• Berita
  • Jangan Remehkan Depresi di tengah Pandemi

Jangan Remehkan Depresi di tengah Pandemi

Pelaku yang menyakiti diri di masa sulit pagebluk Covid-19 tak bisa dipandang sebelah mata. Pemerintah diminta memperhatikan kesehatan mental masyarakat.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis mikro di Bandung Raya 16 Juni sampai 29 Juni 2021. Sejumlah restoran di Bandung tutup. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Bani Hakiki6 Agustus 2021


BandungBergerak.idDi tengah situasi pagebluk Covid-19 yang murung, seorang pria nekat melakukan aksi melukai diri sendiri, tak jauh dari Balai Kota Bandung, Rabu (4/8/2021), lalu. Pria ini mengaku terpukul dan tak berdaya menghadapi pembatasan sosial selama pagebluk.

Petugas PMI Kota Bandung sigap membawanya ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pria ini selamat dengan sejumlah luka. Koordinator Pelayanan Medik RSHS, Zulvayanti mengatakan, kondisi pasien secara umum sadar dan stabil meski masih dalam obsevasi secara ketat.

Diketahui bahwa pria nahas tersebut adalah salah satu pengurus Asosiasi Kafe dan Restoran (Akar) Jawa Barat. Sehari berikutnya, Kamis (6/8/2021), Ketua Akar Kota Bandung, Arif Maulana menjelaskan pihaknya tidak membenarkan perbuatan menyakiti diri yang dilakukan salah satu anggotanya.

Menurut Arif Maulana, perbuatan tersebut semata-mata sikap pribadi untuk mengutarakan sulitnya keadaan yang dihadapi pelaku usaha di sektor pariwisata ataupun kuliner di masa pendemi Covid-19.

Peringatan WHO dan Pakar Kejiwaan

Pandemi tak hanya menggerus kesehatan fisik. Sejak awal pagebluk Covid-19, pakar kesehatan, termasuk WHO, sudah mewanti-wanti dampak pagebluk pada kesehatan mental masyarakat. Peringatan ini muncul manakala pagebluk berkepanjangan yang kini usianya masuk tahun kedua.  

Pelaku yang menyakiti diri atau berusaha bunuh diri di masa pagebluk tak bisa dipandang sebelah mata, diremehkan, bahkan dirundung (bullying). Sebab bunuh diri adalah puncak dari depresi atau gangguan mental. Adanya pandangan meremehkan pada depresi, atau bunuh diri, bisa jadi karena penyakit kejiwaan ini tak kasat mata.

Sama seperti Covid-19 di mana virusnya tak bisa dilihat, sehingga masih ada yang menganggap pagebluk ini tak nyata dan tak perlu dipercaya, dan beberapa orang bahkan meremehkan Covid-19. Padahal pandemi bisa dilihat dari gejala-gejalanya: tingginya pasien di rumah sakit, melonjaknya kasus kematian, krisis oksigen medis dan obat-obatan, terpuruknya sektor ekonomi dan sosial, dan seterusnya.

Begitu juga kesehatan jiwa, yang oleh sebagian orang masih dianggap aib atau bahkan memalukan, yang hanya bisa dilihat dari gejala-gejalanya, salah satunya upaya bunuh diri itu. Dan faktanya gejala ini ada di lapangan.

Jauh sebelum pandemi, WHO (2016) melaporkan jumlah orang sedunia yang hidup dengan gangguan jiwa mencapai lebih dari 163 juta orang. Angka yang melebihi setengah jumlah penduduk Indonesia! Rinciannya, 35 juta orang depresi, 60 juta orang bipolar, 21 juta orang skizofrenia, dan 47,5 juta orang demensia.

Bagaimana dengan di Indonesia? Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan jumlah orang dengan ganggunan mental berupa depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun sekitar 14 juta orang (6,0 persen dari jumlah penduduk Indonesia). Prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Angka gangguan mental pada remaja berumur lebih dari 15 tahun tersebut naik naik 9,8 persen pada 2018 (Riskesdas 2018).

