Cerita Jurnalis Bandung Saat Mengabadikan 731 Hari Pandemi Covid-19 di Jawa Barat
Selain melalui pameran 738, para jurnalis foto juga menceritakan perjalanan mereka dalam mengabadikan sejarah visual di saat puncak Covid-19 di Indonesia.
Penulis Delpedro Marhaen12 Maret 2022
BandungBergerak.id - Di saat orang harus menghindari titik-titik penularan, mereka justru mendekat. Saat warga diminta untuk bekerja di rumah, mereka harus ke lapangan. Demikianlah pekerjaan jurnalis foto yang sehari-hari harus berdampingan dengan sesuatu yang tak kasat mata dan serangkaian ancaman lain yang mengintai di masa pandemi Covid-19.
Semua itu dilakukan demi karya visual jurnalistik untuk dikabarkan ke publik. Hasil pergulatan mereka dengan pagebluk diabadikan dalam pameran foto bertajuk 731 di Gedung Indonesia Menggugat pada 5 hingga 8 Maret 2022. Sebanyak 57 karya foto tunggal dan 4 foto cerita dari 15 pewarta foto ditampilkan dalam pameran ini.
Pameran 731 kemudian ditutup dengan diskusi jurnalistik 738 Hari Garda Terdepan Menghadapi Pandemi. Diskusi ini menceritakan perjalanan para jurnalis foto dalam mengabadikan catatan sejarah visual di saat kasus Covid-19 di Indonesia sedang tinggi-tingginya. Dan mematikan.
Iqwan Sabba Romli dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Barat mengatakan jurnalis dalam posisi rentan terpapar sejak awal pandemi Covid-19. Diakui bahwa para jurnalis meliput dengan ala kadarnya, tanpa perlengkapan protokol kesehatan, seperti masker, kacamata, dan hand sanitizer. Mau tidak mau, kata Iqwan, peliputan harus tetap dilakukan oleh jurnalis televisi untuk mendapatkan video terkait Covid-19 di salah satu klaster Kota Bandung.
“Di awal karena minimnya informasi, jurnalis tidak tahu, referensi kurang, baik itu zona merah atau apa, jurnalis tetap mendatangi lokasi tersebut untuk meliput karena butuh video. Baru kemudian mendapatkan informasi terkait bagaimana peliputan di tengah pandemi Covid-19,” ungkap Iqwan Sabba Romli, dalam diskusi 738 Hari Garda Terdepan Menghadapi Pandemi, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Selasa (8/3/2022).
Kavin Faza dari Pewarta Foto Indonesia Bandung mengatakan sebagai jurnalis di masa pandemi, ia dihadapkan dengan dua pilihan; menyelamatkan diri atau bertanggung jawab atas pekerjaan sebagai jurnalis. Diakui ini pengalaman pertamanya berhadapan dengan wabah penyakit menular. Banyak di antara para jurnalis, termasuk dirinya, pada saat awal pandemi Covid-19 tidak memahami protokol kesehatan ataupun standar operasional peliputan di lapangan.
“Kalau untuk saya pribadi, bener-bener tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita kan tidak terlalu paham betul harus seperti apa, protokol kesehatan apa yang harus dijalankan,” ujarnya.
Baca Juga: Geliat Zine dari Masa ke Masa dan Relevansinya Hari Ini
Mengecam Kapitalisme dan Oligarki dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di Bandung
Aktivis Hingga Akademikus di Bandung Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024
Resiko yang Dihadapi
Prima Mulia dari Wartawan Foto Bandung mengungkapkan jurnalis berhadapan dengan resiko terpapar ketika meliput di Maret 2020. Menurutnya, di saat itu persedian masker di Kota Bandung sedang langka. Harganya bisa mencapai Rp 300 ribu untuk satu box-nya. Jurnalis kemudian terpaksa memakai satu masker untuk tiga hingga empat hari.
“Waktu itu tidak ada rasa takut ya untuk meliput ke zona-zona penularan. Berdasarkan yang saya tahu, jadi setiap hari, ketika keluar itu area muka harus terlindungi, ditutup dengan masker dan google glass. Kemudian kita sampai rumah baju yang dipakai ditaruh di satu wadah dan direndam dengan detergen, mandi, dan setelah itu baru bisa masuk rumah,” ujarnya.
Prima menuturkan, standar pencegahan penularan tersebut ia lakukan setiap hari selama pandemi. Kemudian, jika dalam satu hari bertugas meliput ke lapangan sebanyak tiga kali, maka di satu hari itu juga ia harus mandi tiga kali. Baru di tahun 2021, ia selalu membawa baju hazmat setiap hari di tasnya.
“Dampaknya membuat kecemasan hingga susah tidur, terkadang tidur hanya bisa satu jam dalam satu hari,” ujarnya.
