• Berita
  • Aktivis Hingga Akademikus di Bandung Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024

Aktivis Hingga Akademikus di Bandung Menolak Wacana Penundaan Pemilu 2024

Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dinilai melanggar konstitusi. Saat ini rakyat membutuhkan solusi di masa sulit karena pandemi Covid-19.

Kantor KPU Provinsi Jawa Barat, Bandung, Senin (28/2/2022). Sejumlah tokoh politik, organisasi, termasuk para pakar hukum tata negara menolak wacana penundaan Pemilu 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen7 Maret 2022


BandungBergerak.idWacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 berhembus baru-baru ini. Sejumlah pakar hukum, aktivis demokrasi hingga mahasiswa di Kota Bandung menolak usulan tersebut. Mereka beralasan jika hal tersebut dilakukan akan bertentangan dengan konstitusi hingga berpotensi merusak demokrasi.

Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia memberikan penjelasan mengapa wacana ini membahayakan demokrasi. Penundaan pemilu ditengarai sebagai indikasi menuju kekuasaan yang otoriter. Pasalnya, penyelenggaraan pemerintah dilakukan dengan menerobos berbagai ketentuan perundangan-undangan dan hukum.

“Ketika para pengambil kebijakan tidak lagi menggunakan hukum sebagai batas-batas dalam pengambilan kebijakan, berarti ada kecenderungan untuk menjalankan kekuasan tanpa dasar,” kata Lasma ketika dihubungi BandungBergerak.id, Senin (7/3/2022).

Lasma menegaskan agar pemerintah tetap menaati konstitusi. Dalam setiap tindakan pemerintah, kata Lasma, harus berdasarkan pada konstitusi, dengan demikian pemilu tetap harus dijalankan sesuai aturan terkait masa jabatan presiden. Menurutnya, jika pemilu 2024 ditunda maka ada pelanggaran konstitusi.

“Jika ada penundaan pemilu yang harus dilihat adalah apa dan kenapanya. Jadi tidak serta merta wacana penundaan pemilu itu dapat dilakukan dengan alasan tidak ada kesiapan,” ujarnya.

Lasma juga mengatakan tidak ada alasan untuk menunda Pemilu 2024. Menurutnya pemerintah masih punya waktu dua tahun lagi untuk mempersiapkan segala sesuatu terkait pemilu. Berbagai alasan yang menjadi dasar penundaan pemilu dinilai tidak masuk akal.

“Tidak pandemi pun, persoalan negara itu akan muncul. Dengan demikian, pandemi bukan jadi alasan untuk menghentikan atau menunda pemilu, melainkan negara harus mencari solusi agar pemilu tetap terlaksanakan di tengah kondisi tidak stabil,” ungkapnya.

Lasma juga menyoroti penundaan pemilu ini akan merusak tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Hal ini akan berdampak pada ketidaktaatan dan kekacauan di masyarakat.

“Dampaknya bisa terjadi kekacauan dan kerusuhan di mana-mana, yang kemudian dimanfaatkan oleh elit politik. Jadi pada masyarakat yang rusak tingkat kepercayaan terhadap pemerintah akan menyebabkan rusaknya persatuan antara masyarakat. Sehingga kepentingan masyarakat yang utama akan tergeser,” ungkapnya.

Lasma Natalia juga mengajak masyarakat, terutama para akademisi untuk mengutarakan penolakan terhadap wacana ini. Mengingatkan bahwa penyelenggaraan konstitusi itu menjadi penting dan wacana penundaan pemilu 2024 itu satu hal yang melanggar konstitusi. Menurutnya, perlu ada kerjasama antara seluruh elemen masyarakat untuk menolak penundaan Pemilu 2024.

Baca Juga: Pentingnya Penyelenggaraan Demokrasi Berbasiskan Data
Benalu Demokrasi itu Bernama Buzzer |
Demokrasi akan Rusak jika Pemilunya Curang

Kata Akademisi

Pakar Hukum dari Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti menduga ada keterkaitan wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Kalau Pemilu 2024 akan ditunda, kata Susi, bukan bagaimana cara menundanya, tetapi mengapa ditunda. Menurutnya, yang dilakukan seharusnya bukan mencari jalan untuk menunda, sebab wacana ini bukan kehendak masyarakat.

