• HAM
  • Benalu Demokrasi itu Bernama Buzzer

Benalu Demokrasi itu Bernama Buzzer

Buzzer yang awalnya untuk memberikan pesan-pesan positif, sekarang digunakan untuk menyerang secara lawan-lawan politik, bahkan membungkam demokrasi.

Ilustrasi. (Safenet)

Penulis Delpedro Marhaen21 Desember 2021


BandungBergerak.idSerdadu dunia maya yang kerap disebut buzzer atau pendengung kian menjadi ancaman serius bagi situasi demokrasi yang tengah merosot di Indonesia. Editor sekaligus pendiri penerbit Ultimus, Bilven Rivaldo Gultom atau dikenal Bilven Sandalista melihat selama delapan tahun ke belakang buzzer laris manis digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik dalam kontestasi pemilihan umum.

“Di sini cikal bakal kerusakan demokrasi oleh buzzer. Jadi buzzer yang awalnya untuk memberikan pesan-pesan positif, sekarang digunakan untuk menyerang secara black campaign lawan-lawan politik dari juragannya,” ujar Bilven dalam diskusi di kanal Youtube Nalar TV, Minggu (19/12).

Bilven mengungkapkan buzzer kian sering menjadi bagian dari permainan politik untuk kepentingan jangka pendek. Pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012, misalnya, kedua kubu saling menggunakan buzzer untuk memoles citra jagoan masing-masing. Akibatnya, kata Bilven, eksistensi keberadaan buzzer yang menyebarkan ujaran kebencian, hoaks dan fitnah terus dipelihara dan tidak tersentuh hukum hingga saat ini.

Menurut Bilven, barisan buzzer tidak serta merta dibubarkan ketika kontestasi pemilihan umum selesai, buzzer terus diberikan panggung. Mereka tak hanya lagi menjadi agen propaganda hitam, kini buzzer bertugas memanipulasi opini publik untuk mendukung kebijakan pemerintah yang keliru. Buzzer juga siap menghajar balik siapa pun yang menentang kebijakan pemerintah.

“Beberapa orang yang menjadi buzzer mendapatkan imbalan jabatan atas kerjanya. Ini merupakan indikasi bahwa orang menjadi buzzer karena dalam praktiknya ada bagi-bagi kursi. Salah satu penyebab buzzer dipelihara untuk tujuan-tujuan selanjutnya, seperti mempertahankan kebijakan-kebijakan dari kritik masyarakat,” kata Bilven.

Bilven menilai buzzer dapat secara bebas mengusik, memfitnah dan menyerang kehidupan pribadi (doxing) siapa saja yang mengkritik pemerintah. Dengan demikian, percakapan publik yang kritis di dunia maya mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah kerap mendapatkan serangan digital dari jaringan buzzer ini. Penggunaan buzzer untuk menghantam balik kritik publik ini dinilai akan mempercepat pembusukan demokrasi sekaligus menjadi penanda kemunculan otoritarianisme.

“Penggunaan buzzer untuk membungkam kritik dengan menyerang kehidupan pribadi seseorang, termasuk melakukan pembiaran terhadap buzzer adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan negara. Teknologi digunakan untuk membungkam kritik publik,” ujar Bilven.

Menurut Bilven bila pasukan serdadu ini dibiarkan akan sangat berbahaya. Penggunaan buzzer untuk menghantam balik kritik publik secara tidak ilmiah akan membuat publik tidak mendapatkan edukasi politik jangka panjang. Ia menilai media sosial tidak akan menjadi wadah pencerahan bagi publik, melainkan menjadi tempat kemarahan dan kebencian.

Baca Juga: Mengikis Stigma dengan Meningkatkan Kapasitas Para Perempuan Penghayat
Pergeseran Posisi Perempuan Sunda dalam Bahasa dan Mitologi

Asal Muasal

Pada mulanya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk dan jasa tertentu. Namun, kata Bilven, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik, daya rusak serdadu dunia maya itu lebih besar, terutama ketika mereka menjadi agen propaganda hitam untuk meraih kekuasaan.

“Buzzer ini dianggap punya kekuatan mempengaruhi karena kemampuanya menjangkau dan mendistribusikan konten ke pengguna media sosial yang tadinya tidak terjangkau,” ujar Bilven.

Menurutnya, ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh kesamaan pandangan politik dan ideologi.

Hasil penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) membenarkan adanya penggunaan buzzer oleh pemerintah dan elite politik lainnya. Serdadu dunia maya ini dibayar untuk memanipulasi opini publik secara terorganisir. Mereka direkrut para koordinator untuk berkomplot dengan pembuat konten dan influencer di media sosial untuk menggarap isu-isu yang ditentang publik.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//