• Narasi
  • MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan

MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan

Karya sastra yang ditulis Mas Marco adalah perlawanan Sastra yang menyentuh permasalahan sosial yang terjadi pada masa kolonial Belanda.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Mas Marco Kartodikromo, tokoh pers di masa pergerakan nasional. Bertemu dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung tahun 1911. (Sumber Gambar: asmarainjogja.id)

15 Maret 2023


BandungBergerak.id – Selain dikenal sebagai seorang jurnalis dan aktif dalam organisasi pergerakan, Mas Marco Kartodikromo turut menggunakan sastra sebagai media perlawanan. Artikel dan karya sastra yang ditulisnya adalah perlawanan, sastra yang menyentuh permasalahan sosial yang terjadi pada masa kolonial Belanda.

Meski hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Ongko Loro, ia membuktikan bahwa perlawanan tidak mutlak datang dari seorang yang mengenyam pendidikan formal. Sampai titik ini, ia menyadari bahwa sastra adalah alat perlawanan yang beramunisikan realitas masyarakat.

Kepiawaian Mas Marco Kartodikromo dalam menulis sudah teruji. Dalam dunia sastra, khususnya novel, ia memulainya dengan menuliskan “Mata Gelap“ yang diterbitkan tahun 1914 adalah karya sastranya yang pertama yang dilahirkan dari ketajaman imajinasi Mas Marco Kartodikromo, novel ini menemui masalah, sejak pertama kali diterbitkan. 

Meskipun ia sendiri telah menyatakan bahwa  “mengenai novelnya yang pertama, Mas Marco sendiri mengatakan dengan nada minta maaf bahwa novel tersebut tidak mengandung unsur pengajaran apapun. Karya ini adalah cerita ringan dan lucu, yang diterbitkan tahun 1914 dalam bentuk beberapa penggalan, kecuali bagian akhirnya yang tidak diterbitkan.” Tulis Henri Chambert-Loir dalam Sastra dan Sejarah Indonesia (2018).

Baca Juga: MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #3: Delik Pers dan Syair Sama Rasa dan Sama Rata
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #2: Mengemudikan Doenia Bergerak
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung
Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi

Menentang Penindasan Rasial dalam Student Hidjo dan Rasa Mardika

Dalam menanggapi pertentangan sosial yang terjadi di tanah airnya, Mas Marco Kartodikromo menekankan pentingnya pendidikan untuk mengangkat harga diri masyarakat yang terjajah dalam novel  "Student Hidjo" yang ditulisnya setelah novel "Mata Gelap". Novel ini mengisahkan situasi sosial dan politik pada masanya. Tokoh utama yang bernama Hidjo merupakan anak seorang pedagang kaya dari Solo, yang menempuh pendidikan di Belanda demi mengangkat status sosial keluarganya.

Henri Chambert-Loir (2018) melanjutkan, bahwa menurutnya “Student Hidjo" adalah karya terbaik dari Mas Marco Kartodikromo. Meski intrik percintaan mengiri sepanjang jalannya cerita, Namun, "Student Hidjo", adalah upaya Mas Marco Kartodikromo menampilkan kecaman yang ditujukan kepada para pejabat kolonial dan bentuk mengagungkan ideologi dari Sarekat Islam pada masa itu.

Selain itu, mengutip laman Ensiklopedia Sastra Indonesia, Harsja W. Bachtiar dalam Kesusastraan Indonesia dalam Masyarakat Indonesia menggolongkan “Student Hidjo” sebagai karya kesusasteraan Melayu baru. Sedangkan, W. Sikorsky menggolongkan “Student Hidjo” sebagai roman berbahasa Melayu rendah yang memprotes tindakan kolonial yang mendiskriminasi rakyat jajahan berdasarkan rasialisme.

Mengutip Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), kemudian, Mas Marco Kartodikromo menulis cerita bersambung pada tahun 1924 yang berjudul “Rasa Mardika”. Berkisah tentang seorang pemuda yang menanggalkan karier kepegawaiannya, setelah melihat perendahan yang dilakukan Belanda terhadap bangsanya. Meskipun status kepegawaiannya tersebut adalah hal yang sangat diidamkan orang tuanya.

Merujuk pada sinopsis “Rasa Mardika” dari Sapardi Djoko Dharmono dan Bakri Siregar dalam Jakob Sumardjo Sinopsis Roman Indonesia (1992), dalam novel ini, Mas Marco Kartodikromo secara terang menggambarkan karakter bangsanya yang tidur dalam riaknya penindasan kolonial, bahkan mereka malah setia dan menunduk-nunduk kepada orang Belanda. Bey Sumo salah satu tokoh dalam novel ini, adalah representasinya, bahkan, ia memperlakukan kusir delman layaknya budak.  Mental tersebut hendak ia wariskan kepada anaknya, Sujanmo. Ia berharap Sujanmo dapat mengikuti jejaknya sebagai pegawai pamong praja.