Angka-angka tersebut menegaskan masalah kesehatan mental di Indonesia serius. Apalagi dialami usia produktif termasuk remaja. Sementara tingginya masalah kesehatan mental yang dirilis WHO memiliki benang merah dengan meningkatnya kasus bunuh diri.

Masih menurut WHO, 79 persen kasus bunuh diri terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Bunuh diri dinyatakan sebagai penyebab kematian ke-18 di dunia. Tingkat bunuh diri di Indonesia berada pada angka 3,7 dan menduduki peringkat 159 di dunia. Negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi adalah Guyana (30,2). WHO menyimpulkan bunuh diri sebagai fenomena global.

Baca Juga: Pengusaha Hotel dan Restoran Kritik PPKM tanpa Solusi Ekonomi
Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Kasus Kematian Bertambah 25 Orang

Sejumlah kafe di kawasan Jalan Braga terpantau sepi dampak dari penutupan Jalan Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 22 Juni 2021. Pembeli hanya diperbolehkan pesan online atau take away. (Foto: Prima Mulia)
Sejumlah kafe di kawasan Jalan Braga terpantau sepi dampak dari penutupan Jalan Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 22 Juni 2021. Pembeli hanya diperbolehkan pesan online atau take away. (Foto: Prima Mulia)

Pagebluk Sumber Stres Baru

Di masa pagebluk, ada indikasi kuat bahwa gangguan kesehatan mental masyarakat Indonesia meningkat. Begitu juga pada anak-anak usia remaja. Perempuan juga masuk kategori rentan.

Dokter spesialis kejiwaan Teddy Hidayat mengungkap hasil studi oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) yang menyatakan pagebluk Covid-19 merupakan sumber stres baru di masyarakat.

Penelitian tersebut diikuti oleh 1.552 responden yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk Jawa Barat (23,4 persen). Hasilnya, sebanyak 63 persen terbukti mengalami gangguan kejiwaan pada tahun 2020 dengan jumlah responden peremuan jadi yang terbanyak (76 persen).

Teddy Hidayat melihat ada kelengahan dari pihak pemerintah dalam mengatasi isu kesehatan mental masyarakat yang terdampak pagebluk.

“Sejak awal (pagebluk), saya sudah mengimbau agar kesehatan jiwa ini diperhatikan. Semakin berlarut pandemi membuat masyarakat semakin menderita. Tapi, kami bukan pemerintah jadi tidak punya kewenangan,” tutur Teddy Hidayat, melalui telepon, Kamis (5/8/2021) malam.

Pagebluk melahirkan tiga jenis gangguan kejiwaan, yakni stres, cemas, dan depresi. Ketiga hal ini dipicu rasa kekhawatiran akan penularan Covid-19, takut meninggal, kehilangan anggota keluarga, hingga penurunan pendapatan atau ekonomi.

Teddy Hidayat mencatat, penggunaan obat-obat penenang juga semakin meningkat selama pagebluk. Obat-obatan penenang dianggap bisa mengatasi kecemasan hingga depresi. Padahal langkah ini justru berpotensi menimbulkan penyalahgunaan atau menyalahi resep yang dianjurkan.

Penyakit depresi juga bisa dipicu karena tingginya konsumsi informasi lewat teknologi daring. Banyak masyarakat yang tidak mengalami gejala gangguan jiwa sebelum pagebluk, justru merasa khawatir hingga depresi karena massifnya pemberitaan media. Sedangkan derasnya hoaks soal pandemic dinilai jadi penyebab depresi paling kuat.

Depresi sebagai Penyebab Kematian Pasien Covid-19

Pagebluk yang merembet pada ekonomi maupun social memengaruhi sistem kekebalan tubuh masyarakat. Teddy Hidayat memastikan bahwa tingkat stres dan depresi turut menyumbang terhadap tingginya kematian pada pasien Covid-19.

