• Narasi
  • Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi

Jejak Langkah Tirto Adhi Soerjo, Pers Bumiputera dan Pers Advokasi

Tirto Adhi Soerjo bersama Medan Prijaji menjadi sinyal bahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, di samping menjadi penggugah bagi ‘bangsanya yang terperintah’.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers nasional, pendiri organisasi Sarekat Prijaji tahun 1906 dan surat kabar Medan Prijaji tahun 1907. (Sumber Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

20 Januari 2023


BandungBergerak.id - Pada abad ke-20, Hindia Belanda memasuki masa pergerakan nasional. Tonggak awal pergerakan bangsa secara umum disimbolkan dengan organisasi Budi Utomo yang berdiri 20 Mei 1908. Namun, jika kita menilik beberapa tahun sebelum terbentuknya Budi Utomo, terdapat kisah perjuangan seorang dari Blora yang mendirikan organisasi Sarekat Prijaji tahun 1906 dan surat kabar Medan Prijaji tahun 1907 dalam upaya menggugah hingga pembentukan pembayangan bangsa.

Tirto Adhi Soerjo-lah sosok tersebut, lulusan sekolah HBS. Dia bersama Medan Prijaji menjadi semacam sinyal bahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, di samping menjadi penggugah bagi ‘bangsanya yang terperintah’. Organisasi Sarekat Prijaji yang tidak berumur panjang, tidak menghentikan langkah perjuangannya. Terbukti pada tahun 1909, berdiri organisasi yang pada masa pergerakan menjadi organisasi cum partai terbesar dari masyarakat pribumi. Pramoedya menjuluki Tirto Adhi Soerjo sebagai Sang Pemula.    

Lahir di Blora tahun 1880 dengan nama Djokomono, ia berasal dari keluarga yang masih memiliki darah ningrat. Larat belakang darah biru ini memberinya kesempatan untuk mendapat pendidikan yang luhur dan modern. Tercatat Tirto Adhi Soerjo pernah mengenyam pendidikan di HBS dan sempat melanjutkan pendidikan di STOVIA, namun kandas di tengah jalan. Hal tersebut disebabkan kegemarannya dalam aktivitas menulis di surat kabar.

Aktivitas Jurnalistik Tirto Adhi Soerjo

Dalam masa pergerakan, surat kabar dan majalah sebagai produk jurnalistik memegang peran yang vital sebagai sumber informasi sekaligus media propaganda. Sebagai sosok yang mendapat ilmu pengetahuan modern, Tirto Adhi Soerjo turut serta dalam perkembangan jurnalistik pada masa itu. Tercatat dalam Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008, hlm. 14): “Karir Jurnalistik Tirto Adhi Soerjo dimulai dengan menjadi penulis lepas di surat kabar Chabar Hindia Olanda, koran terbitan Batavia sekurun 1888-1897.”

Tidak berhenti di surat kabar Chabar Hindia Olanda, ketika koran ini berhenti terbit. Tirto Adhi Soerjo tetap konsisten melanjutkan aktivitas jurnalistiknya di surat kabar Pembrita Betawi dan sempat diselingi menjadi pembantu tetap surat kabar Pewarta Priangan yang terbit di Bandung. Konsitensi Tirto Adhi Soerjo dalam jurnalistik inilah yang mengantarkan dirinya menjadi Pemimpin Redaksi Pembrita Betawi pada tahun 1902.

Jiwa Tirto Adhi Soerjo untuk menggugah kesadaran bangsanya melalui surat kabar adalah buah dari perkenalannya dengan Karel Wijbrands, seorang wartawan dari surat kabar De Sumatra Post yang kelak menjadi jurnalis surat kabar Nieuw den Dag voo Nederlandsch Indie di Betawi. Di sini ia mendapat pelajaran mengenai pengelolaan penerbitan yang menunjangnya untuk memimpin surat kabar sendiri. Karel Wijbrands layaknya mentor bagi Tirto Adhi Soerjo yang menekankan pentingnya untuk mempelajari hukum yang berlaku di Hindia Belanda dan menganjurkan untuk mempelajari agama Islam dan hukumnya agar mengenal bumiputera. Hal ini, semakin mengukuhkan jiwa Tirto Adhi Soerjo untuk menjadikan surat kabar sebagai penyambung persaudaraan antara rakyat bumiputera dalam upaya pembayangan bangsa (2008, 15).

Merintis Surat Kabar Bumiputera Pertama

Dalam upaya menggugah rakyat bumiputera melalui surat kabar, pada tahun 1903 setelah berselisih dengan Wigger (pemimpin surat kabar Pembrita Betawi), Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Soenda Berita yang diterbitkan di Cianjur. Hal ini merupakan terobosan dalam perkembangan jurnalistik di Hindia Belanda pada masa itu, dikarenakan Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang seluruhnya dikerjakan oleh bumiputera termasuk sokongan dana dari Bupati Cianjur, R. A. A. Prawiradiredja.

Mengutip dari Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007, hlm. 4), “di koran mingguan ini itu nyaris Tirto bekerja sendiri, sejak dari penulisan, layout, keuangan, dan sekaligus administrasi. Apa saja yang diketahuinya dicurahkan di Soenda Berita.” Selain itu, ia memberikan identitas bagi surat kabar ini dengan menyematkan kalimat “kepoenyaan kami Priboemi”. Di sinilah kecerdasannya terlihat, Soenda Berita pada akhirnya benar-benar menjadi milik bumiputera dengan pelanggan yang berasal dari berbagai kalangan, tidak terbatas pada bangsawan.

