Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Dibutuhkan komitmen negara agar kekerasan terhadap jurnalis tidak terus berulang dan bertambah. Aktor pelaku kekerasan dominan dilakukan aparat negara.
Penulis Iman Herdiana3 Mei 2022
BandungBergerak.id - Grafik kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya cenderung meningkat dengan pelaku kebanyakan dari aparat penegak hukum. Di tengah belum terlindunginya jurnalis dari kasus-kasus kekerasan, muncul kejahatan digital yang juga mengincar mereka. Perlindungan hukum terhadap jurnalis masih lemah.
Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Iqbal T Lazuardi, mengatakan kekerasan terhadap jurnalis terutama meningkat terkait momentum di lapangan. Misalnya, pada saat unjuk rasa besar-besaran seperti Hari Buruh Internasional 1 Mei 2019 dan pada 2020 ketika terjadi gelombang penolakan revisi UU KPK karena dinilai melemahkan KPK, hingga penolakan terhadap UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Dalam situasi itu, jurnalis berada di antara beberapa kubu yang saling bersitegang, yaitu kubu pengujuk rasa yang menyalurkan aspirasinya dan kubu aparat yang mengawal aksi. Menurut data AJI, pada tahun-tahun tersebut kebanyakan pelaku kekerasan adalah aparat kepolisian. Kekerasan ini terjadi ketika jurnalis meliput tindak represif kepolisian kepada demonstran.
“Dari data AJI paling banyak pelaku kekerasan aparat keamanan, khususnya kepolisian. Misalnya ketika ada demo besar-besaran pada 2019 maupun 2020,” kata Iqbal, saat dihubungi BandungBergerak.id terkait Hari Pers Sedunia (World Press Freedom Day) yang diperingati setiap 3 Mei.
Tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh kepolisian menunjukkan bahwa institusi hukum tersebut tidak memahami tugas jurnalis. UU Pers menyatakan bahwa setiap jurnalis tidak boleh dihalang-halangi ketika melakukan tugas jurnalistiknya.
“Intinya, AJI konsen pada kepolisian yang tidak memiliki pandangan bahwa jurnalis saat melaksanakan tugas jurnalistinya di lapangan tidak boleh diusik. Hal ini sudah diatur dalam UU Pers,” ungkap Iqbal, kepada BandungBergerak.id, melalui sambungan telepon.
Kebebasan Pers di Tahun Pagebluk
Divisi Advokasi AJI Indonesia mencatat ada 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 2020. Angka ini bukan hanya lebih banyak dari tahun 2019 yang mencatat 53 kasus, tapi menjadi jumlah paling tinggi sejak AJI memonitor kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak lebih dari 10 tahun lalu.
Dari segi jenis kekerasan, yang paling mendominasi adalah intimidasi dan kekerasan fisik. Namun perkembangan yang lebih merisaukan adalah meningkatnya kualitas jenis serangan digital terhadap media. Kekerasan ini juga merupakan dampak ikutan dari pandemi yang mulai melanda 2020.
AJI menilai, serangan terhadap media secara siber di tahu pagebluk itu terjadi dengan menyasar media dan jurnalis karena pemberitaannya yang memuat semangat kontrol sosial terhadap pemerintah dalam menangani pandemi.
Sementara antara 2021-2022, kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi meski dalam jumlah menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya. AJI mencatat antara tahun 2021-2022 terjadi sebanyak 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik fisik maupun psikis. Jumlah kasus paling tinggi terjadi pada bulan Oktober (7 kasus) dan November (6 kasus).
Berdasarkan jenisnya, bentuk kekerasan tersebut sangat beragam, mulai dari ancaman, kekerasan fisik, kekerasan seksual (berbasis gender), pelarangan liputan, penahanan, penghapusan hasil liputan, penuntutan hukum, serangan digital, teror dan intimidasi.
Kekerasan fisik menjadi kasus yang tertinggi, yakni 13 kasus, disusul teror dan intimidasi 9 kasus, pelarangan liputan 8 kasus. Berdasarkan latar belakang pelaku, profesi mereka beragam mulai dari aparat pemerintah, birokrat, jaksa, ormas, pekerja profesional, perusahaan, polisi, TNI, warga, dan tidak dikenal.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis tersebar di 36 kabupaten dan kota di Indonesia. Kota dengan lebih satu kasus adalah Muaro Jambi, Kota Bandar Lampung, Kota Jakarta Pusat, Kota Jayapura, Kota Kendari, Kota Medan, Kota Palembang, Kota Palu, Kota Surabaya.
