• Cerita
  • Geliat Zine dari Masa ke Masa dan Relevansinya Hari Ini

Geliat Zine dari Masa ke Masa dan Relevansinya Hari Ini

Di Bandung, zine akrab hadir di berbagai titik penggusuran warga. Digitalisasi menjadi peluang baru untuk mengawetkan eksistensinya.

Sampul zine yang diunggah di akun Instagram Screaming at World. Lewat kerja digitalisasi, zine hari ini bisa lebih mudah diakses oleh warga. (Sumber foto: akun Instagram Screaming at World)

Penulis Reza Khoerul Iman9 Maret 2022


BandungBergerak.id – Geliat zine di beberapa kota besar di Indonesia, khususnya di Kota Bandung, tidak pernah benar-benar padam. Penerbitan zine, baik secara konvensional maupun secara digital, kembali marak dalam beberapa tahun belakangan, selain aktivitas-aktivitas yang bersangkutan dengan media alternatif ini.

Zine, dari dulu hingga sekarang, terbukti masih dipercaya sebagai media alternatif yang diterbitkan secara mandiri. Kemajuan teknologi informasi tidak lantas menumpasnya. Di Bandung, misalnya, zine akrab ditemukan di titik-titik penggusuran warga dalam beberapa tahun belakangan, mulai dari Tamansari, Dago Elos, hingga Anyer Dalam.  

“Zine masih relevan hingga hari ini. Seperti jika ada penggusuran, maka zine menjadi medium untuk menginformasikan itu. Sampai kapan pun zine ini akan relevan. Cuman mediumnya aja yang akan berubah,” tutur Deden Erwin, pegiat zine dari Bandung dalam diskusi daring “Zine di Indonesia Dulu dan Sekarang”, pada Selasa, (08/03/2022).

Selain Deden, diskusi yang dimoderatori oleh Juli Sastrawan ini menghadirkan juga Elys,pegiat zine dan kolase dari Kalimantan.

Salah satu indikator adalahterus bermunculannya komunitas dan pegiat zine. Di Bandung, masih ada beberapa zine hardcore, punk, Screaming at Word, Pena Hitam, dan yang lainnya. Meskipun jumlahnya masih bisa dihitung jari, para pegiatnya yakin keberadaan zine tidak akan menjadi kuno.

Deden sendiri terlibat aktif dalam kerja pengarsipan zine. Mulai tahun 2022 ini, ia bersama Mata-Mata Distribution mendigitalisasi zine-zine yang belum memiliki bentuk digitalnya. Harapannya, orang menjadi lebih mudah mengakses zine, di mana pun dan kapan pun.

Baca Juga: Mendengarkan Suara Anak dan Perempuan Korban Penggusuran Jalan Anyer Dalam
Eva Eryani di Tamansari: Masih Satu, Masih Melawan
Pameran Foto Kisah Senyap, dari Penggusuran Tamansari hingga Kerusakan Sungai di Papua

Poster gigs yang ditampilkan di akun Instagram Dinding Ini Milik Kami. Masa keemasan zine di Bandung berlangsung dalam kurun 2005-2010. (Sumber foto: akun Instagram Dinding Ini Milik Kami)
Poster gigs yang ditampilkan di akun Instagram Dinding Ini Milik Kami. Masa keemasan zine di Bandung berlangsung dalam kurun 2005-2010. (Sumber foto: akun Instagram Dinding Ini Milik Kami)

Geliat Zine dari Masa ke Masa

Juli Sastrawan menyatakan, awal mula terbitnya zine di Indonesia tidak sepenuhnya produk impor dari Barat. Catatan sejarah dan beberapa kajian tentang zine menyatakan, pada 1982 komunitas gay di Indonesia sudah menginisiasi penerbitan buletin bernama "G: Gaya Hidup Ceria", sebagai media berbagi informasi, aktualisasi diri, bahkan dijadikan sebagai media mencari jodoh. Walau tidak berlangsung lama, diyakini inilah aktvitas zine pertama kali di Indonesia.

“Baru pada ahun 90-an, terutama pascareformasi, di mana kebebasan menggebu-gebu sehingga zine tumbuh subur di komunitas punk dan hardcore. Pada saat itu zine tidak hanya digunakan untuk pembahasan politik atau gagasan mereka, tetapi juga digunakan sebagai perantara mereka untuk lebih berpikir kritis terhadap komunitas mereka,” tutur Juli.

Deden Erwin merupakan salah satu orang yang merasakan perubahan kentara dan perkembangan aktifitas zine dari masa ke masa, khususnya di Bandung. Riwayat Deden dalam aktivitas zine berawal dari tongkrongan yang membawanya sering membeli zine di GOR Saparua ketika ada acara. Pernah menjadi distributor zine, ia akhirnya dapat membuat zine sendiri.

“Dulu yang jadi incaran saya waktu masuk ke Saparua bukan CD atau kaos, tapi lapakan yang ada zine. Mungkin juga karena harganya murah, ya. Nah, awalnya saya hanya menjadi penikmat zine saja, tapi pada akhirnya saya menjadi pelapak zine dan pembuat zinenya sendiri,” tutur Deden.

Kurang lebih selama 20 tahun berkecimpung di dalam aktivitas yang bersangkutan dengan zine, Deden mengaku merasakan perubahan yang cukup kentara, salah satunya dari isu yang diangkat. Zine pada angkatan awal lebih banyyak mengangkat isu yang lebih tradisional, sementara pada pertengahan tahun 2000-an isu yang diangkat lebih melebar dan liar.

“Tahun 2000-an isu-isu yang dibahas sudah mulai melebar, seperti sex issue, dan banyak wacana yang menginformasikan sesuatu,” ungkap Deden.

Baru kemudian pada generasi belakangan, orang-orang yang aktif di dalam aktivitas zine sudah menemukan pola dan kesenangannya tersendiri, seperti hal yang jorok atau hal yang tidak umum dibahas. Pada periode tersebut, mereka sudah dapat mengeksplorasi pembahasan yang lebih luas.

Deden menyebut, masa keemasan zine di Kota Bandung terjadi di kurun 2005-2010. Beberapa nama yang bisa disebut di antaranya Aldiman, Gendut, dan Bowo. Maraknya aktivitas zine bermuara pada penyelenggaraan Bandung Zine Fest 2012.

“Di periode itu adalah masa keemasannya, soalnya setiap bulannya selalu muncul zine-zine baru. Orang-orang saling memesan satu sama lain, bahkan saling menreview zine satu sama lain,” ucap Deden.

Sementara itu, Elys merasa perubahan yang kentara terhadap zine terjadi karena pengaruh pengalaman, referensi dan perkembangan zaman. Ia merasa saat ini lebih mudah mengakses zine. Untuk mendapatkan zine yang diproduksi di Kalimantan, orang tidak perlu bersusah payah menemui pembuat untuk membeli atau memfotokopinya.

“Sekarang distribusi zinenya sudah lebih mudah karena udah banyak kesempatan kita untuk upload digital. Sekarang kalau dapatin zine gak sesulit dulu yang harus kirim paket. Arsip.org juga membuat akses zine jadi lebih gampang, bahkan terakhir aku nemu zine di NFT,” tutur Elys.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//