah. Setelah beres, baru berangkat sekolah. Meti kala itu mendapat upah Rp 500, upah yang lumayan sekira tahun 1990-1991, cukup untuk ongkos sekolah. Selepas sekolah, ia tak bisa bersantai. Ia mesti melakukan pekerja lainnya, melipat pakaian, menyetrika dan lainnya. Ia baru bisa istirahat saat akan tidur malam hari.

Berangkat dari pengalaman itulah, ia mendorong agar RUU PPRT ini segera disahkan. Ia berharap dengan adanya undang-undang tersebut para PRT mendapatkan hak kebebasan, mendapat upah yang layak, dan jam kerja yang mestinya diatur.

“Iya jadi tahu gitu gimana susahnya (jadi PRT). Gimana pedihnya, tertindas banget, gak ada waktu sebagai manusia biasa. Kan kami manusia sama haknya, harus mendapatkan hak kebebasan, supaya kami mendapatkan hidup layak, terus dibayarnya tak layak, secara waktu terus tersita, jadi kami istirahatnya pas mau tidur,” ungkap Meti.

Hal sama diungkapkan oleh Eti Mulyati (59 tahun). Hingga kini, ia masih bekerja sebagai PRT, dipanggil sekali dalam sebulan. Ia bekerja dari pukul 8 pagi, sampai pukul 3 sore. Mulai dari mencuci, menyetrika, membersihkan rumah dengan upah seadanya. Mau tak mau ia harus mengambil pekerjaan itu, untuk menambah biaya dapur dan menutupi kebutuhan biaya hidup keluarga.

“Capek sekali (bekerjanya). Tapi tidak ada pilihan lain, kan dari pada diam di rumah, kan butuh uang gitu,” ujar Eti.

“Harapan supaya upahnya layak, dilindungi, jangan seenaknya. Kerja cape tapi gajinya cuman cuman, seadanya. Mau gak mau segitu. Tetap diterima karena butuh.”

Sementara itu, buruh dan sekaligus aktivis perempuan, Aan Aminah juga pernah merasakan bagaimana sulitnya menjadi PRT. Ia sempat bekerja sebagai PRT setelah lulus Sekolah Dasar. Tujuh tahun lamanya ia bekerja sebagai PRT di Jakarta.

Aan mengungkapkan pekerjaan begitu banyak, dengan upah tak layak, tenaga yang dikeluarkan tak sebanding dengan bayaran. Sejak bangun tidur sebelum subuh, mesti melakukan pekerjaan domestik memasak, mengepel, mencuci pakaian, menyetrika, bahkan mencuci mobil dikerjakan. Ia tahu betapa sulitnya menjadi PRT.

“Harapannya disahkan, ada perhatian DRP bagaiamana disahkan RUU PPRT ini agar mendapat perlindungan tidak semena-mena dari majikan, supaya majikan tahu mendapatkan hak sama diperlakuan,” ujar Aan.

Massa aksi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional berjalan menuju Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/2/2023). (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)
Massa aksi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional berjalan menuju Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/2/2023). (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

Urgensi Disahkannya RUU PPRT dan Mengenang 22 Tahun PRT Sunarsih

Aksi ini juga diselenggarakan serentak di 7 kota berbeda. Hal ini untuk memperingati dan mengenang tragedi yang dialami Sunarsih, pekerja rumah tangga yang kelaparan dan disiksa dari majikannya hingga meninggal. Kejadian ini terjadi di Surabaya, Februari 2001 silam.

Selama 22 tahun ini, terus bermunculan ribuan wajah-wajah Sunarsih yang lain. Ada Sutini, yang disekap dan disiksa selama 6 tahun. Lalu ada Ani yang disekap dan disiksa selama 9 tahun, Nurlela yang disekap dan disiksa 5 tahun, Eni, Elok, Toipah, Rohimah, Khotimah, Rizki dan Sunarsih-Sunarsi yang lain, yang merasa kelaparan dan kesakitan hingga berakibat pada berkurang atau tidak berfungsinya organ serta kelilangan nyawa.

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah (Jala PRT) dalam keterangan resminya menyebutkan sudah 19 tahun bersama organisasi masyarakat sipil lainnya memperjuangkan RUU PPRT ke DPR. RUU PPRT sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan. Posisi terakhir RUU PPRT sudah disepakati oleh Pleno Badan Legislasi DPR RI pada 1 Juli 2020 untuk diserahkan ke Bamus DPR agar diagendakan di Rapat Paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU insiatif.

Agustus 2022, pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) juga sudah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT. Dan pada 18 Januari 2023, Presiden Joko Widodo meminta percepatan pengesahan RUU PPRT.

“Kami PRT dan masyarakt sipil sangat mengapresiasi dan berterima kasih sebesar-besarnya atas komitemn Presiden untuk perwujudan UU PPRT sebagaimana hal tersebut tercantum dalam nawacita. Namun, hal yang membuat kami prihatin, justru respon DPR dalam berbagai media yang menyatakan bahwa tidak perlu buru-buru dan masih perlu kajian adalah pernyaan yang membuat kami prihatin,” demikian keterangan resmi Jala PRT.

“Kami menyesalkan, merasa prihatin atas proses RUU PPRT yang mendesak untuk disahkan, namun DPR terus menundan dan menunda, memposisikan 4 sampai dengan 5 juta PRT mayoritas perempuan, warga miskin dan penopang perekonomian nasional sebagai warga yang terus menerus ditinggalkan, dipinggirkan dan dinggap wajar mengalami kekerasan-kekerasan.”

Jala PRT mencatat hingga 2023 terdapat 2641 kasus kekerasan melibatkan PRT, 79 persen kasus berujung pada situasi korban yang fatal karena tidak bisa menyampaikan situasi kekerasan akibat akses komunikasi yang ditutup sehingga terjadi peningkatan intensitas kekerasan.

Jala PRT mendesak DPR menetap RUU PRT sebagai RUU Insiatif dan secepatnya dilakukan pembahasan bersama pemerintah. Sejumlah aksi lanjutan sudah disiapkan jika pemerintah tidak secepatnya membahasa RUU PPRT. Di antaranya menggalang aksi puasa 15 ribu PRT, serta membanjiri Ketua DPR Puan Maharani dengan surat yang mendesak pengesahan RUU PPRT.  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//