AJI mulai menghimpun data kekerasan terhadap jurnalis sejak 2006 dengan jumlah 54 kasus. Total jumlah antara 2006 hingga 2022 sebanyak 904 kasus. Data terbaru tahun 2022, situs resmi AJI mencatat sejak Januari hingga April sudah terjadi sebanyak 12 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Baca Juga: Menghitung Hari di Rusunawa Rancacili
NGULIK BANDUNG: Puasa dan Libur Lebaran Zaman Kolonial
Di Ujung Ramadan, Pendiri Pondok Pesantren Margasari Cijawura Wafat
Kejahatan Siber dan Lemahnya Pemahaman terhadap UU Pers
Data kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun AJI antara 2019-2022 masih didominasi dengan bentuk kekerasan konvensional. Namun Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Iqbal T Lazuardi, mencatat pada tahun pagebluk muncul kekerasan dalam bentuk baru, yaitu kejahatan siber atau digital.
“Serangan digital muncul dua tiga tahun ke belakang. Maka AJI juga konsen pada keamanan digital ini. Fenomena ini bukan hanya terjadi secara nasional. Jurnalis di luar negeri pun saat ini sangat konsen pada keamanan digital ini,” katanya.
Bentuk kekerasan digital ini amat beragam, mulai dari doxing atau publikasi data-data pribadi jurnalis, hingga peretasan terhadap perangkat digital mereka, seperti peretasan akun media sosial hingga perangkat pengirim pesan berbasis aplikasi (Whatsapp dll). Hal ini juga menjadi otokritik bagi jurnalis sendiri tentang pentingnya meningkatkan keamanan data digital, agar data-data pribadi mereka tidak mudah diakses oleh pelaku kejahatan digital.
Iqbal mengatakan, kejahatan digital terjadi manakala jurnalis memberitakan kasus-kasus tertentu yang membuat pihak yang diberitakan tidak senang. Misalnya, kritik terhadap program pemerintah, kasus dugaan korupsi, dan lain-lain. “Dua tahun terakhir ini kejahatan digital menjadi sorotan kami. Waktu demo UU KPK banyak jurnalis yang diretas. Ini harus menjadi perhatian,” katanya.
Namun perlindungan hukum dari kasus kejahatan digital ini masih gelap. Iqbal menilai belum ada produk hukum yang mampu melindungi korban dari kejahatan jenis baru ini padahal dampaknya sama bahayanya dengan kejahatan konvensional.
“Kasus digital belum ada langkah-langkah perlindungan hukumnya. Jagankan digital, yang konvensional pun banyak yang mandeg,” katanya.
Contoh kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sifatnya konvensional menimpa dua jurnalis di Bandung, yakni Prima dan Iqbal. Peristiwa ini terjadi ketika demonstrasi Hari Buruh Internasional 2019 yang berujung bentrok di Bandung. Prima dan Iqbal menjadi korban kekerasan aparat kepolisian, foto-foto hasil liputan mereka dipaksa dihapus.
“Sampai saat ini (kasus Prima dan Iqbal) kita belum mendapatkan hasil memuaskan meskipun saksi dan bukti-buktinya ada,” katanya.
Ia melihat ada bias yang kuat jika pelaku kasus kekerasan adalah anggota aparat hukum sendiri. Menurutnya, dari banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, jumlah kasus yang masuk ranah pengadilan bisa dihitung dengan jari.
Padahal kerja jurnalis berkaitan dengan kepentingan publik dan dilindungi UU Pers. Baik AJI maupun organisasi profesi jurnalis lainnya telah banyak melakukan sosialisasi tentang UU Pers. Dewan Pers juga telah melakukan MoU dengan Polri tentang kerja jurnalis ini, bahwa jurnalis tidak boleh dihalang-halangi atau dipidanakan saat melakukan kerja jurnalistiknya.
“Cuma ya balik lagi ke agenda kepolisian atau negara untuk menjalankan UU Pers dan MoU tersebut,” katanya.