• Narasi
  • Pers Melahirkan Satu Bahasa

Pers Melahirkan Satu Bahasa

Surat kabar Medan Prijaji yang berkantor di Kota Bandung tepatnya di Jalan Naripan no 1-3 Bandung, sebagai Sang Pemula dalam menyemai bahasa persatuan.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Gedung GPK (kiri), Jalan Naripan, Kota Bandung, di masa lalu. Dahulu gedung ini dipakai penerbitan Medan Prijaji, surat kabar pertama warga lokal di zaman kolonial. (Sember: Collectie Tropenmuseum)

12 Oktober 2022


BandungBergerak.idDalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terdiri dari individu yang saling berkomunikasi satu dengan yang lainnya, bahasa hadir sebagai jembatan utama sebagai sarana komunikasi baik dalam bentuk lisan atau tulis. Arus zaman “memaksa” bahasa sebagai identitas bangsa, setiap bangsa tidak dapat menutup mata terhadap bahasa sebagai salah satu inti dari keberlangsungan hidup suatu bangsa. Seperti yang kita ketahui bersama bahasa bisa menjadi pemersatu, pun sebaliknya menjadi pemisah atau sedikitnya menjadi percikan konflik.

Belgia sebagai bangsa kulit putih masih disibukkan konflik yang disebabkan penggunaan bahasa Vlam dan Perancis. Di India permasalahan keberagaman bahasanya masih menjadi pemicu konflik dalam masyarakat. Namun, di sebuah negeri yang lahir di pertengahan dekade ke-4 abad ke-20 yang dikenal sebagai Indonesia, bahasa berhasil menjadi alat pemersatu berdasarkan konsensus yang melelahkan sepanjang sejarahnya yang termanifestasikan dalam Kongres Pemuda ke II tahun 1928. Lalu bagaimana perjalanan menuju konsensus yang melelahkan mengenai bahasa persatuan di Indonesia?

Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau di antara Samudera Hindia-Pasifik masuk ke dalam wilayah rumpun bahasa Austronesia yang melahirkan rumpun bahasa Melayu, Sunda, Jawa, Bugis. Bahasa Melayu yang merupakan turunan dari rumpun bahasa Austronesia menjadi akar dari bahasa Indonesia.

Konsensus bahasa persatuan ini tentu tidak secara langsung tersebar di hari H dan jam J dalam Kongres Pemuda ke-II tahun 1928, pun konsensus bahasa persatuan tentu mendapat pengaruh dari pengalaman bangsa sebelum Kongres Pemuda II terlaksana. Seperti yang kita ketahui bahasa Melayu adalah bahasa yang banyak digunakan. Bahkan pada masa kolonial penggunaan bahasa Melayu (terutama bahasa Melayu Pasar) menjadi “kewajiban” bagi pribumi (inlander) sebagai bahasa penghubung antara kolonial Hindia-Belanda dan pribumi serta sebagai bentuk segregasi sosial di masa kolonial Hindia-Belanda.

Segregrasi sosial yang di dalamnya terdapat segregasi bahasa penutur itulah secara tidak langsung menjadi awal “berkah” bagi lahirnya bahasa persatuan. Pengalaman ini memicu pembayangan akan persamaan nasib atau dalam istilah Ben Anderson “Komunitas Terbayang”. Untuk “berkomunikasi” atau menyampaikan gagasan dengan masyarakat yang dibayangkan memiliki persamaan nasibnya oleh kebijakan kolonial Hindia Belanda menggunakan bahasa Melayu tentunya tidak dapat dipisahkan dari peran pers dalam bentuk surat kabar. Kronik dari peran pers di Hindia Belanda, atau Indonesia sekarang, dimulai tahun 1744 dengan hadirnya surat kabar Bataviasche Nouvelles seperti yang termuat dalam “Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007)”:

“Kemunculan jurnalistik di tanah masyarakat yang “terperintah” diawali dengan kehadiran surat kabar Bataviasche Nouvelles sebagai corong atau pembawa berita dari yang “memeritah” pada tahun 1774, surat kabar ini hanya berusia kurang lebih 2 tahun sebab pada tahun 1776 “Dewan XVII yang merupakan pusat kebijakan VOC di Belanda mengirim surat ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk melarang penerbitan Bataviase. Mereka khawatir berita-berita tentang kondisi perdagangan Hindia Belanda akan dimanfaatkan para pesaingnya di Eropa. Pandangan liberalnya dianggap berbahaya bagi pengendalian pasar.

