• Narasi
  • MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #2: Mengemudikan Doenia Bergerak

MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #2: Mengemudikan Doenia Bergerak

Murid Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo, mengikuti jejak gurunya dalam menentang kolonialisme Belanda melalui media Doenia Bergerak.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Penulis Mas Marco Kartodikromo dan istri, diinternir di Tanamerah (Digul Atas), Jawa. (Sumber: KITLV 4451)

15 November 2022


BandungBergerak.idDalam kanvas sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kesewenang-wenangan kolonial, kita pasti mengingat perlawanan heroik yang dikobarkan oleh masyarakat Aceh, Kaum Padri, Diponegoro, invasi Sultan Agung ke Batavia 1628 dan 1629 hingga perlawanan masyarakat Bali dan gerakan lainnya di nusantara. Perlawanan tersebut termasuk ke dalam gaya perlawanan klasik yang mengangkat senjata dan bersifat kedaerahan.

Ketika memasuki abad ke-20, gaya perlawanan bangsa Indonesia yang ketika itu statusnya terjajah mengalami perubahan. Gaya perlawanan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) khususnya mesin cetak menjadi alat perjuangan baru, di antaranya melalui surat kabar.

Perkembangan surat kabar yang digerakkan kaum bumiputra mengalami puncaknya ketika memasuki dekade awal abad ke-20 di mana surat kabar menjadi wahana penyebaran gagasan, kritik hingga sarana advokasi. Sebagai masyarakat yang terjajah oleh kolonialisme Belanda saat itu, surat kabar yang dikemudikan oleh rakyat terjajah mendapat pengawasan yang ketat.

Seperti kita ketahui bersama bahwa sosok Tirto Adhi Soerjo  disepakati sebagai dinamo penggerak kebangsaan. Ia melakukan perlawanan melalui media-media cetak yang didirikannya, seperti surat kabar Soenda Berita sebagai organ pers pertama yang digerakkan pribumi. Dan puncaknya Tirto Adhi Soerjo menerbitkan surat kabar Medan Prijaji.

Pergerakan Tirto Adhi Soerjo bersama lembaga pers yang didirikannya bikin pemerintah Hindia Belanda gerah. Pemerintah kolonial sampai perlu mengutus Dr. D.A. Rinkes, seorang penasihat pemerintah untuk urusan pribumi yang bertugas khusus mengawasi seorang Tirto Adhi Soerjo, sosok yang memiliki pena tajam untuk menyerang orang-orang atau kebijakan kolonial yang menindas bangsanya “yang terperentah”.

Murid dari Tirto Adhi Soerjo yang bernama Mas Marco Kartodikromo mengikuti jejak gurunya dalam menentang kolonialisme Belanda melalui surat kabar Doenia Bergerak.

Doenia Bergerak Senjatanya Mas Marco Kartodikromo

Seperti yang disebutkan dalam tulisan sebelumnya [MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung] bahwa Mas Marco Kartodikromo mewarisi ketajaman pena Tirto Adhi Soerjo. Sejak 1911 Mas Marco Kartodikromo magang di Medan Prijaji, kemudian pada tahun 1912 Medan Prijaji dinyatakan bangkrut, Mas Marco Kartodikromo hijrah ke Surakarta dan mendapat amanat dari Marthodarsono untuk mengatur Sarotomo sebagai corong Sarekat Islam Surakarta hingga mendirikan Inlandsche Journalisten Bond dengan corongnya Doenia Bergerak yang lahir 1914.

Sejak awal pendirian Doenia Bergerak, tajamnya pena Mas Marco Kartodikromo langsung menyambar pihak-pihak yang dirasanya bertindak sewenang-wenang dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dari bangsanya sendiri, hal ini seperti yang tercantum dalam Sarekat Islam Surakarta 1912-1923 karya Adhytiawan Suharto:  

“Konten isi dalam Doenia Bergerak berbeda dengan surat kabar pada umumnya. Doenia Bergerak lebih memperhatikan konten opini, motivasi serta seruan untuk bangkit melawan penindasan. Di awal masa terbitnya Doenia Bergerak sudah menyindir beberapa tokoh SI Surabaya yang mendukung kebijakan Rinkes. Mereka adalah Tjokroaminoto dan Tirtodanoedjo yang kemudian diserang oleh penggerak IJB,” (2021, hlm. 67).