Soenda Berita menyajikan tulisan-tulisan yang menyentuh kehidupan sehari-hari, mulai dari sosial, ekonomi, politik, hukum, kesehatan, hingga sastra. Melalui surat kabar inilah, dia mampu membangun relasi dengan para priyayi di Hindia Belanda yang kelak menjadi penyokong utama dari organisasi Sarekat Prijaji. Namun, memasuki tahun 1904, surat kabar ini harus tutup untuk selamanya, hal ini disebabkan kesulitan finansial yang dialami Soenda Berita. Tunggakan dana dari langganan dan pengangkatan pegawai yang ternyata membenani surat kabar ini, menjadi faktor utama kebangkrutan Soenda Berita.

Baca Juga: MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #2: Mengemudikan Doenia Bergerak
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #3: Delik Pers dan Syair Sama Rasa dan Sama Rata

N.V. Medan Prijaji memasang iklan di koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 16 September 1911 bagi masyarakat yang ingin mengucapkan selamat puasa dan merayakan Lebaran. (Sumber delpher.nl)
N.V. Medan Prijaji memasang iklan di koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 16 September 1911 bagi masyarakat yang ingin mengucapkan selamat puasa dan merayakan Lebaran. (Sumber delpher.nl)

Medan Prijaji sebagai Sarana Advokasi   

Keteguhan hatinya tidak menghentikan aktivitas jurnalistik dalam upaya membangun kesadaran masyarakat bumiputera. Tiga tahun pascakebangkrutan Soenda Berita (1907), Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Medan Prijaji, surat kabar yang melekat dengan namanya. Bersama surat kabar ini, selain menjadi media penyebaran informasi, di sisi lain sebagai sarana advokasi yang dijalankan Tirto Adhi Soerjo, sekaligus menunjukan “garis demarkasi” bagi yang terperintah dan yang memerintah. Di tahun yang sama di bawah naungan NV. Javasche Boekhandel en Drukkerij en hande in Schrijfbohoften, terbit surat kabar Soeloeh Keadilan dan setahun kemudian mendirikan surat kabar perempuan Poetri Hindia.

Politik perjuangan dan perlawanannya ditonjolkan dalam kalimat yang disematkan di kepala surat kabar ini: “Soeara bagai sekalian Radja-radja, Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officer-officer serta Saudagar-saudagar dari bangsa jang terperentah laenja jang dipersamakan dengan Anaknegeri, di seloeroeh Hindia Belanda”. Sampai di sini, terlihat jelas sikap politik perlawanan Tirto Adhi Soerjo terhadap segregasi sosial yang diciptakan kolonial Belanda, yang saat itu dibentuk berdasarkan rasialisme.

Berkantor di Bandung, pada tahun 1909 penerbitan Medan Prijaji sempat dibantu oleh dua muridnya yang kelak menjadi jurnalis andal, yaitu Martodharsono dan Mas Marco Kartodikromo. Pena tajamnya mengantarkan ia untuk berpolemik dengan pejabat-pejabat kolonial dan feodal pada saat itu. Mengutip kembali Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan (2008, hlm. 14), polemik paling riuh yang dihadapinya terjadi pada tahun 1909, ketika dia mendapat pengaduan dari Mas Soerodimedjo calon Lurah yang kalah dalam pemilihan Lurah Purworedjo. Dalam pengaduannya tersebut, terdapat informasi kecurangan yang dilakukan oleh A. Simon seorang Aspiran Kontrolir yang bekerjasama dengan Wedana Tjorosentono.

Setelah itu, Tirto Adhi Soerjo terbakar emosi dan menyebut A. Simon sebagai snotaap (monyet ingusan) melalui tulisannya di Medan Prijaji, No. 19 dan 20, Tahun III, 1909. Beruntung baginya pada saat itu, kedekatannya dengan Gubernur Jenderal Van Heutz sebagai strateginya serta forum previlagiatum yang dimilikinya, untuk sementara mampu menahan jerat hukuman terhadap dirinya. Sebenarnya, ketajaman pena yang dimilikinya untuk mengantam kesewenangan kekuasaan sudah terjadi jauh sebelum dirinya berpolemik dengan A. Simon.

Ketika masih menjadi bagian dari Pembrita Betawi, Tirto pernah melakukan advokasi atas tuduhan yang menjerat kerabat dekatnya, Brotodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Madiun pada tahun 1902. Ketika itu, dia menghimpun segenap informasi tidak benar yang dibuat JJ Donner selaku Residen Madiun yang bekerjasama dengan Patih Madiun dan Jaksa Kepala Madiun untuk melengserkan Bupati Madiun yang kebetulan kerabat dekatnya Tirto Adhi Surjo.

Sebagai bentuk advokasi, Tirto Adhi Surjo melakukan memuat tulisan-tulisannya di Pembrita Betawi secara bersambung dari April-Agustus 1902. Apa yang dilakukannya menarik perhatian Algemeene Secretarie hingga mengutus Snouck Hourgronje untuk mencari tahu kebenaran dari perkara yang sebenarnya sudah selesai tersebut.

Setelah melakukan pendalaman terhadap kasus tersebut, pemerintah kolonial pada akhirnya harus mengklarifikasi keputusannya, di mana sebelumnya Brotodiningrat adalah terdakwa hasil dari kesalahan tafsir dan pendalaman laporan yang dibuat JJ Donner sebelumnya. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//