Dalam kurun waktu tersebut terdapat surat kabar Venduniwcus atau “Berita Lelangan” yang terbit hingga tahun 1809. Hingga pada 1810, pemerintah Daendels menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, yang merupakan koran resmi penguasa.  Berkait dengan mendaratnya balatentara Inggris di Jawa pada 1811, tutup juga surat kabar itu. Sebagai gantinya, Gubernur Raffles meneritkan Java Gouvernment Gazette, yang salah satu pengumuman penting koran ini adalah meledaknya Gunung Tambora pada 1815 yang menewaskan 56 ribu jiwa. Koran ini ditujukan untuk pengembangan ilmu-ilmu tentang Indonesia, terutama sekali ilmu botani. Dari materi berita koran inilah kelak lahir karya utama Raffles berjudul History of Java (1817).

Setelah penjajahan Inggris berakhir, pada 1828 terbit koran Bataviasche Courant. Sejak masa ini, persebaran percetakan kian meluas2 dan koran-koran swasta pun bermunculan, antara lain Bataviasch Advertentieblad (1829), Ned-Indisch Handelsblad (1829), Soerabaia Courant (1831), Samarangsch Advertentieblad (1845 – yang kemudian pada 1852 berubah menjadi De Locomotief), maupun Bataviasche Advertentieblad (1851 – setahun kemudian berubah menjadi Java Bode).

Paling tidak ciri utama pers pada babak putih ini adalah monopoli penerbitan pers; bahwa yang dibenarkan terbit hanyalah pers pemerintah. Karena itu sekuat-kuatnya menghantam pelbagai kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau golongan mana pun sebagai bentuk menjaga stabilitas politik penjajahan.” (2007, hlm. ix-x)

Sudah dapat dipastikan babak awal surat kabar (pers) di negeri jajahan Belanda atau dalam istilah Tirto Adhi Soerjo “bangsa yang terperentah” pada awalnya hanya untuk kepentingan pihak “yang memerintah”. Penggunaan surat kabar sebagai media “komunikasi” bagi “Yang terperentah” menggunakan bahasa Melayu digerakan oleh pribumi terpelajar, kemunculan pribumi terpelajar tentu tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik etis yang diterapkan kolonial di negeri jajahannya; politik etis diberlakukan untuk kepentingan kolonial saja serta bukan program “lillahi ta’ala dari kolonial untuk pribumi. Modal ilmu pengetahuan modern yang didapatkan dari sekolah-sekolah yang dibuka kolonial menjadi pelecut pribumi terpelajar menggunakan surat kabar dengan bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia sebagai media “komunikasi” di samping penyebar gagasan, advokasi, serta penggugah bagi bangsa yang terperantah” yang terbatas oleh ruang dan waktu.

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun AJI: Kebebasan Pers dalam Kabut Kekerasan dan Kriminalisasi
Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Kebebasan Pers, Sudah Jatuh Ditimpa RKUHP

Pers Menyemai Bahasa Persatuan

Bahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia yang menjadi lingua franca di Hindia Belanda di tangan pribumi terpelajar digunakan sebagai jembatan penghubung dan pers dari pribumi terpelajar memegang peran penting. Taufik Rahzen dalam “Tanah Air Bahasa” (2007, hlm. 422) menyatakan, “Pers yang dikelola oleh organ-organ pergerakan dan tokoh-tokohnya sudah lebih dulu mengalami bagaimana iktiar membumikan bahasa Indonesia ke ranah publik yang lebih luas.”

Pernyataan Taufik Rahzen menunjukan peran pers sudah lebih dulu menyemai bahasa Indonesia sebagai lingua franca yang berakar bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang kemudian berbunga dalam Kongres Pemuda ke II.

Pembahasan mengenai pers pribumi yang penyemai bahasa persatuan tentu terasa tidak lengkap jika tidak menyebutkan tokoh bernama Tirto Adhi Soerjo, seperti yang termuat dalam “Jejak Pers Di Bandung”

“... surat kabar nasional pertama lahir di kota Bandung, koran “Medan Prijaji” yang disepakati berbagai kalangan sebagai tonggak lahirnya pers nasional, kesepakatan itu didasari ketika pada 1907 Raden Mas Tirto Adhi Soejo mendirikan surat kabar yang menggunakan bahasa Indonesia serta seluruh awaknya orang pribumi tulen itu dengan kekuatan finansial sendiri. Saya sendiri termasuk yang sepakat dengan pendapat itu dengan asumsi sederhana bahwa kelahiran “Medan Prijaji” datang dari rasa keinginan untuk serba mandiri seorang anak negeri” (Indra Prayana, 2021. Hlm. X).