Hal itu dipertegas dengan tulisan Sosrokoernio yang dikutip Takashi Shiraishi dalam karyanya Zaman Bergerak (1997, hlm. 111): “Sejak awal Marco bermaksud melancarkan perang suara melalui Doenia Bergerak. Suaranya tegas dan tajam. Dalam Melayu.”

Kemudian Taufik Rahzen dalam Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia (2007, hlm. 52): “Pembiayaan Doenia Bergerak diperoleh dari saudagar-saudagar di Surakarta. Era 1914 adalah era emas bagi Marco. Tulisan-tulisan Tjokroaminoto tidak lagi dianggapi dengan cemerlang dan luar biasa. Suara yang lebih militan, meyakinkan, dan bersemangat justru dilontarkan Marco.

Di saat bersamaan, di Solo, pada 1915 Haji Misbach, seorang muslim sosialis, menerbitkan Medan Moeslimin. Pada edisi perdana itu Marco diberi kehormatan menyampaikan pengantar. Di situ Marco menulis, “Bersatulah kaum muslim sedunia”.” 

Baca Juga: MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #1: Pertemuan dengan Tirto Adhi Soerjo di Bandung
RESENSI BUKU: Pertentangan Kelas Zaman Kolonial
Ada Kapital dalam Penerapan Politik Etis di Hindia Belanda

Marco Mengkritik Rinkes

Tapi Doenia Bergerak tetap menjadi tempat bagi Marco untuk memuntahkan segala amarahnya. Ia menandingi keradikalan Tjokroaminoto, yang kehilangan gaungnya. D.A. Rinkes, penasihat urusan      bumiputera, diserang habis-habisan. Judul karangan monumentalnya antara lain: “Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes.”

Dapat dipastikan Mas Marco Kartodikromo menerbitkan Doenia Bergerak sebagai senjata utamanya yang menghadirkan ketidaknyamanan bagi yang memerintah saat itu, khususnya kolonial Belanda. Mas Marco Kartodikromo sudah membuktikan bahwa keberanian merupakan amunisi utama dalam menentang keangkuhan kolonial Belanda yang dirasanya sebagai mesin penghisap rakyat yang menghadirkan penderitaan. Berikut ini saya kutip tulisan Mas Marco Kartodikromo yang dengan gagah berani menentang Dr. D.A. Rinkes melalui Doenia Bergerak No. 1 tahun 1914 dalam Zaman Bergerak (1997, hlm. 111-113):

Marco, “Pro of Contra Dr. Rinkes” 

“Kepalanya ini karangan sudah saja tuliskan: pro of contra, Pro mengertinja: setudju; contra mengertinja: melawan (tidak setudju). Apakah saja tidak setudju dengan keteranganja Paduka Dr. Rinkes tersebut diatas? Inilah masih djadi pertanjaan. Apakah saja mesti pertjaja dengan uraianja beliau itu? Ini pun masih belum keruan.

Seorang seperti Paduka Tuan Dr. Rinkes, adviseur voor de Inlandsche zaken, jang sudah dipertjaja oleh Regeering dari hal keadaanja Bumi-putera, sudah tentu beliau:

  1. Lebih mengerti, baik dan busuknya nasik kita Bumi-putera dari pada lain orang.
  2. Lebih tjinta kepada kita Bumiputera dari pada lain orang; dan
  3. Lebih tjukup pengetahuan beliau dari pada kita Bumi-putera, baik tentang perkara apa sadja.

Tetapi bagaimanakah keadaannja Marco? Seorang apakah dia?

Marco seorang dari: orang ketjil-stand; tiada pernah mengindjak romah sekolah; kurang lebar pemandangannja; enz. enz.

Meskipun begitu, takdir Tuhan jang Esa, Marco diberi: dua mata; duan telinga; dua tangan; satu kepala; satu mulut enz. Sebagai orang kebanjakan.

Kedua mata Marco itulah tiada berbeda dengan kedua matanja seorang keluaran univesiteit (sekolah tinggi) Djadi kalau Marco melihat barang berwarna putih, tentu itu manmpak kemata orang2 jang terpelajar putih djuga, Begitu seterusnja.

Sebagai jang telah saja sebutkan No. Diatas bahwa P. T. Dr. Rinkes lebih tahun tentang nasibnja Bumi-putera dari pada saja.

