• Berita
  • Kebebasan Pers, Sudah Jatuh Ditimpa RKUHP

Kebebasan Pers, Sudah Jatuh Ditimpa RKUHP

Tidak semestinya pers diatur oleh RKUHP, apalagi dipidanakan. Sebab secara konstitusional pers dilindungi oleh negara melalui Undang Undang Pers No. 40 tahun 1999.

Diskusi publik bertajuk Hilangnya Kebebasan Berekspresi di Tengah Politik Anti Kritik yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, di Aula Suradireja, Bandung, Kamis (8/9/2022). (Sherani Soraya Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri10 September 2022


BandungBergerak.idWajah Indonesia dewasa ini dihadapkan pada rancangan kebijakan hukum yang mengancam ruang berpendapat di muka umum, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal tersebut disinyalir akan berdampak terhadap kemerdekaan pers sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia, yang bertanggung jawab besar untuk mengawal jalannya pemerintahan yang berkuasa.

Tri Joko Her Riadi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menyatakan di dalam RKUHP terdapat sejumlah pasal yang menjadi ancaman bagi kebebasan pers dengan adanya delik aduan pidana terhadap kinerja pers atau kerja-kerja jurnalistik.

Joko menegaskan, tidak semestinya pers dipidanakan, terlebih secara konstitusional dilindungi oleh negara melalui Undang Undang Pers No. 40 tahun 1999.

“Karena itu semua produk jurnalistik tidak boleh dipidanakan,” tuturnya, dalam diskusi publik bertajuk “Hilangnya Kebebasan Berekspresi di Tengah Politik Anti Kritik” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, di Aula Suradireja, Bandung, Kamis (8/9/2022).

Kalaupun terjadi permasalahan terkait keberatan terhadap pemberitaan oleh pers, ada beberapa mekanisme yang bisa ditempuh. Mulai dari mekanisme yang ada di media terkait, mediasi dengan Dewan Pers melalui skema yang telah ditetapkan, seperti dengan memberikan hak jawab, hak revisi, dan lainnya.

Namun kini mekanisme tersebut bisa hancur dengan adanya RKUHP yang mengatur urusan pers. Bahkan sebelum muncul RKUHP, kebebasan pers tanah air juga telah terancam karena adanya UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).

UU ITE memiliki pasal pencemaran nama baik yang banyak menjerat pers dan aktivis yang kritis. Maka RKUHP dan UU ITE menempatkan mereka pada posisi yang semakin rentan mengalami kriminalisasi.

Selain menyasar pers dan aktivis, pasal pencemaran nama baik sendiri lebih banyak menyasar rakyat jelata. Bukan pejabat atau pemegang kekuasaan.

“Kita nggak akan pernah menemukan kasus pencemaran nama baik itu, lalu para tersangkanya itu adalah para pejabat elit, itu pasti akan dipakai kepada orang bawah,” tambah Joko.

Kekerasan terhadap Jurnalis

Terlepas dari RKUHP, jurnalis di Indonesia kerap menghadapi kekerasan di saat menjalankan tugas jurnalistiknya. AJI Indonesia mencatat kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia semakin meningkat. Maka wajar jika rangking kemerdekaan Pers di Indonesia, tidak pernah keluar dari 100.

Di era digital, kekerasan terhadap jurnalis menemukan pola baru berupa serangan digital. Jika semula kekerasan terhadap jurnalis identik dengan serangan fisik, saat ini jenis kekerasan itu berbertambah dengan adanya serangan digital, antara lain doxing atau publikasi data pribadi.

“Melakukan doxing, lalu dikejar siapa orang tuanya, keluarganya atau orang terdekat lainnya,” ungkap Joko.

Di saat yang sama, kekerasan model konvensional tetap jalan. Contohnya, pembredelan suatu organisasi pers masih kerap terjadi, seperti yang menimpa LPM Lintas IAIN Ambon yang mengalami refresi justru dari kampus sendiri.

Masalah lain yang membelit jurnalis di Indonesia adalah kesehatan mental. Menurut Joko, kesehatan mental jurnalis realitasnya sangat mencengangkan.

“Saya tidak membayangkan bahwa seorang jurnalis bisa sampai pada keputusan yang sangat fatal terkait kelanjutan hidupnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, tekanan menjadi seorang jurnalis itu sangat besar, ketika dia memperhatikan permasalahan yang terjadi secara eksternal, tapi secara bersamaan, jurnalis mengabaikan persoalan di dalam dirinya karena harus tampil kuat.

Persoalan berat juga dihadapi jurnalis perempuan yang sangat rentan mengalami pelecehan seksual. Salah satu contoh kasus yang mencuat belakangan, yakni pelecehan seksual di stadion Maguwoharjo, Yogyakarta.

Di samping itu, jurnalis menghadapi persoalan klasik berupa derajat kesejahteraan yang buruk. Wajah pers hari ini bertahan hidup dengan mengandalkan iklan dan klik. Hal ini menyebabkan banyak dari media berbondong-bondong menyebarkan berita secepat mungkin, perihal kualitas itu nomor kesekian.

