• Narasi
  • Tuak dalam Keseharian Masyarakat Balige Sumatera Utara

Tuak dalam Keseharian Masyarakat Balige Sumatera Utara

Tuak dianggap sebagai bagian dari tradisi kebudayaan masyarakat Batak. Tuak disajikan dalam upacara adat.

Frido Paulus Simbolon

Mahasiswa Program Magister Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Paragat, sebutan bagi penyadap tuak, sedang menyadap getah pohon enau atau aren. (Foto: Dokumentasi Frido Paulus Simbolon)

23 Maret 2023


BandungBergerak.id – Tuak merupakan salah satu jenis minuman beralkohol tradisional yang ada di Indonesia selain arak. Kita dapat menjumpai tuak di di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera Utara, yang di dalamnya terdapat etnis Batak. Seakan-akan, tuak tidak dapat lepas dalam masyarakat Batak. Tuak sudah melekat pada masyarakat Batak, sehingga dalam masyarakat Batak, tuak dianggap sebagai bagian dari tradisi kebudayaannya. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, kita dapat menjumpai tuak di mana saja dan kapan saja, termasuk dalam acara adat ataupun dalam acara keagamaan, khususnya Agama Nasrani. Biasanya tuak diperjualbelikan di sebuah kedai yang disebut dengan lapo. Dalam artikel ini, pokok permasalahan yang akan dikaji adalah tuak dan lapo (kedai) sebagai ruang interaksi masyarakat. Dengan pokok permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk melihat bagaimana lapo dan tuak berperan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, khususnya di Balige.

Baca Juga: MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan
ESAI TERPILIH FEBRUARI 2023: Menagih Keberpihakan NU, Menyoal Cita-cita Menjadi Youtuber
Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
PERSIB BANDUNG VS TIMNAS FILIPINA: Kala Maung Menerkam The Azkals di Stadion Sidolig

Pendahuluan

Tidak banyak catatan tentang minuman beralkohol Indonesia. Namun, kita masih tetap dapat menemukannya melalui tulisan-tulisan yang ditemukan di prasasti, buku, dan kronik. Selama ini kita menemukan tulisan tentang minuman beralkohol di Indonesia dalam Prasasti Watukara yang ditulis tahun 902 M dengan aksara Jawa Kuno pada masa Mataram Kuno (Menot, 2022:16). Prasasti tersebut menyebutkan nama-nama minuman beralkohol yaitu Arak, Badyag, Budur, Brem, Minu, Sajeng, Siddhu, Sura, Twak dan Warager. Hingga saat ini wilayah Indonesia masih mengenal secara umum dua jenis minuman, yakni tuak yang merupakan hasil dari fermentasi dan arak yang didapatkan dari hasil distilasi.

Kemudian hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan, yakni bagaimana minuman-minuman beralkohol tersebut ada di Indonesia. Persebaran minuman beralkohol di Indonesia kemungkinan besar berawal dari adanya proses migrasi yang terjadi pada masa lampau, dalam hal ini adalah India. Migrasi orang-orang India dan Cina ke Asia Tenggara khususnya Indonesia, kemungkinan membawa minuman beralkohol tersebut, mengingat pada 3000 dan 7000 SM, telah ditemukan artefak yang mengandung alkohol fermentasi dikedua peradaban tersebut (Menot, 2022:11). Kegiatan yang dilakukan, seperti perdagangan maupun ekspansi wilayah pada masa lalu, memungkinkan untuk melihat terjadinya proses persebaran budaya-budaya tersebut, termasuk persebaran dari minuman alkohol tersebut, yang kita kenal dengan minuman alkohol tradisional.

Berikutnya adalah, bahwa minuman beralkohol tersebut dibawa oleh bangsa-bangsa Eropa. Sejarah Indonesia mencatat bahwa hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan bangsa Eropa pernah terjadi melalui apa yang disebut dengan jalur rempah. Tercatat juga bahwa bangsa Eropa seperti Portugis, Inggris dan Belanda, memiliki pos-pos dagang di Nusantara. Namun bangsa Eropa yang ada pada waktu itu rentan terjangkit penyakit tropis (disebabkan oleh perbedaan iklim yang berbeda dari negara asal mereka), sehingga segala upaya dilakukan untuk menghadapi penyakit tersebut.

Pada tahun 1619, setelah penaklukan Belanda atas Batavia, Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterzoon Coen memerintahkan orang-orang Eropa yang ada di Batavia untuk mengonsumsi minuman beralkohol sebagai langkah pengobatan (Menot, 2022:23). Perlu diketahui bahwa pada saat itu, Perusahaan dagang Belanda (VOC) pernah mendirikan pos perdagangan batu pertamanya di Jawa di Banten, sebuah kerajaan perdagangan lada yang terkenal di Jawa Barat, pada tahun 1603 (Ricklefs, 1976). Pada era ini, minuman beralkohol tersebut yang ada di Indonesia masuk pada fase minuman beralkohol modern atau pabrikan. Lewat tangan VOC, pada tahun 1927 dibentuk persatuan diler arak (Verenigde Arrack Verkopers) di Belanda (Menot, 2022:24). Lewat persatuan ini minuman beralkohol arak dipasarkan ke seluruh dunia.