Dampak juga dirasakan oleh industri media. Menurut Iqwan, industri media, terutama televisi, mengalami disrupsi selama pandemi. Hal ini disebut tidak pernah terbayangkan akan menimpa industri media. Banyak jurnalis di lapangan yang terpapar Covid-19, juga kantor berita yang terpaksa harus gulung tikar.
“Mau tidak mau teman-teman tetap harus bekerja karena sebagian adalah freelance, kontributor, dan koresponden daerah. Jadi mau tidak mau risiko dengan terpapar Covid-19 itu sangat-sangat dekat.
Sepanjang pandemi ini, terutama di tahun pertama, diakui Iqwan dan banyak jurnalis lain mengalami ketakutan yang akut terkait Covid-19. Bukan hanya melakukan prosedur sterilisasi, Iqwan juga menjadi takut untuk bertemu dengan keluarga selepas meliput dari lapangan. Ia bahkan harus tidur terpisah dengan keluarganya ketika Covid-19 sedang ramai-ramainya saat itu.
“Untuk peliputan di lapangan, persoalan emosional muncul disitu. Misalnya, sebelumnya kita masih bertatap muka dengan narasumber untuk wawancara, seminggu kemudian mendengar kabar dia meninggal,” ungkapnya.
Kendati demikian, solidaritas di antara para jurnalis tak luput dilakukan. Ketika Covid-19 melonjak dan banyak dari jurnalis terpapar, muncul berbagai bantuan dari jurnalis lain, komunitas, dan organisasi keprofesian. Mereka mengumpulkan dana dengan melakukan patungan antar sesama rekan seprofesi.
Kemudian IJTI merumuskan langkah memitigasi agar para jurnalis, terutama televisi, di lapangan tidak terpapar Covid-19. Salah satu yang dilakukan dengan cara berkolaborasi dengan bagian humas di rumah sakit rujukan Covid-19. Dengan begitu, media tetap mendapatkan kebutuhan informasi visual terkait kondisi Covid-19 di rumah sakit. Selain itu juga dilakukan pelatihan secara virtual mengenai pengambilan visual.
“Walaupun secara kegiatan kejurnalistikan tidak puas ya, karena lebih puas dengan karya sendiri, cuma mau tidak mau dengan kondisi seperti itu, kita perlu informasinya tetapi kita tidak bisa hadir di lokasi, ya yang harus dilakukan mencari solusinya agar tetap mendapatkan visual,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bandung, Rosye Arosdian mengatakan jurnalis berperan sangat penting pada awal ditemukan kasus positif Covid-19 di Kota Bandung. Jurnalis disebut banyak memberikan informasi kepada masyarakat terkait pencegahan Covid-19 dan regulasi yang berkembang. Menurutnya, Dinas Kesehatan merasa terbantu oleh jurnalis untuk meluruskan disinformasi yang berkembang di masyarakat.
“Dinas Kesehatan Kota Bandung merasa betul-betul dibantu oleh teman-teman media untuk memberikan sosialisasi-sosialisasi kepada masyarakat. Edukasi begitu sangat dibutuhkan, tidak terbayang, kalau ada perubahan-perubahan regulasi tapi tidak dibantu menjelaskan oleh teman-teman media, mungkin akan kisruh,” ujar Rosye.
Minim Perlindungan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mengungkapan ancaman terpapar Covid-19 hanya satu dari sekian banyaknya ancaman yang dihadapi jurnalis selama pandemi. Ada tiga ancaman lain yang juga dihadapi jurnalis. Pertama soal ke ketenagakerjaan, berdasarkan data LBH Pers tercatat ada 150 aduan dari jurnalis di tahun 2020. Angka ini tiga kali lipat meroket dari sebelum pandemi.
Ancaman kedua adalah serangan terhadap jurnalis yang meningkat. Merujuk data LBH Pers, sepanjang tahun 2020 terjadi 117 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kemudian muncul fenomena serangan digital, seperti peretasan dan doxxing (penyebaran data pribadi), Terbaru, kasus yang menimpa Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim yang sosial medianya diretas. Kemudian terjadi 6 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis yang pelakunya didominasi kepolisian.
Ancaman terakhir adalah kesehatan mental pada jurnalis selama pandemi Covid-19. Hal ini masih dianggap sepele oleh organisasi jurnalis, termasuk para jurnalis secara pribadi. Disebabkan karena terlalu banyak beban kerja atau burnout sehingga tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya.
Berdasarkan survei AJI yang dilakukan kepada 48 jurnalis perempuan dan 75 jurnalis laki-laki di Jawa Barat, mayoritas di Bandung, disebutkan banyak dari jurnalis tersebut mengalami stres hingga depresi berat dan ingin mengakhiri hidup.