“Rakyat tidak butuh itu. Rakyat butuh sekarang yang terpenting pandemi terselesaikan dengan baik, kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan utama ketika pandemi terpenuhi. Jadi itu yang dibutuhkan rakyat, apakah itu dapat dicapai dengan perpanjangan masa jabatan atau penundaan? tidak,” kata Susi saat dihubungi BandungBergerak,id, Senin (7/3/2022).

Susi juga menilai persoalan ekonomi yang disebut sebagai salah satu alasan penundaan Pemilu 2024 tidak dapat diterima. Menurutnya, pemilu itu merupakan kegiatan yang bersifat reguler, setiap lima tahun sekali sesuai amanat konstitusi, sehingga anggaranya seharusnya sudah ditentukan sejak awal. Ia lantas membandingkan alasan ini dengan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Baru yang dilakukan dengan anggaran yang sangat besar.

Kemudian terkait alasan pandemi, ia lantas mempertanyakan mengapa pemerintah begitu ngotot ketika melaksanakan Pilkada serentak pada 2020. Padahal diketahui kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia sedang berada pada titik puncaknya.

“Jadi alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah itu adalah alasan-alasan yang tidak dapat diterima oleh rasionalitas masyarakat. Jadi artinya, masyarakat bisa membantahnya, kalau alasan ekonomi, kenapa pindah IKN bisa? padahal pemilu itu perintah konstitusi, sementara pindah IKN bukan perintah konstitusi,” ujarnya.

Susi menegaskan jika penundaan Pemilu 2024 dilakukan, maka itu merupakan tindakan pelanggaran konstitusi dan inkonstitusional. Hal itu, kata Susi, bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 22E Ayat 1, yang mengharuskan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Susi juga mengatakan ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip UUD 1945. Prinsip UUD 1945, kata Susi, mengenai prinsip negara kesatuan dan prinsip republik. Dalam prinsip republik artinya menempatkan rakyat sebagai penyelenggara negara. Kemudian penundaan pemilu akan memperpanjang masa jabatan, dengan demikian hal itu tidak sesuai dengan prinsip republik.

“Dalam prinsip republik, keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan negara dilakukan melalui Pemilu. Dan konstitusi mengatakan pemilu dilakukan dalam lima tahun sekali. Jadi ada beberapa prinsip yang dilanggar, prinsip republik, prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip konstitualisme,” paparnya.

Maka, Susi mengenaskan menolak penundaan Pemilu 2024 karena bertentangan dengan UUD 1945. Susi juga mengingatkan jangan sampai UUD 1945 diubah untuk mengakomodasi keinginan menunda Pemilu 2024. Menurutnya, perubahan UUD 1945 hanya dapat ditentukan oleh dua hal utama, yaitu mengenai materi muatan dan waktu perubahan.

“Perubahan UUD 1945 itu hanya dapat dilakukan kalau dalam situasi great and extraordinary occasions. Artinya, jadi ada kebutuhan yang sangat nyata dan sangat mendesak. Misalnya, apakah perubahan itu dilakukan dalam rangka mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik sesaat, ataukah perubahan itu dibutuhkan untuk masa depan,” jelasnya.

Jika wacana ini tetap nekat direalisasikan, Susi khawatir presiden akan dituduh sebagai pelanggar UUD 1945. Kalau presiden, lanjut Susi, kemudian dituduh melanggar UUD 1945, masyarakat akan beraksi dan demo secara besar-besaran. Menurutnya, pemerintah akan kehilangan legitimasi dan kondisi semakin menjadi buruk.

“Padahal kita sedang menghadapi pandemi, apakah tidak akan makin membuat lebih buruk situasi negara ini? Jadi menurut saya, mereka yang duduk di dalam kekuasaan tolonglah dengar pendapat rakyat, jangan mengutamakan pendapat atau keinginan sendiri, yang punya negara ini rakyat loh,” ungkapnya.

Susi juga mengutip pendapat Bung Hatta ketika kecewa pada kondisi politik 1950-1959, ketika segelintir orang menggunakan partai politik untuk mengakomodir kepentingannya. Susia berharap hal itu tidak terjadi di masa ini. Ia menegaskan bahwa negara didirikan untuk melindungi masyarakat, bukan penguasa.

“Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sangat mudah, maka hasilnya sudah dapat diduga yaitu demoralisasi. Jadi jangan sampai negara kita dicap sebagai negara yang dipimpin oleh koruptor dan penguasa-penguasa yang amoral, atau mengalami demoralisasi,” pungkasnya.

