Catatan Akhir Tahun AJI: Kebebasan Pers dalam Kabut Kekerasan dan Kriminalisasi
Dari 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2021, hanya satu kasus yang sampai ke pengadilan.
Penulis Emi La Palau29 Desember 2021
BandungBergerak.id - Iklim kebebasan pers di Indonesia masih jauh panggang dari api. Catatan Akhir Tahun (Catahu) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan, sepanjang 2021 terdapat 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dari jumlah itu, hanya satu kasus yang sampai ke pengadilan. Pelaku didominasi aparatur negara.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim mengatakan satu perkara yang berhasil dibawa ke meja hijau tersebut, yakni kasus yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi. Minimnya persidangan kasus kekerasan terhadap jurnalis menandakan bahwa impunitas atau kekebalan hukum terhadap pelaku kekerasan masih langgeng.
Bahkan regulasi turut melanggengkan praktik ketidakbebasan pers melalui pasal-pasal karet UU ITE yang banyak dipakai pelaku untuk menjerat jurnalis. Data Dewan Pers menyebutkan, ada 44 perkara yang dikoordinasikan pihak kepolisian dengan Dewan Pers terkait UU ITE ini.
“UU ITE memberi ancaman sangat besar kepada teman-teman jurnalis maupun perusahan media sepanjang 2021,” kata Sasmito Madrim, dalam konferensi pers Catahu AJI Indonesia, Rabu (29/12/2021).
AJI juga menyoroti tren kekerasan yang baru berupa pelabelan haoks terhadap berita-berita yang terkonfirmasi sebagai karya jurnalistik. Lebih jauh, AJI melihat ada upaya yang dilakukan oleh negara melalui aparat-aparatnya untuk mengontrol informasi, kritik, yang dilakukan oleh media.
Pelaku Kekerasan Didominasi Aparat Negara
Kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2021 terdiri dari beragam bentuk. Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen, Erick Tanjung merinci, dari 43 kasus yang dihimpun AJI, ada 9 kasus teror dan intimidasi, 7 kasus kekersan fisik, 7 kasus pelanggaran peliputan, 7 kasus ancaman, 5 kasus serangan digital, 4 kasus penuntutan hukum, 3 kasus penghapusan hasil liputan, dan 1 kasus penahanan.
Dari 43 kasus tersebut, Erick mencatat bahwa aparat kepolisian yang paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis, yakni 12 kasus; disusul kasus orang tak dikenal atau suruhan sebanyak 10 kasus. Ada 8 kasus yang dilakukan aparat pemerintahan; 4 kasus oleh kalangan swasta; 4 kasus oleh warga sipil; dan oleh institusi lainnya.
“Artinya polisi masih menjadi pihak yang paling banyak melakukan kekerasan, dan ini berturut-turut selama empat tahun terakhir,” ungkap Erick.
Kasus-kasus itu tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Paling banyak terjadi di Sumatra Utara (5 kasus); menyusul di Lampung (4 kasus), DKI Jakarta (4 kasus), Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur masing-masing 3 kasus, sementara Maluku 2 kasus. Sisanya, ada dua kasus Jambi dan Papua, selebihnya satu kasus di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jabar, Banten, DI Yogyakarta, Papua Barat, Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepupauan Riau.
Baca Juga: AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM
Kasus yang Menimpa Nurhadi
Salah satu kasus paling menjadi sorotan AJI sepanjang tahun 2021 adalah kekerasan yang menimpa jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi, yang terjadi pada 27 Maret 2021. Dalam pantaun AJI, pelaku penganiyaan seharusnya sebanyak 12 pelaku, namun baru dua orang yang diproses secara hukum, dan keduanya tercatat sebagai polisi aktif.
“Kami terus mengawal agar tidak hanya dua polisi aktif ini saja, tapi juga pelaku lain termasuk aktor yang menyuruh pelaku lain melakukan penganiayan itu,” ungkap Erick Tanjung.
Selain kasus Nurhadi, kekerasan bentuk lain terjadi pada jurnalis di Papua, salah satunya Vitor Mambor, pendiri Tabloid Jubi. Victor mengalami beragam teror oleh orang tak dikenal, mulai dari penyebaran data pribadi (doxing), mobilnya dicoret-coret, dan kaca mobilnya dirusak. Kejadian ini berdekatan dengan pemberitaan yang dilakukan oleh Jubi.
Jurnalis dari Papua lainnya, Lucky Ireeuw, Pemred Cendrawasih Pos, mengalami teror perusakan mobil pada 7 Agustus 2021; dan Maikel Djasman, jurnalis TVRI Papua Barat, rumahnya ditembak oleh orang tak dikenal pada 16 Oktober 2021.
Pelabelan Hoaks
Pelabelan hoaks pada karya jurnalistik menjadi pola baru terkait dengan upaya membungkam kebebasan pers. Erick mengatakan, beberapa media yang menjadi korban labeling ini ialah Kompas, Republika.co.id, dan Project Multatuli.
“Semua laporan berita ini kredibel, lalu secara serampangan aparat kepolisian dengan akun resmi memberikan stempel hoaks. Ini merupakan tindakan melanggar kebebasan pers,” ungkap Erick.
Ada pula kasus memata-matai terhadap para jurnalis yang tergabung dalam IndonesiaLeaks, terdiri dari gabungan jurnalis berbagai media, seperti Suara.com, Tempo, Jaring, Tirto.id, Independen.id, KBR, The Gecko Project. Mereka melakukan investigasi terhadap Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Di lapangan, beberapa jurnalis mengalami penguntitan, ada juga yang mendapat teror dan intimidasi.