Apakah P. T. Dr. Rinkes, atau leden daru Welvaartcommissie sudah sama menjaksikan sendiri, bila hidupnja orang2 ketjil di dalam kesukaan?

Hidup jang bagaimanakah jang dibilang: senang suka; selamat; dan tiada kekurangan suatu pun apa?

Kerapkali saja bertanja orang2 desa, betapakah keadaan hidup mereka itu? Pertanjaan saja itu didjawab oleh orang itu.

Orang2 ketjil kebanjakan hidupnja: sehari makan sejali; jang sedikit mam perkara ikan tidak sekali2 dipikirkannja, asal ada garam dan tjabe-rawit sudah tjukup ...

Apakah kalau manusia hidup serupa itu dikata: senang dan tiada kekurangan!? Ini pun ta’gampang diketahui.

Sekarang membitjarakan No. 2 tersebut diatas, jaitu: P. T. Dr. Rinkes dan sekalian leden Welvaartcommissie terlalu tjinta kepada kita Bumi-putera. Manakah jang lebih ditjintai badan sendiri atau badanja lain orang!! Saja sangat pertjaja bahwa leden W.C. itu djuga tjinta kepada orang2 ketjil, tetapi masih terlalu amat tjinta diri sendiri.

Marco pun terlalu tjinta dengan diri sendiri, dari itu dia selalu berteriak sadja, sebab kalau teriakannja itu dikabulkan dia djuga turut enak.

Kalau saja pikir pandjang, leden W.C. seakan2 Dokter (dukun) umpamanja. Tetapi kita orang Bumi-putera. Orang2 jang sakit sudah pajah.

Siapakah jang lebih keras minta sembuh dari sakit? Dokter (dukun) kah? Atau orang jang sakitkah?

Sepandjang pendapatan saja, tentu sisakit jang amat keras minta hindar dari bahaja itu. Adapaun Dokter (dukun) hanja melakukan semestinja sadja, baik sisakit djadi sembuh baik tidak, itulah tergantung Tuhan punja kuasa, asal Dokter (dukun) ta’ kurang gadjinja tiap2 bulan sudah tjukup.

Lain rupa kalau jang sakit itu badan sendiri dan Dokternja pun diri sendiri.

Diatas No. 3 saja berkata bahwa P. T. Dr. Rinkes lebih tjukup pengetahunja beliau dari pada lain orang (Bumi-putera).

Ini hal tidak perlu saja terangkan lebih pandjang, tentu tuan2 pembatja telah mengerti sendiri.

Tetapi saja berani berkata, bahwa P. T. Dr. Rinkes dan leden W.C jang berpangkat Regent, tentu sekalian itu kurang – atau boleh djadi tidak pernah bertjampur gaul dengan orang-orang desa (orang-orang kebanjakan).

Barangkali leden W.C itu hanja sadja kepada prijaji jang berpangkat Wedono kebawah sampai Lurah Desa.”  

Terang benderang dalam Marco, “Pro of Contra Dr. Rinkes” tersebut bahwa Mas Marco Kartodikromo melaksanakan siasat “perang” yang jelas ditujukan kepada Dr. D.A. Rinkes dan Welvaart Commissie (komisi yang bertujuan mensejahterakan bumiputra). Gaya perang yang dihadirkan Mas Marco Kartodikromo dalam Marco, “Pro of Contra Dr. Rinkes” menyuguhkan perang vertikal di mana Mas Marco Kartodikromo memposisikan dirinya sebagai masyarakat kecil yang menentang penguasa. Sindiran-sindiran keras tak luput dihadirkan dalam tulisannya tersebut dengan keyakinan bahwa Dr. D.A. Rinkes dan Welvaart Commissie hanya omong kosong dalam upaya memajukan kesejahteraan rakyat kecil, sebab dalam pandangan Mas Marco Kartodikromo keduanya dipastikan belum pernah menyentuh langsung kehidupan masyarakat bumiputra yang hidupnya mengalami kekurangan dan kesulitan.

Bahkan serangan yang paling mengoyak ketika Mas Marco Kartodikromo menyingkat Welvaart Commissie menjadi WC dan gelar Dr. Yang dimiliki D.A Rinkes ditambahkan kata dukun dalam kurung. Tahun 1915, Mas Marco Kartodikromo bertemu dengan tuduhan persdelict

Bersambung...

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//