Celakanya adalah karya jurnalistik menjadi didominasi judul-judul sensasional untuk menarik perhatian para pembaca, tanpa mempertimbangkan lagi judul yang merepresentasikan isi beritanya.

“Akhirnya berita-berita kita dibanjiri dengan hal yang tidak penting,” paparnya.

Dengan kata lain, dunia pers tanah air menghadapi dua masalah besar. Pertama, dari segi eksternal adalah rezim yang cenderung antikritik dengan hadirnya RKUHP dan UU ITE.

Kedua, pada internal pers sendiri, yaitu ekosistem media yang terdisrupsi yang terpaku dengan jumlah tulisan dibandingkan dengan mutunya. “Sehingga masyarakat disodorin sesuatu yang tidak relevan,” jelasnya.

Di tengah situasi dunia jurnalistik yang terdisrupsi itu, Joko menyatakan media-media alternatif dapat dijadikan sebagai pilihan sebagai sumber berita mendalam.

“Lebih dari sebelumnya, suaramu, gagasanmu, pikiran kritismu semakin dibutuhkan saat ini,” tegasnya.

Baca Juga: Aliansi Sipil Bandung Menolak Sosialisasi Formalitas RKUHP, Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menyerukan Pembatalan Kenaikan Harga BBM
SUARA SETARA: Karut-marut RKUHP, Beraroma Pembungkaman hingga Ikut Campur Negara pada Urusan Pribadi
AJI: Cabut 19 Pasal RKUHP yang Membahayakan Kebebasan Pers!

Kuasa Berlebihan di Dalam RKUHP

Dosen Fakultas Hukum Unpas, Rika Kurniasari, menyatakan kebebasan berkespresi setiap negara tentu berbeda-beda, tidak berifat universal. Hanya tiga yang membedakan KUHP di negara Indonesia dengan negara lainnya, yaitu delik kejahatan politik, kejahatan kesusilaan, dan pencemaran nama baik. Hal tersebut dilindungi oleh hukum pidana, yakni berkaitan dengan dignity atau martabat.

“Jadi ketika orang memberikan aspirasi, ada martabat orang lain sebagai sesuatu yang harus kita pikirkan,” kata Rika, pada acara yang sama.

Karena itu ia mengingatkan jangan sampai kemerdekaan berserikat melupakan hak orang-orang dari sisi martabatnya. Karena dalam hukum pidana pasal 310 dan 311, itu memberikan suatu perlindungan terhadap individu.

Namun Rika menilai bahwa RKUHP tidak memiliki masalah yang substansial. Menurutnya yang bermasalah justru strukturnya yang memiliki kewenangan untuk penegakan hukum. Karena itu RKUHP memiliki kecenderungan menggunakan kekuasaannya secara berlebih, sehingga berpengaruh terhadap interpretasi pada keputusan pengambilan hukuman.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan di dalam RKUHP adalah tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (pasal 218). Rika menjelaskan bahwa Jerman dalam kurun waktu 3 atau 4 tahun lalu, terdapat putusan pengadilan, memberikan sanksi denda surat kabar yang menghina Presiden Turki.

Dari kasus di Jerman, dapat dilihat bahwa kepala negara lain pun diberikan perlindungan dari penghinaan atau penyerangan terhadap martabat. Meskipun perlindungan tersebut berupa denda, bukan pidana.

Perlu ditekankan bahwa di beberapa negara, ancaman terhadap penghinaan presiden, bentuk sanksinya merujuk pada hukum perdata, bukan pidana.

“Tapi faktanya di Indonesia, semua hal itu di pidanakan,” ungkapnya.

Pers sebagai Kontrol terhadap Kekuasaan

Pada kesempatan yang sama, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung Mahi M. Hikmat mengatakan bahwa keberadaan pers untuk mengontrol kekuasaan. Tanpa pers, pemerintah yang berkuasa akan cenderung kebablasan dan menjadi otoriter.

Fokus utama pers adalah mendorong tidak adanya kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalkan.

Mahi menuturkan, kebebasan pers merupakan buah dari transisi Orde Baru ke era reformasi. Sebelumnya, di era Suharto berkuasa, sering kali karya-karya jurnalistik disensor.

“Dulu zaman saya membuat koran, majalah dan sejenisnya harus izin, sekarang tidak lagi,” ucapnya.

Dalam perkembangan berikutnya, kebebasan berpendapat juga dijamin konstitusi. Pasal 28 UUD 1945 bahkan memberikan ruang yang besar bagi seluruh publik agar bertindak seperti jurnalis.

Menurutnya jika dulu hak untuk mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi, diperuntukkan bagi para jurnalis saja, sekarang tidak demikian. “Hal itulah yang menyebabkan overload informasi, bahkan kekacauan informasi, dan inilah yang memicu hoax,” tuturnya.

Berbeda dengan berita yang dihasilkan jurnalis yang telah melalui proses verifikasi dan diolah dalam dapur redaksi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//