Kriminalisasi dengan UU ITE
Pasal-pasal karet dalam UU ITE banyak dipakai menjerat jurnalis sepanjang 2021. Di antaranya, Muhamamad Asrul yang dijerat pasal pencemaran nama baik karena berita yang ditulisnya. Padahal Dewan Pers telah menyatakan bahwa Asrul adalah jurnalis dan beritanya merupakan produk jurnalis, sehingga tidak bisa dikenakan UU ITE. Tetapi majelis hakim mengabaikan pandangan Dewan Pers, dan tetap memvonis Asrul 3 bulan penjara.
Kasus kriminalisasi lainnya menimpa Mohamad Sadli Saleh, jurnalis media lokal di Kabupaten Buton, Sulawesi Utara yang dikenai pasal berlapis pasal 45 ayat 2 juncto 28 ayat 2, pasal 45 ayat 3 jo pasasl 27 ayat 3 UU ITE. Ada pula jurnalis banjarhits.id/kumparan.com, Diananta Putra Sumedi, divonis penjara karena dianggap bersalah dengan pasal 28 UU ITE.
Kasus serupa menimpa jurnalis di Bangka Belitung terkait pemberitaan pertambangan yang diduga melibatkan petinggi negara; serta tiga media lokal di Gorontalo yang dilaporkan dengan UU ITE oleh Kepala Dinas Kominfo Provinsi Gorontalo. Satu kasus lagi menimpa jurnalis di Medan.
“Ini menjadi catatan sekaligus kekhawatiran kita ke depan dengan tiga kasus jurnalis yang divonis bersalah karena berita dangan pasal karet UU ITE,” kata Erick.
Kesejahteraan Jurnalis
Ketika di lapangan mendapat ancaman hingga teror fisik, para jurnalis masih menghadapi persoalan klasik, yakni masalah kesejahteraan dari perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini diperparah dengan terjadinya pandemi Covid-19 sepanjang 2021. Dalam catatan AJI, banyak jurnalis yang terpapar pandemi. Namun, perusahan media belum mampu menjamin dan bertanggung jawab atas pekerja mereka yang sakit.
Kondisi itu diperburuk dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang juga tidak berpihak pada buruh media. Banyak dari pekerja pers yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan dirumahkan dengan uang pesangon yang sangat minim.
“Celakanya lagi ketika pandemi, UU Cipta Kerja mulai berlaku. Jadi dampaknya cukup banyak dirasakan oleh teman-teman jurnalis dan pekerja media. (UU Ciptaker) jauh dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan, dan (UU Ciptaker) dari sisi praktik PHK lebih mudah,” papar Erick.
Tak hanya itu, AJI kemudian menysoroti profesionalisme jurnalis. Contohnya, selama pandemi ada media yang melakukan pemberitaan tentang Covid-19 yang justru menimbulkan ketakutan. Ini kontraproduktif dengan program pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Catatan lainnya, AJI menekankan pentingnya menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Rekomendasi AJI
Di akhir Catahunya, AJI menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dan aparaturnya, Dewan Pers, perusahan media, organisasi jurnalis, dan jurnalis:
1. AJI mendesak Pesiden Joko Widodo dan Kapolri untuk melakukan reformasi di tubuh Polri. Sebab personel Polisi selalu menjadi aktor dominan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis hampir setiap tahunnya, termasuk di tahun 2021. Reformasi ini diperlukan agar menjadikan kepolisian lebih profesianal, tidak melakukan kekerasan, dan memproses seluruh kasus kekerasan terhadap jurnalis yang mangkrak d kepolisian;
2. AJI mendesak pemerintah dan DPR menghapus pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers, seperti pasal karet di dalam UU ITE. Di samping itu, pemerintah dan DPR wajib mendengarkan aspirasi masyarakat, agar pembahasan RUU ITE lebih transparan;
3. Dewan Pers perlu memperkuat nota kesepahaman dengan lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Polri, kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Sebab, AJI mencatat, produk jurnalis yang sudah dinyatakan Dewan Pers sebagai karya jurnalistik tetap diproses pidana, bahkan beberapa di antaranya divonis bersalah oleh pegadilan.
4. Pemerintah dan DPR agar membatalakan UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, sesuai dengan keputusan MK.
5. Kementrian Ketenagakerjaan perlu meningkatkan pengawasan terhadap perusahan media untuk memastikan hak-hak nojrmatif pekerja media terpenuhi;
6. AJI mengingatkan tentang pedoman penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh Dewan Pers yang menyebut bahwa perusahaan media menjadi pihak pertama yang harus memberikan perlindungan terhdap jurnalis dan keluarganya, termasuk bertanggung jawab terhadap biaya pengobatan, evakuasi korban, dan pendampingan hukum;
7. Kepada jurnalis dan juga pekerja media, AJI menyerukan untuk membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja baik di perusahaan maupun lintas perusahaan untuk memperjuangkan haknya;
8. Perusahaan media, organisasi pers, dan Dewan Pers harus membuat lebih banyak pendidikan-pendidikan bagi jurnalis, untuk peningkatan profesionalisme dan pemahaman tentang etika jurnalistik;
9. Narasumber maupun masyarakat direkomendasikan agar menghormati kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.