• Opini
  • Jangan Mati Dulu, Hidupmu Besok akan Baik-baik saja

Jangan Mati Dulu, Hidupmu Besok akan Baik-baik saja

Saya cuma butuh menertawakan hidup dengan tak terlalu menggantungkan diri pada ekspektasi, apalagi harapan yang ditaburkan orang-orang.

Okky Ardiansyah

Penikmat tulisan sepak bola dan politik.

Jilid buku Krisis Kebebasan, Albert Camus, Yayasan Obor Indonesia (1988). (Sumber: perpusnas.go.id)

29 Maret 2023


BandungBergerak.idSaya pernah berpikir ekstrem bahwa satu-satunya cara menyelesaikan problem di dunia yang temporer ini dengan menghabisi diri sendiri. “Hidup amat kacau,” pikirku berkali-kali. 

Sempat mencita-citakan sebuah ibu kota yang menenangkan saat hijrah ke Jakarta sebagai pewarta, tetapi kenyataan berkata sebaliknya. Tekanan bertubi-tubi dan cacian orang-orang membuat segala urusan terasa lama, berat, dan menakutkan.

Suatu hari jadwal liputan padat dan tumpukan artikel setengah matang datang beriringan dengan hujatan redaktur. Ditambah kabar bahwa kakek masuk rumah sakit dan debt collector menagih-nagih biaya bulanan sekolah BPKB. Suhu udara Jakarta yang tidak bersahabat bagiku yang lahir dan besar di Kota Bandung menjadi pelengkap tangis di Ibu Kota.

Ketika ada kawan yang coba menenangkan, "masalahmu tidak seberapa, ada yang lebih rumit lagi." Terkadang aku langsung naik pitam dan berhenti bicara. Kadang aku malah menggerutu, "egois, tidak mengerti perasaan teman terdekat," dan seterusnya, dan seterusnya.

Padahal, yang dibutuhkan saya saat itu ialah kehangatan—tepukan di pundak sebagai kawan terdekat dapat menjadi obat penenang terampuh.

Tidak ingin menyesali apa yang terjadi denganku, Adik saya yang masih bau ingusan langsung buru-buru menelpon dan mengajak bertemu. Tentu, sebagai kakak tertua dalam konsep keluarga di Indoensia, saya sempat mengabaikan ajakan itu dan menolaknya. Ia terus memaksa sampai akhirnya kami bertemu di sebuah tempat ngopi di Jakarta.

Kami tidak membahas soal bunuh diri—tentu saja. Hanya berbicara soal suatu pagi di kampung halaman kita ketika ibu asyik meracik daun singkong menjadi sajian menggoda. Atau, saat kami dan ibu menengok kebun singkong di belakang rumah sambil berbincang-bincang dan memandangi ayam beradu jotos. Bahkan, kami sempat tertawa saat ia mengingatkanku tentang aroma kotoran yang menempel dari celana dalamku yang tembus ke luar.

Ia bahkan dengan lihai sekali-kali menyinggung soal mimpiku menjadi penulis seperti Dea Anugrah atau Sabda Armandio. Aku pelan-pelan mulai tersenyum. Saya merasakan cerita akan fragmen-fragmen hangat dan intim tersebut perlahan membongkar pikiran bengisku soal kematian.

"Kamu tidak bisa seperti Mesault (tokoh ciptaan Albert Camus) yang mampu menjilat hidup seperti gula manis. Tapi, kamu bisa memahat hidup, mempertajamnya, dan pada akhirnya mencintainya. Berdamai sekaligus berkawan dengan semua masalah dan menyelesaikannya satu per satu." Selepas pertemuan itu, kata-kata bijak itu mungkin yang pernah saya ingat. Dan akhirnya, saya memutuskan tetap bertahan di medan kehidupan.

Bunuh diri, meski tabu dan hanya menjanjikan neraka di konsep agama, acap kali terpikirkan dan dilaksanakan menjadi solusi bagi banyak orang untuk menuntaskan masalah hidup. Laporan Bank Dunia pada 2019, tingkat bunuh diri di Indonesia mencapai 2,4 per 100.000 penduduk. Dengan kata lain, ada 2 orang yang melakukan bunuh diri dari setiap 100.000 penduduk Indonesia.

