• Budaya
  • Pergeseran Posisi Perempuan Sunda dalam Bahasa dan Mitologi

Pergeseran Posisi Perempuan Sunda dalam Bahasa dan Mitologi

Di masa Sunda kuno, perempuan-perempuan Sunda menempati posisi-posisi utama di masyarakat. Di masa Orde Lama dan Orde Baru perempuan Sunda lebih di ranah domestik.

Para penari pada perhelatan Hari Tari Dunia di hutan Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (24/10/2021). Hampir 1.000-an penari dari 6 provinsi secara bergantian menari selama 6 jam menghibur para wisatawan dengan tema Pesta Rakyat Puntang Menari. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana20 November 2021


BandungBergerak.idPeneliti menangkap ada pergeseran peran perempuan Sunda di masa lalu dan masa kini. Perubahan ini terlihat dari penggunaan kata perempuan di majalah bahasa Sunda, Mangle.

Pada penelitian lain, perempuan Sunda dalam dunia mitologi digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuasaan tinggi. Bahkan menjadi dewa tertinggi di kahyangan dan sebagai pengambil kebiakan utama.

Penelitian perempuan Sunda dalam konstruksi bahasa dilakukan dosen Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Yuliawati. Ia memakai majalah Sunda yang terus bertahan hingga kini, yaitu Manglé, sebagai bahan utama penelitiannya. Majalah ini dianggap memiliki peran dalam mengonstruksi perempuan Sunda.

Susi meneliti penggunaan nomina yang melambangkan perempuan pada majalah Manglé periode 1958 hingga 2013.

“Kehadiran leksikon (kosakata) untuk melambangkan perempuan dalam bahasa Sunda mengindikasikan peran penting perempuan dalam masyarakat Sunda,” ungkap Susi pada Keurseus Budaya Sunda “Kalungguhan Wanoja Sunda” yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Bahasa Sunda Unpad secara virtual, Rabu (17/11/2021).

Menggunakan metode penelitian linguistik korpus, Susi mengkaji sampel majalah Manglé dari tahun 1958 hingga 2013. Ia membagi ke dalam empat periode utama, yaitu masa Demokrasi Terpimpin (1958-1965), masa Orde Baru (1966-1998), masa transisi menuju demokrasi (1999-2003), serta masa Reformasi (2004-2013).

Seluruh edisi yang terbit pada empat periode tersebut berjumlah sekira 2.000 edisi. Susi menggunakan teknik sampling untuk mengambil sejumlah edisi yang mewakili setiap periode. Total ada 92 sampel edisi yang dilakukan penelitian.

Dari seluruh sampel tersebut, Susi menemukan berbagai nomina pelambang perempuan yang digunakan dalam Manglé, yaitu awéwé, istri, mojang, parawan, wanoja, bébéné, wanita, pamajikan, geureuha, garwa, dan bojo.

Nomina-nomina tersebut kemudian disaring kembali menggunakan penghitungan statistik chi-square. Hasilnya, ada lima kata yang dianalisis lebih dalam oleh Susi, yaitu mojang, wanoja, wanita, geureuha, dan pamajikan.

Menurunnya Pemakaian Istilah Geureuhna

Susi meneliti kata mojang, wanoja, wanita, geureuha, dan pamajikan berdasarkan tren kemunculannya di setiap periode penerbitan majalah Manglé. Kendati lima kata ini konsisten digunakan dalam setiap periode, ternyata empat kata mengalami tren penurunan penggunaannya. Empat kata tersebut, yaitu pamajikan, geureuha, wanita, dan mojang.

Menurut Susi Yuliawati, kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang terjadi dalam konteks masyarakat Sunda maupun Indonesia memengaruhi perubahan tren penggunaan nomina perempuan.

Dari empat kata itu, istilah geureuha semakin langka digunakan, dari 156 di periode pertama hingga menjadi tiga di periode keempat. Istilah wanoja justru meningkat penggunaannya dalam setiap periode. Peningkatannya cukup signifikan, dari semula 13 di periode pertama menjadi 301 di periode keempat.

Susi menjelaskan, tren penggunaan wanoja yang meningkat sejalan dengan geliat perempuan Sunda di ranah publik, di mana usia perkawinan, tingkat pendidikan, hingga jumlah pekerja perempuan Sunda terus meningkat.

Hingga periode 1980-an, perempuan Sunda masih berkutat di ranah domestik. Angka usia perkawinan yang di bawah 20 tahun, hingga masih sedikitnya jumlah perempuan Sunda yang mengenyam pendidikan tinggi.