Selanjutnya, ia mengirim Sujanmo ke Valmmenhart untuk magang. Dalam masa magang itu, konflik batin muncul dalam diri Sujanmo. Ia menentang budaya “berdatang sembah” selama ini. Tidak tahan dengan kebiasaan tersebut, ia meminta kepada Vlammenhart untuk undur diri. Perdebatan diantara keduanya terjadi, dan diakhiri dengan menyematkan stempel “orang sosialis” untuk Sujanmo oleh Vlammenhart.

Setelah itu, berbekal sisa uang yang tersedia, Sujanmo mengembara ke kota-kota. Hingga dalam pengembaraan tersebut, ia bertemu dengan Kromociloko, seorang petani yang menjadi kuli kota. Kesadaran dalam dirinya semakin terbuka, setelah pertemuanya dengan petani yang tanahnya disewa dengan harga yang rendah oleh pabrik gula, akhirnya Sujanmo menyadari bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi dalam masyarakat.

Untuk menutupi kekurangan uang, Sujanmo bekerja pada sebuah firma yang dimiliki pemuda Eropa yang modern, menghargai kemanusiaan dan aktivis politik. Tanya yang selama ini bergemuruh dalam pikiran Sujanmo terkait akar permasalahan yang menimpa bangsanya terjawab.

Sujanmo pada akhirnya meneguhkan dirinya untuk menjadi pembawa arus modern dalam masyarakatnya. Dan melalui “Rasia Mardika”, Mas Marco Kartodikromo mengangkat kapitalisme sebagai sumber masalah utama dari ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Berupaya Mengubah Historiografi Belanda

Henri Chambert-Loir (2018) kemudian melanjutkan, setelah “Student Hidjo”, Mas Marco Kartodikromo menulis karya sastra yang ketiganya yang berjudul “Matahariah” pada tahun 1918. Karya ini awalnya merupakan cerita bersambung. Menempatkan wanita yang bernama Matahari sebagai tokoh utama. Selain itu, dalam karya ini menceritakan mengenai asisten wedana yang berpihak kepada rakyat Jawa yang tertindas oleh kolonialisme. Pada akhirnya dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), “Matahariah mengantarkannya kembali ke penjara Weltevreden selama dua tahun”.

Dalam Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), pada tahun 1921, seturut kepindahannya ke Salatiga, kembali ia terjerat persdelict, akibat tulisannya yang berjudul “Rahasia Kraton Terbuka” dan “Matahariah”. 

Penahanan tidak mampu menumpulkan jiwa perlawanan Mas Marco Kartodikromo. Pada tahun 1924, ia melakukan kerja yang berani. “Babad Tanah Djawa” adalah upayanya Mas Marco Kartodikromo untuk mengubah historiografi Jawa yang telah direbut Belanda, dan berupaya mengubah kembali menjadi historiografi yang berdasar dari bangsanya. Di tahun yang sama, ia menulis “Korban Pergerakan Ra’jat”, yang merupakan upaya yang bertujuan membuat pijakan bagi bangsanya dalam arus pergerakan melalui biografi tokoh-tokoh pergerakan pada masa pergerakan. H. Misbach yang dikenalnya sebagai haji yang radikal adalah salah satu tokoh yang dicantumkan sebagai rujukan dalam “Korban Pergerakan Ra’jat”. Dalam hal ini, menurut Takashi Shiraishi (2007) melanjutkan, Mas Marco Kartodikromo telah membuka pintu pergerakan yang lebih luas bagi rakyatnya.  

Selama hidupnya Mas Marco Kartodikromo tercatat menulis cerita bersambung dengan nama samaran Synthema dalam Sinar Hindia yang berganti nama menjadi API. Cerita bersambung yang ditulisnya, antara lain: “Semarang Hitam” yang ditulisnya sejak 29 Maret – 8 April 1924, kemudian “Tjermin Boeah Keroyalan” yang ditulisnya dari 30 September – 6 Oktober 1924 dan “Reosaknya Kehidoepan dalam Koeta Besar” yang ditulisnya dari 27 Desember 1924 – 2 Januari 1945.

Melalui sastra, Mas Marco Kartodikromo secara konsisten menentang dan mengkritik jiwa kolot dari generasi tua. Lebih lanjut, ia mencoba mengubah kondisi masyarakat dari kapitalis menuju sosialis. Tulis Henri Chambert-Loir (2018).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//