“Ada tiga faktor (penyebab) stres kenapa banyak pasien Covid-19 yang meninggal. Pertama, dari penyakitnya sendiri. Kedua, pembatasan (kegiatan) membuat warga kehilangan komunikasi dan aktivitas. Kemudian, kesulitan ekonomi dan lain-lain,” paparnya.

Salah satu solusi menekan frustasi masyarakat di masa pagebluk berkepanjangan adalah dengan melakukan penyuluhan dan sosialisasi secara intens tentang pentingnya layanan pskologis. Masalahnya, masih sangat minim orang dengan gejala gangguan jiwa yang sadar dan mau mengunjungi layanan yang tersedia. Dibutuhkan kesadaran dari keluarga terdekat dan lingkungan yang bisa merangkul orang-orang dengan gejala depresi.

Pemerintah juga dituntut melakukan edukasi perihal Covid-19 secara massif agar masyarakat bisa memilah informasi dengan baik. Namun, edukasi tersebut harus bisa diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Kuncinya adalah memperkuat komunikasi di seluruh tingkat kewilayahan.

Ciri-ciri Depresi, Stres, dan Cara Penanganannya 

Gejala cemas, stres, dan depresi tidak bisa dibiarkan berlarut dan harus segera disadari, baik oleh diri sendiri maupun lingkungan terdekat. Jika didiamkan, stres akan terakumulasi dan semakin sulit ditangani. Puncaknya: upaya menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.

Segala bentuk gangguan kejiwaan juga punya potensi menular atau memancing gejala depresi (trigger) bagi orang di sekitarnya. Untuk itu, masyarakat diimbau perlu mengenal ciri-ciri, reaksi, dan setidaknya mengetahui penanganan pertama yang bisa dilakukan.

Ciri-ciri depresi secara umum adalah sering murung dan cemas. Tahap lebih lanjutnya, selalu merasa rendah diri atau tidak sempurna. Biasanya mereka juga sulit menjalin relasi dan mengekspresikan emosi secara verbal. Mereka juga akan sulit menjaga emosi atau mengatasi kemarahan dan biasanya memiliki riwayat trauma.

Terdapat empat reaksi orang dengan gejala mental breakdown, di antaranya:

Pertama, reaksi normal berupa kondisi di mana pengidap masih merasa waspada. Tandanya orang tersebut masih bisa mempertahankan diri dan mengatasi atau menyelesaikan peyebab stres yang dirasakannya;

Kedua, gangguan neurotik berupa waspada berlebih sehingga timbul cemas dan gejala seperti gelisah, tegang, jantung berdebar, dan sulit konsentrasi. Hal ini biasanya membuat pengidap sulit tidur, merasa tertekan sepanjang waktu, mudah tersinggung, dan mudah terkejut;

Ketiga, gangguan psikotik yakni adanya kesalahan menganalisa sumber stres. Kemudian, mencoba menyelesaikan masalah tanpa dasar realitas hingga berkhayal;

Keempat, gangguan psikosomatik yakni kondisi ketika stres dan depresi telah memengaruhi fisik pengidap. Hal ini bisa terlihat dari perubahan tubuh, raut wajah, dan merasa tidak sehat. Bahkan, beberapa kasus dampaknya bisa mengakibatkan mual hingga muntah, bagian tubuh gemetar, keringat berlebih, serta nyeri pada dada dan kepala.

Adapun cara untuk mengantisipasi dan mengatasi gejala gangguan kejiwaan ringan bisa dilakukan secara mandiri. Cara ini disebut juga dengan self-healing atau penanganan pribadi, seperti bermain, bercerita atau sosialisasi, berolahraga, dan beberapa kegiatan ringan lainnya untuk meyibukkan diri.

Namun cara tersebut tidak berlaku bagi orang dengan gejala berat. Mereka sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//