Medan Prijaji merupakan surat kabar pertama yang awak medianya terdiri dari kalangan pribumi. Surat kabar ini didirikan Tirto Adhi Soerjo, berkantor pusat di Kota Bandung tepatnya di Jalan Naripan no 1-3 yang dahulu dikenal dengan nama Stichting Cultureel Centrum. Sekarang gedung bekas Medan Prijaji menjadi Yayasan Pusat Kebudayaan atau Galeri Pusat Kebudayaan. 

Medan Prijaji dan Sang Pemula -- sebutan untuk Tirto Adhi Soerjo -- berperan besar sebagai penyemai bahasa persatuan. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa Tirto menjadikan bahasa Melayu yang menjadi akar dari bahasa Indonesia menjadi sarana penggugah serta saran advokasi, yang dalam perkembangannya telah banyak memberikan sumbangan yang besar terhadap kesadaran dan kebangkitan bangsa. Peran Tirto dan para pribumi terpelajar lainnya yang menggunakan pers dengan bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia tentu tidak berjalan dengan tenang, pengasingan, dan penahan di balik jeruji menyertai perjalanan pribumi terpelajar.

Pernyataan “satu bahasa, bahasa Indonesia” yang terucap sebagai salah satu dari tiga manifestasi persatuan bangsa dalam Kongres Pemuda ke II terdapat peran tokoh-tokoh yang bergerak atau setidaknya menjadi donatur tulisan dalam pers di antaranya Amir Syarifuddin, Moh. Yamin, dll. Seperti yang kita ketahui Moh. Yamin merupakan sosok yang teguh dalam memperjuangkan pentingnya bahasa sebagai identitas bangsa dan perekat persatuan bangsa, Moh Yamin dalam Kongres Pemuda II mengajukan bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Arti Penting Bahasa sebagai Identitas Bangsa

Seperti yang kita ketahui, peran ki Hajar Dewantara dalam pers sangat vokal menentang penjajahan. Aksi heroiknya ketika menulis artikel bertajuk “Als Ik Eens Nederlander Was” melalui surat kabar De Express tahun 1913 yang menyebabkan dirinya dibuang ke luar pulau Jawa. Peran penting lainnya dari Ki Hadjar Dewantara dalam meneguhkan bahasa sebagai satu identitas bangsa termuat juga dalam buku “Tanah Air Bahasa”:  

“Kita tahu bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan konsensus pada 1928 akarnya terpancang pada bahasa Melayu. Tapi cukup jelas, bahasa Indonesia sejak 1928 dengan bahasa Melayu pada masa sebelum-sebelumnya punya selisih yang kentara. Selisih antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu itu banyak diperbincagkan dalam kongres bahasa Indonesia I yang digelar di Surakarta pada 28 Juni 1938.

Ki Hadjar Dewantara menguraikan hal itu dengan bernas. Kendati berasa dari Riau, kata Ki Hadjar,  bahasa Indonesia sudah “ditambah, diubah, dan dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baru, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai rakyat Indonesia”.

Ki Hadjar secara tepat menggambarkan bagaimana hubungan antara nasionalisme, bahasa, dan kaum cendekiawan. Di negeri-negeri jajahan, nasionalisme dan bangsa selalu lahir setelah didahului oleh konsensus untuk menggunakan satu bahasa sebagai “cara-wicara bersama” yang mampu menjembatani perbedaan” (hlm. 421-422).

Paparan Ki Hadjar Dewantara dalam kongres bahasa Indonesia I tersebut menunjukan pentingnya keberadaan bahasa sebagai alat perekat kebangsaan. Bahasa sebagai yang menjembatani perbedaan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara, pondasinya awalnya disemai oleh kerja Pers dan berbunga dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. Begitulah perjuangan awal ihwal pendirian bahasa persatuan yang menjadi identitas bangsa Indonesia, bahasa bukan sekedar alat komunikasi melainkan juga jembatan yang dibangun atas jerih payah yang melelahkan serta hal tersebut ada peran besar pers, walaupun peran pers di masa sekarang jarang orang mengingatnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//