Tuak maupun arak dapat kita jumpai di seluruh wilayah Indonesia. Terlebih lagi, apabila kita berbicara tentang tuak, mayoritas kita akan langsung menyebutkan bahwa minuman tersebut merupakan bagian dari tradisi masyarakat Batak. Di Sumatera Utara, khususnya di sekitaran Danau Toba dapat kita jumpai kelompok masyarakat Batak. Di mana, minuman beralkohol jenis tuak juga dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, khususnya di wilayah Balige.

Balige merupakan sebuah kecamatan sekaligus ibukota Kabupaten dari Toba Samosir, yang masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten ini dulunya merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara (Taput). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Tapanuli Utara masuk ke dalam karesidenan Tapanuli yang bermarkas di Sibolga. Keresidenan Tapanuli Terdiri dari empat Afdeling (kabupaten): Afdeling Batak Landen, Afdeling Padang Sidenpuan, Afdeling Sibolga, dan Afdeling Nias. Afdeling Batak Landen terdiri dari lima Onder Afdeling, salah satunya adalah wilayah Toba yang beribukotakan Balige (Silalahi, 2012:43).

Kita dapat menjumpai warung-warung penjual tuak atau yang disebut lapo tuak di kota Balige. Hal ini menjadikan warung tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat Batak yang ada di wilayah tersebut, sehingga dapat dikatakan, lapo tuak tersebut termasuk dalam agenda kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, khususnya kaum bapak. Akan tetapi, sangat sedikit sumber tertulis yang tersedia apabila kita hendak mengkaji kehidupan sehari-hari di lapo tuak tersebut, dan menempatkannya dalam historiografi Indonesia. Alternatif yang dapat kita lakukan adalah dengan menggali sumber lisan melalui kelompok masyarakat yang ada di wilayah tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh seorang peneliti dari University of Shizuoka, Shigehiro Ikegami yang pernah meneliti tuak di daerah Toba, tepatnya di wilayah Balige (Ikegami, 1997). Selama dua bulan di tahun 1997 ia melakukan riset lapangan dengan mendatangi Kota Balige dan ikut dalam segala kegiatan dalam masyarakat Batak di Balige, yang di dalam kegiatan tersebut selalu disajikan tuak. Selain itu, ia juga melihat peran tuak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak di Balige.

Dengan memanfaatkan laporan penelitian Ikegami, ditambah beberapa wawancara kerabat, serta penelitian para sarjana dari multidisiplin, maka sejarah tuak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Balige, diharapkan dapat menyumbang satu tema baru dalam historiografi Batak, meskipun dalam lingkup micro-history. Sejarah mikro merupakan sebagai alternatif untuk pendekatan-pendekatan sejarah kontemporer yang menghadirkan realitas sosial suatu kelompok masyarakat. Dalam sejarah mikro sudut pandang peneliti menjadi bagian intrinsik dari hal tersebut (Iggers, 1997:110). Narasi menjadi penting untuk penyajian temuan sejarawan karena dapat mengkomunikasikan unsur-unsur yang tidak dapat disampaikan dalam bentuk abstrak dan karena menunjukkan proses di mana sejarawan sampai pada catatannya. Serta narasi di sini berperan sebagai representasi dari realita yang dikaji oleh sejarawan (White, 1980:5-27).

Ritual Adat dan Bertukar Informasi

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa persebaran minuman beralkohol di Indonesia tidak luput dari peran bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Indonesia untuk melakukan monopoli perdagangan. Kita dapat memulainya pada abad ke-19, di mana Kartini menulis sebuah surat kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar. Di dalam suratnya, Kartini menuliskan kekagumannya terhadap peradaban Eropa modern. Namun, di dalam surat tersebut Kartini lebih lanjut menjelaskan bahwa banyak masyarakat tanpa kritis mengadopsi praktik buruk yang ditemukan di Barat yang menyebabkan masalah sosial seperti minum beralkohol (Wahid, 2021:117). Selanjutnya dikatakan juga bahwa minuman beralkohol tersebut juga ikut disajikan dalam perayaan-perayaan, akan tetapi tidak disebutkan apa jenis minuman beralkohol.