Jika merujuk data Bank Dunia yang melaporkan jumlah penduduk Indonesia pada 2019 sebanyak 267,1 juta jiwa, maka ada 2.992 orang yang menuntaskan hidup dengan bunuh diri pada 2019 atau 8 kejadian bunuh diri setiap hari. Saya menuntaskan tulisan ini selama tiga hari. Maka, selama saya mengerjakan tulisan ini, ada sekitar 24 orang melenyapkan nyawanya sendiri dengan beragam alasan dan berbagai cara.

Baca Juga: Tuak dalam Keseharian Masyarakat Balige Sumatera Utara
Saatnya Demitisasi: Pemosisian Mahasiswa Hari ini
Mempersenjatai Media Sosial

Setelah begitu dekat dengan kata bunuh diri, saya beberapa kali berpikir: kenapa, ya, masih saja ada orang yang rela melenyapkan hidupnya di dunia?

Ketika mencari jawaban akan pertanyaan tersebut, saya teringat tulisan Albert Camus lagi dalam buku bertajuk Mati Bahagia. Kira-kira begini ia menulis, “keberanian seseorang untuk mati terkadang lebih besar ketimbang keberanian untuk melanjutkan hidup. Kadar keberanian tersebut ditentukan oleh seberapa jauh kita menunaikan satu-satunya tugas manusia di dunia, yakni berbahagia.”

Kendati mengamini tulisan tersebut, saya masih sulit menerima apa pun alasan bunuh diri. Memang, hidup itu fana, cuma sementara, dan manusia pada akhirnya akan mengakhiri kehidupan dengan kematian. Namun, jika itu disebabkan oleh diri sendiri dan direncanakan dengan sebaik mungkin (bukan pembunuhan berencana), saat ini, saya sulit untuk menerimanya.

Apalagi, ketika berbicara kebahagiaan, setiap manusia memiliki takaran sendiri. Arthur Schopenhauer, filsuf berpredikat bapak pesimisme modern, pernah berkata, kebahagiaan manusia ditentukan oleh ekspektasi. Semakin besar ekspektasi, katanya, kebahagiaan semakin sulit dicapai. Ekspektasi yang besar hanya membuat manusia berteman karib dengan banyak penderitaan dan kata sifat muram lainnya: kesedihan, kemalangan, keterpurukan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam esai berjudul ‘On the Suffering of the World’, Schopenhauer menulis bahwa kadar kebahagiaan bukan diukur dari banyaknya suka cita dan kesenangan, melainkan sejauh mana manusia terbebas dari penderitaan. Jadi, kita sebenarnya bisa mudah untuk berbahagia asalkan menyelaraskan pengharapan dengan kenyataan. Memang akan sulit, tapi setidaknya mencoba agar  kita bisa berkawan dengan kebahagiaan, kehidupan, persoalan, dan penderitaan.

Andai saja, orang-orang yang sudah membunuh dirinya sendiri bertahan sebentar saja, mungkin mereka akan seperti saya yang saat ini terus menertawakan pikiran bengis di masa lalu tentang betapa indahnya bunuh diri. Atau, mencemooh bayang-bayang soal betapa indahnya menghajar truk beroda 12 dengan sekencang-kencangnya. Dari hari ke hari, saya cuma butuh menertawakan hidup dengan tak terlalu menggantungkan diri pada ekspektasi, apalagi harapan yang ditaburkan orang-orang.

Saya hanya ingin berkata kepada orang-orang yang punya pikiran atau berencana untuk melakukan bunuh diri: jangan mati dulu, hidupmu besok atau lusa atau sebulan kemudian akan baik-baik saja, kok. Datangi dan rasakan kehangatan orang yang tepat. Tentu para psikolog dan psikater yang profesional bisa menjadi salah satu tempat yang baik untuk memahami kegelisahan kalian.

Ingat saja, masalah hari ini adalah candaan esok hari. Kegelisahan hari ini adalah penghibur lara bulan depan. Ketakutan hari ini adalah penguat satu dekade kemudian. Kita akan membawa cerita-cerita unik hidup kita kepada Tuhan, ketika waktunya tiba, ketika Ia memanggil.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//