Sementara Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Al Ghifari, Deny Rismansyah mengatakan penundaan pemilu tidak serta merta dapat langsung dilakukan pemerintah. Terlebih apabila tidak memenuhi tiga aspek: filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Pada aspek filosofis, penundaan pemilu ini bertentangan dengan nilai dari konstitusi. Ia menjelaskan adanya konstitusi untuk membatasi seseorang berkuasa secara terus menerus. Konstitusi memberikan batasan-batasan kepada kekuasan agar tidak berubah menjadi otoriter.

“Mengapa dulu setelah pemerintahan oleh Raja, kemudian berubah, ada yang dimaksud sebagai pembatasan jabatan? Itu supaya mencegah seseorang berkuasa secara terus menerus dan berlaku otoriter. Indonesia pernah mengalami ini pada masa lalu. Pada saat Orde Baru di bawah kekuasaan Suharto,” kata Deny kepada BandungBergerak.id, Senin (7/3/2022).

Sementara pada aspek sosiologis, Deny mengatakan bahwa wacana ini harus dilihat datang dari keinginan dan kebutuhan masyarakat. Ia lantas mempertanyakan apakah wacana ini murni muncul dari masyarakat atau merupakan akal-akalan elit partai politik semata. Dengan demikian, jika hal ini tidak terpenuhi maka sulit terwujud karena akan mendapatkan penolakan dari masyarakat, seperti yang terjadi sekarang.

“Jika dilihat dari berbagai media, baik media sosial atau media mainstream. Secara khususnya bisa melalui survei, kelihatannya, banyak masyarakat yang tidak setuju dengan wacana ini. Hal ini yang dimaknai sebagai aspek sosiologis, mencerminkan bahwa sebagian masyarakat menolak penundaan pemilu,” paparnya.

Sementara pada aspek yuridis, perihal masa jabatan presiden sudah dibatasi oleh undang-undang. Hanya dua periode, lima tahun tiap periodenya. Wacana penundaan pemilu ini juga jadi kehilangan legal standing lantaran tidak adanya landasan hukum dalam wacana tersebut.

Deny menyarankan agar pemerintah tetap melaksanakan pemilu sesuai jadwal yang sudah ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab apabila tidak, kata Deny, pemerintah akan repot karena harus bisa menjelaskan perihal tiga aspek tersebut. Ia lantas mempertanyakan bagaimana pemerintah mampu menjelaskan filosofis, sosiologis, dan yuridis.

“Sehingga harus dijalankan pemilu,” pungkasnya.

Mahasiswa Menolak

Aktivis mahasiswa dari Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB), Ilyasa Ali Husni menyatakan penolakannya terhadap wacana penundaan Pemilu 2024. Menurutnya ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Alih-alih merupakan keinginan masyarakat, ia menduga ini merupakan bentuk keberpihakan terhadap segelintir kelompok yang mendominasi.

“Segala kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah hari ini adalah bentuk memberikan karpet merah kepada kelompok oligarki tersebut. Adanya perpanjangan pemilu itu adalah upaya untuk memperpanjang kekuasaan dan mempertahankan kepentingan kelompok itu,” kata Ilyas.

Ilyas menyesali mengenai keriuhan terkait wacana penundaan Pemilu 2024 ini. Ia menilai ini merupakan kegagalan pemerintah dalam memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat di tengah kondisi sulit akibat pandemi Covid-19. Jikalau, kata Ilyas, wacana ini memang muncul dari masyarakat seharusnya sudah tentu tidak akan menuai polemik.

“Masyarakat menanti solusi apa yang akan ditawarkan di kondisi sulit seperti ini bukan malah memberi kekhawatiran dengan adanya wacana yang tidak masuk akal,” ujarnya.

Ia mewanti-wanti pemerintah terkait dengan dampak yang akan dihadapi jika wacana ini tetap akan direalisasikan. Menurutnya, akan ada gelombang unjuk rasa yang besar karena telah mencederai nilai-nilai dari amanat reformasi.

“Ini akan menggerus kepercayaan publik dan upaya penyempitan ruang terhadap demokrasi. Pemerintah seharusnya fokus dengan apa yang menjadi tugas dan amanah yang telah diberikan,” tuturnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//