Baca Juga: Bencana di Mata 'Syekh Siti Jenar' Tony Broer P
Spirit Pagebluk dari Bandung Art Festival
Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran

Dari Mojang ke Wanoja

Dari tren tersebut, Susi menyimpulkan makna dari setiap kata berdasarkan penggunaannya dalam artikel beserta kata-kata pengiringnya. Kata geureuha pada Masa Demokrasi Terpimpin bermakna bahwa perempuan Sunda berperan sebagai istri yang fungsi utamanya sebagai pemenuh kebutuhan biologis laki-laki.

Sementara mojang awalnya merupakan konstruksi perempuan Sunda berdasarkan aspek tubuhnya (kecantikan). Namun pada periode ketiga, objektivikasi pada mojang perlahan menghilang dan berubah menjadi sebutan untuk perhelatan mojang-jajaka.

Kata pamajikan konsisten menampilkan sosok perempuan Sunda sebagai istri dengan peran tradisionalnya dalam keluarga. Sementara kata wanita mengalami ameliorasi. Dari semula bermakna obyek seksual, kemudian memiliki peran dalam kerangka keluarga dan negara, hingga peran setara dalam laki-laki tetapi tetap dalam ranah domestiknya.

Adapun kata wanoja dipandang Susi sebagai kata yang mampu menghadirkan perempuan Sunda ke ranah publik. Kata ini terus meningkat penggunaannya hingga periode Reformasi. Pada periode ini, kata wanoja menggambarkan perempuan Sunda dengan kepribadian mandiri dan punya kepentingan tersendiri di ranah publik.

“Jika empat kata lain memiliki pasangan istilahnya dengan laki-laki. Wanoja tidak punya pasangannya dalam laki-laki. Ini menunjukkan bahwa wanoja cenderung memperbincangkan perempuan sebagai diri sendiri, tidak terikat dengan laki-laki,” kata Susi.

Perempuan Sunda dalam Mitologi

Penelitian Susi Yuliawati menunjukkan pergeseran makna perempuan Sunda di dalam bahasa, yakni dari makna yang menegaskan peran tradisionalnya sebagai pendamping laki-laki, peran ini terutama dipengaruhi budaya patriarki di mana laki-laki lebih menguasai perempuan, hingga berubah menjadi perempuan mandiri (wanoja).

Jika diengok lebih dalam lagi ke dunia mitologi, diketahui bahwa masyarakat sunda kuno pernah menjalankan sistem matriarki yang merupakan kebalikan dari sistem patriarki. Keterangan ini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan Istianah dari Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Cipasung Tasikmalaya, dalam jurnal Peran dan Kedudukan Perempuan di Kampung Geger Hanjuang Leuwisari Tasikmalaya.

Istianah meneliti peran dan kedudukan perempuan di Kampung Geger Hanjuang, kampung di mana pada masa lalu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Galunggung yang dipimpin oleh seorang seorang pemimpin perempuan bergelar Sang Bhatary Hyang.

Selain itu, Istianah juga mengulas perempuan dalam mitologi Sunda, salah satunya berdasarkan sastra lisan Lutung Kasarung yang sangat populer di kalangan masyarakat Sunda. Banyak wanita dalam cerita Lutung Kasarung yang menempati tokoh atau figur utama. Di kisah Lutung Kasarung terdapat tokoh wanita Sunan Ambu.

Sunan Ambu menurut Ajip Rosyidi, terang Istianah, merupakan tokoh tertinggi dalam kosmos orang Sunda. Sunan Ambu sebagai pemimpin para dewa di kahyangan dan menjadi decision maker jika ada masalah apa pun yang muncul di dalam kehidupan manusia di bumi. Sunan Ambu memerintah empat pujangga sakti laki-laki, juga para pohaci yang suci.

“Sunan Ambu adalah sosok perempuan gaib penguasa khayangan dalam kepercayaan Sunda buhun. Namun peranannya lebih dari itu, karena sosoknya juga dianggap sebagai "ibu" dari kebudayaan Sunda,” terang Istianah.

Arti Sunan Ambu sendiri di dalam Bahasa Indonesia sebagai "Ratu Ibu" atau "Dewi Ibu", yang di dalam mitologi masyarakat Sunda bermakna sebagai "ibu" yang merawat tanah air serta lingkungan hidup yang harus dimuliakan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//