Selanjutnya dapat kita lihat dari sebuah artikel yang ditulis oleh Kuntowijoyo. Artikelnya yang berjudul “Harmony as Ideology: Politics Among the Dutch Community in Solo”, juga membahas sedikit tentang minuman beralkohol. Terlihat dalam perayaan-perayaan yang diadakan oleh Kraton Surakarta maupun pihak Belanda, juga menyajikan minuman beralkohol (Kuntowijoyo, 2002:235-247). Lebih lanjut dikatakan di dalamnya jenis-jenis minuman yang biasanya disajikan ketika perayaan, seperti wine, jenewer dan ciu. Terlihat ciu (sebutan untuk arak di wilayah Solo) yang merupakan minuman tradisional turut disajikan bersama dua minuman Eropa lainnya. Dari kedua artikel tersebut, kita dapat melihat sebuah realitas, di mana minuman beralkohol hadir dalam kehidupan sehari-hari dari satu kelompok masyarakat.

Tidak berbeda dengan arak, tuak juga memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Batak. Peranan ini didapati pada acara-acara ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Tuak mempunyai arti yang khusus bagi Suku Batak, sebab minuman beralkohol tersebut dapat digunakan sebagai sarana keakraban dan juga minuman persahabatan. Biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka biasanya berbincang-bincang, bernyanyi, memainkan kartu, bermain catur dan menonton televisi, sambil minum tuak (Ikegami, 1997:5).

Lapo tuak merupakan sebuah tempat yang dapat diakses oleh semua orang tanpa memandang status sosial, sehingga dapat disimpulkan bahwa lapo tuak dikatakan sebagai ruang publik luar (Samosir, 2016:32). Di dalamnya terdapat interaksi sosial dan perbincangan antar pengunjung. Perbincangan yang terjadi di lapo tuak pun beragam. Apabila si pengunjung merupakan bagian dari anggota paduan suara laki-laki (koor ama), biasanya pembicaraan seputar mau membawa lagu apa untuk hari Minggu yang akan datang, dan apabila sipengunjung merupakan pemuda, biasanya mereka berbicara tentang perjudian, masa depan, dan lain-lain, tapi ada juga yang membaca koran hingga mengisi buku teka-teki silang (wawancara dengan Dunan pertelepon pada 1 Desember 2022).  Dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikatakan bahwa lapo tuak dapat menjadi wadah komunikasi bagi pengunjungnya.

Terkadang, Lapo tuak juga dijadikan arena untuk membicarakan politik. Pada saat Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997-1998, para pengunjung membicarakan kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah orde baru, seperti beralihnya negara kita pada IMF atau International Monetary Fund (wawancara dengan Hutajulu pertelepon pada 2 Desember 2022).  Perdebatan juga sering terjadi antara yang setuju dengan kebijakan tersebut, dengan yang tidak setuju. Lebih lanjut Hutajulu mengatakan, pada tahun-tahun tersebut, pengunjung juga kerap membahas isu korupsi yang dilakukan pemerintah dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial masyarakat di Balige. Yang menarik dikatakan Hutajulu terjadi pada saat demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998, di mana para pengunjung mengutuk keras tindakan ABRI yang dinilai sangat tidak manusiawi.

Selain itu, kepercayaan tradisional Batak adalah menjadikan tuak sebagai sajian arwah leluhur atau orang yang telah meninggal. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tuak disajikan dalam seluruh upacara adat, baik itu sukacita maupun duka cita. Tuak yang ada hubungannya dengan adat adalah tuak tangkasan: tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis. Tuak yang manis disebut tuak na tonggi dalam bahasa Batak Toba (Samosir, 2016:6).  Tuak tangkasan merupakan tuak pilihan yang terbaik, dikatakan tuak terbaik karena akan diberikan boru kepada hula-hula-nya (kelompok kekerabatan pemberi gadis di sistem perkawinan adat Batak) (Firmando, 2022:38).

Dalam acara adat, orang Batak mewajibkan pihak tertentu yang menyertai acara adat tersebut untuk memberikan “pasi tuak na tonggi” (untuk membeli tuak yang manis) (Sirait, 2011:169),  berupa pemberian sejumlah uang dari pihak boru kepada hula-hula. Tuak bermasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu; upacara manuan ompu-ompu (menanam tumbuh-tumbuhan setelah jenazah orang yang telah tua dikuburkan) dan upacara manulangi (memberikan makanan secara resmi kepada orang tua). Ikegami melihat di tahun 1997, peranan tuak sebagai minuman sehari-hari bagi masyarakat Batak di Balige lebih terlihat dibandingkan perannya dalam upacara adat (Ikegami, 1997:9).

Dampak Krisis Moneter Terhadap Perekonomian Paragat dan Lapo Tuak

Setelah kita melihat Lapo dari sisi sosio-kultural, dalam bagian ini akan membahas kaitannya dengan ekonomi masyarakat Batak di Balige pada periode akhir orde baru. Hutajulu mengatakan, selama menjadi bagian dari Tapanuli, daerah Balige merupakan salah satu daerah yang paling maju, baik secara ekonomi maupun khususnya dalam hal pendidikan. Lebih lanjut dikatakan, maju dalam ekonomi disebabkan karena Balige merupakan jalur perlintasan dan juga persinggahan, sehingga banyak transaksi jual-beli dilakukan di sana pada tahun itu.

