Di Ujung Ramadan, Pendiri Pondok Pesantren Margasari Cijawura Wafat
Pondok Pesantren Margasari Cijawura pernah menjadi tembat berkumpulnya laskar hisbullah sehingga diserang Belanda.
Penulis Iman Herdiana30 April 2022
BandungBergerak.id - Ramadan menjadi bulan yang penuh catatan sejarah bagi Pondok Pesantren Margasari Cijawura, Kelurahan Margasari, Kecamatan Buah Batu, Kota Bandung. Pada bulan Ramadan, pondok pesantren ini pernah diserang Belanda dan di bulan ini pula sang pendiri pesantren, KH. R.M. Burhan, wafat.
Dalam buku “Sejarah Perkembangan Islam” yang ditulis tim yang dipimpin Nina H Lubis disebutkan, Burhan lahir di Keresek Garut tahun 1901. Ia merupakan cucu pendiri Pesantren Keresek. Burhan kecil mulai belajar agama di Keresek.
Selanjutnya, Burhan berguru ke sejumlah pesantren, seperti Pesantren Fauzan di Cisurupan, mondok di Pesantren Sukamiskin yang diasuh KH. R. Dimyati yang disebut ajengan Gedong, berguru di Pesantren Gentur, Cijerah, pada ke K.H. Syatibi, dan ke pesantren di Purwakarta di bawah asuhan KH. Tubagus Bakri yang berasal dari Pandeglang yang masyhur dengan sebutan Mama Sempur.
“Sewaktu nyantri di Sukamiskin, ia seangkatan dengan K.H. R. Sudja’i dan K. H. Syatibi (Imam Besar Mesjid Agung Sumedang). Pada waktu itu, ia dipercaya sebagai wakil ajengan,” demikian menurut buku yang ditulis Nina H Lubis dkk.
Atas perintah Ahmad Dimyati dan permintaan dari Abah Abdusysyukur, Burhan mengajar di Cijawura. Abah Syukur merupakan tokoh yang disegani oleh masyarakat Cijawura. Dua tahun setelah mengajar di Cijawura, Burhan dinikahkan dengan putri Abah Syukur, Kultsum.
Menurut Zul Anwar Ajim Harahap, dari pengaruh mertuanya itulah Burhan menjadi ulama yang nasionalis. Sebab sang mertua merupakan loyalis Sukarno.
“Mertuanya, KH. Abdusysyukur dikenal sebagai seorang yang mendukung gagasan Bung Karno. Pengaruh dari mertuanya inilah yang membuat Burhan muda memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi,” tulis Zul Anwar Ajim Harahap, dikutip dari padangsidimpuan.ac.id, Jumat (22/4/2022).
Sekitar tahun 1930, Burhan bersama Abdusysyukur mendirikan pesantren di Cijawura yang sekarang dikenal Pondok Pesantren Margasari Cijawura. Pesantren ini membimbing anak serta masyarakat sekitar ke jalan agama.
“Dalam menjalankan dakwahnya, Apa Eyang berusaha untuk memahami bagaimana kondisi masyarakat Cijawura yang pada saat itu masih sangat minim dalam menguasai agama Islam sehingga beliau melakukan dakwah di Cijawura dengan cara perilaku dan perbuatan yang dapat dilihat dan dicontoh oleh masyarakat awam,” ungkap Latipatunnissa, dikutip dari jabar.nu.or.id.
Apa Eyang merupakan sebutan para santri kepada kiai Burhan. Latipatunnissa mengatakan, Apa Eyang menghasilkan beberapa karya, di antaranya Kitab Al-Qowa’id Al-Nahwiah, Kitab Jubad, dan Kitab Al-Bidayat Al-Hidayat.
Baca Juga: RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #1: Menjahit Harapan di Pinggiran Kosambi
RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #2: Dengan Bedug dan Gamelan Sunda, Ajang Merentang Harapan
Digempur Belanda
Pesantren Cijawura pernah digempur Belanda di zaman revolusi pada 1947. Nina H Lubis menyatakan gempuran itu tepat terjadi pada hari Jumat bulan Ramadan. “Penggempuran tersebut dilatari keberadaan Lasykar Rakyat dan Hizbullah di sana. Pada peristiwa tersebut pihak Lasykar Rakyat dan Hizbullah gugur 56 orang,” (Nina Lubis dkk).
Menurut Muhammad Abid Muaffan, pada masa kemerdekaan Pondok Pesantren Margasari Cijawura pernah menjadi basis markas pertahanan Hizbullah, tentara rakyat santri yang dibentuk dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada perbedaan jumlah korban dalam serangan Belanda ke Pondok Pesantren Margasari Cijawura. Muhammad Abid Muaffan mencatat jumlah laskar yang gugur sebanyak 200 orang, sementara Nina H Lubis mencatat jumlah gugur 56 orang. Para korban kemudian dimakamkan di sekitar Masjid Cijawura Margasari, selanjutnya dialihkan ke Taman Makam Pahlawan, Cikutra, Bandung.
Aktivis NU
Aktivitas Burhan selain dalam bidang pendidikan dan dakwah, juga dipercaya sebagai Rois Syuriah PC NU Kabupaten Bandung (1975-1985) dan Rois Mustasyar PW NU Jawa Barat (1985-1991). Tahun 1950-an, ia diangkat sebagai salah seorang penasehat pada Lembaga Kesejahteraan Umat (LKU) dan saat pembentukan MUI Jawa Barat (1958), ia dipercaya sebagai Bendahara II.
Menurut Muhammad Abid Muaffan, menjelang kelahiran Majelis Ulama Jawa Barat, Burhan aktif mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh ulama. Dalam pandangannya, majelis ulama hendaknya menjadi wadah pembinaan dan pendalaman agama bagi masyarakat luas.
Kiai Burhan wafat pada penghujung Ramadan, tepatnya 27 Ramadhan 1412 H atau tahun 1991. Dalam kalender penanggalan Islam, 1 Ramadan 1412 H jatuh pada 17 Maret 1991, sehingga 27 Ramadan atau hari wafatnya Kiai Burhan jatuh pada 12 April 1991.