• Foto
  • Menghitung Hari di Rusunawa Rancacili

Menghitung Hari di Rusunawa Rancacili

Keluarga Lala, dengan tiga anak mereka, diminta segera angkat kaki dari rusunawa Rancacili. Pendapatan tak menentu, tempat tinggal berikutnya belum terbayang.

Fotografer Prima Mulia30 April 2022

BandungBergerak.id - Ega tersenyum dari balik kaca kusam jendela Blok 1 Silinder rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Rancacili, Kota Bandung. Bocah kelas 6 Sekolah Dasar (SD) itu lalu berjalan ke pintu depan bersama sang adik, Meisya (8 tahun).

"Di sini sepi, kita nggak main sama anak-anak tetangga. Di lantai atas cuma sedikit yang tinggal," ujar Ega, Rabu (26/4/2022).

Ega dan Meisya tinggal bersama kakaknya, Sefti (15 tahun), dan kedua orangtua mereka, pasangan Lala Halimah (44 tahun) dan Agus Martin (44 tahun), di satu unit kamar rusunawa yang memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, serta satu ruangan untuk dapur merangkap ruang keluarga sekaligus tempat menerima tamu.

Sudah lebih dari setahun keluarga Lala tinggal di rusun yang menjulang setinggi delapan lantai. Mereka menjadi bagian dari warga terdampak penggusuran permukiman di bantaran Sungai Cibodas, Antapani Kidul, awal tahun 2021 lalu, sebagai bagian dari proyek revitalisasi sungai DAS Citarum yang digulirkan pemerintah. Sekitar 90 kepala keluarga (KK) direlokasi ke Rusunawa Rancacili dan tinggal di sana selama enam bulan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Rusunawa Cingised.

Saat ini tersisa dua keluarga korban penggusuran Cibodas yang terpaksa masih tinggal di rusunawa Rancacili, yakni keluarga Lala dan keluarga Imas Sumiati. Mereka cemas karena sudah berulang kali pihak pengelola rusunawa meminta kedua keluarga itu pindah dengan alasan masa pakainya sudah habis. Pekan lalu para petugas TNI Satgas Citarum Harum datang ke rusunawa. Keluarga Lala dan Imas diminta angkat kaki paling lambat dua pekan setelah Lebaran.

"Anak saya trauma kalau lihat tentara datang, soalnya dulu pembongkaran kampung kami juga melibatkan tentara. Kini terjadi lagi. Intinya kami tidak melawan pemerintah, tapi tolong permohonan kami pindah ke Cingised bisa diakomodasi. Surat-surat permohonan dan persyaratannya sudah masuk, tinggal tunggu panggilan, lalu kami akan pindah," tutur Lala.

Betul bahwa keluarga Lala dan Imas sudah mendaftarkan diri untuk bisa tinggal di rusunawa Cingised, namun dalam versi pemerintah, mereka baru melakukannya belakangan sehingga dimasukkan ke daftar tinggu. Berbeda nasib dengan puluhan keluarga lain yang terdampak proyek yang sama.

"Bukan tak mau pindah, tapi kami tidak punya tempat (tinggal) lain lagi. Untuk ngontrak, uang dari mana? Untuk makan sehari-hari saja sudah sulit,” kata Lala.

Beban Berlipat-lipat

Masih di bulan Ramadan, hampir sepekan sebelum hari raya Idul Fitri tiba, suhu udara Bandung panas menyengat wajah. Meisya terlihat asyik dengan buku gambar dan menyelesaikan tugas sekolah yang belum beres, sementara Ega dan Sefti diam di kamar tidur. Kamar tidur itu biasanya digunakan oleh anak-anak saja karena Lala dan suaminya memilih tidur di ruang serbaguna.

"Saya sudah tak bisa kerja karena sakit-sakitan sejak pindah ke sini," kata Lalal sambil mengambil kotak obat-obatan. "(Saya) Tidak bisa puasa karena obatnya tak boleh putus."

Agus, suami Lala, menyambung hidup sebagai pekerja serabutan. Apa saja dilakoni untuk menyambung hidup keluarga. Mulai dari tukang parkir sampai pekerja bangunan. Jika beruntung, ia bisa membawa pulang uang Rp 40.000. Jika pekerjaan sepi, paling hanya 20 ribu rupiah dperoleh. Uang sejumlah itu harus dicukup-cukupkan untuk makan satu keluarga.

"Kadang untuk bayar sewa rumah susun saja sulit sekali. Saya inginnya bisa berdagang untuk bantu penghasilan, tapi modalnya dari mana? Apalagi selama masa pandemi ini semuanya jadi serba sulit," kata Lala.

Beban yang dipikul keluarga ini bakal makin berlipat-lipat beratnya menjelang tahun ajaran baru nanti dimulai. Lulus dari SD, Ega harus bisa masuk SMP negeri agar biaya sekolah tidak membengkak. Jika tidak lolos ke sekolah negeri, dia terancam tak dapat melanjutkan pendidikannya. Sefti, yang baru lulus dari SMP, juga masih harus memikirkan apakah mampu melanjutkan ke jenjang SMA atau tidak.

Si bungsu Meisya saat ini duduk di kelas 2 SD. Selama beberapa waktu dia sempat tak bisa pergi ke sekolah karena tak ada ongkos. Bocah cilik ini bahkan pernah terkena tifus di bulan-bulan awal kepindahan ke rusunawa Rancacili. Sekolahnya di Antapani jauh sekali jaraknya dari rusunawa. Bersama ibunya, setiap hari Meisya berangkat jam 5 pagi berjalan kaki ke sekolah. Asupan gizi yang tak mencukupi, ditambah kelelahan yang menumpuk, akhirnya membuat sang bocah jatuh sakit.

Di kompleks rusunawa Rancacili, di waktu yang sama ketika keluarga Lala dan keluarga Imas menghadapi pengusiran, tampak jelas masih banyak jumlah unit kamar yang kosong, belum berpenghuni. Juga terdapat blok rusun yang terbengkalai tanpa ada tanda-tanda bakal dituntaskan. Betapa ironisnya!

Andai ada perencanaan yang lebih baik, dengan disertai niat kuat memberikan layanan optimal bagi warga, nestapa keluarga Lala dan keluarga Imas, juga keluarga-keluarga korban penggusuran lainnya, bisa dihindarkan. Tidak akan ada rusun yang pembangunannya mangkrak karena ia mestinya jadi prioritas. Ingat, ada puluhan ribu warga kelas menengah ke bawah di Bandung yang tercatat secara resmi membutuhkan tempat tinggal.

Tak salah jika pemerintah ingin bersolek mewujudkan kota tanpa kawasan kumuh. Namun tak elok jika program itu berimbas pada pengabaian nasib warga kotanya sendiri. Memindahkan warga korban penggusuran ke tempat relokasi atau ke rusun singgah sementara tidak lantas menyelesaikan semua masalah.

Foto dan teks: Prima Mulia 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//