Tuak berasal dari pohon enau atau aren. Tuak merupakan minuman yang terbuat dari sadapan, diambil dari mayang enau atau aren. Sadapan dari enau atau aren disebut nira. Nira kemudian di fermentasi sehingga menjadi putih, menimbulkan bau yang khas serta memberi selera bagi peminumnya (Firmando, 2020:201). Pada mulanya, tuak dijual kalau tidak di bawah pokoknya sendiri, juga dijual di rumah si paragat-nya (penyadap tuak), seiring berjalannya waktu, tuak-tuak tersebut dijual di sebuah kedai (lapo) (Sirait, 2011:170). Namun tidak jarang kita melihat tuak dijual dikemas dalam botol air mineral di pinggir-pinggir jalan, atau di dekat warung (kios) di mana masyarakat berjualan.

Penyadap tuak disebut paragat. Seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore (wawancara Sinaga pada 1 Desember 2022).  Tuak yang ditampung pada pagi hari, kemudian dikumpulkan di rumah paragat. Setelah diuji coba rasanya, paragat memasukkan ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru supaya cocok rasanya dan alkoholnya. Raru inilah yang mengakibatkan peragian. Resep membuat tuak berbeda-beda sedikit demi sedikit tergantung para paragat. Resep masing-masing boleh dikatakan “rahasia”, maka tidak tentu siapa pun bisa berhasil sebagai paragat. Sebagian paragat membuka kedai tuak sendiri, tetapi pada umumnya sebagian besar paragat menjual tuak kepada kedai atau agen tuak. Dengan demikian paragat mendapat uang tunai setiap hari, maka taraf kehidupan paragat lebih tinggi daripada standar di desa Lintong Nihuta (Ikegami, 1997:4).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat selama masa Orde Baru, disertai dengan pembangunan sosial yang pesat, sebagaimana tercermin dalam penurunan kemiskinan absolut yang terus berlanjut, konsumsi swasta per kapita yang terus meningkat, harapan hidup saat lahir yang terus meningkat, dan penurunan buta huruf orang dewasa yang stabil. Namun, pada 1997, Sentimen pasar mengenai ekonomi Asia Tenggara, termasuk ekonomi Indonesia, berubah menjadi lebih buruk. Akibatnya, pasar mata uang pada negara-negara tadi mengalami tekanan, mengakibatkan mata uang, termasuk rupiah Indonesia, terdepresiasi sangat cepat, karena investor asing dan domestik berebut untuk membeli dolar AS untuk mengurangi eksposur mereka ke negara-negara tadi, termasuk Indonesia (Wie, 2007:264-265).

Namun, krisis moneter tersebut tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian. Sinaga, yang merupakan seorang paragat sekaligus pemilik lapo tuak mengatakan bahwa pada tahun 1997-1998 sebagai seorang paragat, ia krisis tersebut hanya berdampak pada ongkos pengangkutan. Di mana pada tahun tersebut, harga BBM naik drastis. Karena hal itu, ia harus membayar ke agen tuak sedikit lebih tinggi dari biasanya. Lalu, sebagai seorang pemilik lapo, ia mengatakan bahwa jumlah pengunjung yang datang ke tempatnya juga tidak turun, meskipun harga tuak yang ia jual harus naik. Hutajulu juga mengatakan, ia tetap berkunjung ke lapo pada tahun itu, meskipun harganya naik. Lebih lanjut Hutajulu mengatakan, krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 berdampak pada aspek lain yang ada di wilayah Balige, seperti pada sektor pertanian dan perikanan.

Kesimpulan

Pada awalnya, masyarakat Batak menjadikan tuak sebagai jamuan tradisional yang dipersembahkan kepada leluhur. Lambat laun, minuman beralkohol tersebut menjadi minuman sehari-hari yang dapat kita lihat di mana saja dan kapan saja. Masyarakat Batak Toba mempunyai pengetahuan pada menghasilkan tuak dan percaya terhadap banyak sekali manfaat meminum tuak. Dengan kata lain, minuman beralkohol tersebut memiliki peran sosial, ekonomi dan kultural bagi masyarakat Batak, khususnya di Balige.

Melihat kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang menarik bagi sejarawan. Tidak ada alasan mengapa sejarah yang berurusan dengan transformasi sosial yang luas dan yang berpusat pada keberadaan individu tidak dapat hidup berdampingan dan saling melengkapi. Seharusnya sudah menjadi tugas sejarawan untuk mengeksplorasi hubungan antara dua tingkat pengalaman sejarah ini.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//