RESENSI BUKU: Pertentangan Kelas Zaman Kolonial
Bagi Mas Marco Kartodikromo, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengangkat martabat manusia. Di sisi lain, Mas Marco juga memotret pertentan kelas.
Penulis Andika Yudhistira Pratama6 November 2022
BandungBergerak.id - Dalam alam kehidupan kolonialisme yang berkolaborasi dengan feodalisme di nusantara khususnya pulau Jawa, arogansi kolonial Belanda mewujud dalam segregasi sosial yang diciptakan kolonialisme sendiri. Segregasi ini menimbulkan perendahan terhadap manusia di masa kolonial.
Jenis pekerjaan menjadi salah satu ciri dari status individu dalam masyarakat, dan pendidikan berguna untuk meningkatkan martabat manusia dan keluarganya. Melalui buku Student Hidjo ini Mas Marco Kartodikromo ingin menunjukan kedua hal tersebut.
Pendidikan Mengangkat Derajat Manusia
Percakapan antara Raden Potronojo dan istrinya Raden Nganten menunjukan kondisi tersebut dalam Bab I ketika tokoh utama Hidjo akan dikirimkan ke Nederland untuk menempuh pendidikan oleh ayahnya, Raden Potronojo.
“Tidak Adinda. Jangan berkecil hati!” kata suaminya yang juga turut merasa sedih demi melihat istrinya. “Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini. Orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita juga bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran.”
“Apa masih perlu kita memikirkan hal itu, kanda?” kata Raden Nganten. “Toh, Hidjo sudah cukup sekolahnya untuk bisa menjadi Priyayi. Dan kalau saya pikir, kepandaiannya juga melebihi anak-anak pangeran dan regent yang tidak bisa belajar seperti Hidjo. Lagi pula Kanda juga harus memikirkan godaan perempuan bagi anak-anak Jawa yang belajar di Negeri Belanda” (hlm. 2-3).
Dari percapakan antara Protonojo dan Raden Nganten, terlihat sekali bahwa pendidikan salah satunya jalan untuk memperbaiki status keluarga dan mengangkat martabat seseorang, selain pula terlihat yang menyebabkan Protonojo ingin mengirimkan putranya Hidjo ke negeri Nederland disebabkan adanya perendahan terhadap status sosial di kehidupan masyarakat dalam alam kolonialisme.
Namun, di sisi lain terdapat pula penggambaran kondisi alam pikiran manusia pada masa itu cepat merasa cukup yang ditunjukan oleh ibu dari Hidjo, Raden Nganten. Selain itu di awal halaman buku ini terlihat sekali budaya parenting dalam budaya timur yang diperlihatkan oleh sosok Raden Nganten.
“Habis, kalau anakmu kawin dengan gadis Belanda, apa kamu boleh?” tanya Raden Nganten.
Raden Potronojo kebingungan mendengar pertanyaan istrinya. “Ah, saya kira tidak. Hidjo tidak mungkin sampai mempunyai pikiran seperti itu. Karena anak itu anak baik dan selamanya takut dengan perempuan. Dan tidak seperti anak-anak lainnya, yang setiap pulang sekolah suka bermain-main dengan gadis-gadis teman sekolahnya, “jawab Raden Potro panjang lebar. “Dan lagi, dia kita suruh bersumpah, supaya dia tidak mau kawin dengan gadis Belanda.”
“Tapi, kalau sudah terlanjut kita mau apa?” tanya Raden Nganten sambil menangis. “Sebab saya mendengar kabar, di Negeri Belanda, perempuan-perempuannya tidak seperti di sini. Gadis-gadis Negeri Belanda, kalau tahu seorang lelaki seperti...!”
Raden Potro setengah tertawa mendengar suara istirnya dan berkata, “Tidak, adinda! Jangan takut kalau anakmu akhirnya kawin dengan gadis Belanda. Kamu toh sudah mengerti, Hidjo sudah mempunyai tunangan yaitu Jeng Biroe, anaknya Mbakyu Mantri Polisi” (hlm. 3-4).
Ketika Kata Bodoh Menjadi Hal yang Biasa dalam Candaan
Seperti yang kita ketahui bahwa perundungan yang dialami oleh pribumi di masa kolonial sudah menjadi makanan sehari-hari; inlander, godverdomme, monyet, bodoh, dan bangsa kuli adalah kata-kata penghinaan yang sering ditimpikan orang Belanda kepada bangsa yang dijajahnya di nusantara. Dan bagi orang-orang yang terjajah apabila mendapatkan kata-kata cacian seperti itu tidak dapat melawan.
Pihak kolonial memang seakan memandang bahwa kemuliaan manusia berasal dari mereka dan rakyat jajahannya harus dimuliakan atau dimanusiakan, perlakuan ataupun perkataan yang baik atau buruk yang mereka lakukan seakan langkah dalam memanusiakan manusia di tanah jajahan. Karena hinaan itu dilakukan berulang-ulang, maka hal tersebut menjadi bahan candaan.
Dalam Bab IV hal seperti itu ditunjukan dalam satu percakan antara Hidjo dengan Anna, wanita Belanda yang ditemui di Kapal Api Gunung yang menuju Amsterdam. Mereka berada di satu pulau kecil yang indah di sebelah barat daya Sumatera untuk sekedar melihat panorama alam di sana.
“Apakah Tuan Bodoh?” tanya Anna untuk humor.
“Ya, saya bodoh,” jawaban Hidjo sambil seperempat tertawa seperti biasanya.
“Ya, memang, meski Tuan kandidat insinyiur, tetapi Tuan orang bodoh,” kata Anna untuk mengguncangkan hati Hidjo, “Orang Jawa bodoh, cis!”
Arogansi Orang Belanda yang Didasari Pertentangan Kelas
Arogansi orang Belanda terdapat di Bab XVII, ketika Controleur Walter mengambil cuti (Verlof) untuk berkelana ke Eropa. Dalam perjalanan Controleur Walter yang menaiki Kapal Api, Djenderal Petak bertemu dengan keriuhan yang berisi caci-maki yang dilakukan oleh seorang Kapten yang bernama Djepris yang hendak sekolah militer di Kampen (Nederland).
“Menner Djepris!” kata Controleur kepada Sergeant yang hendak sekolah militer itu sewaktu dia sedang memaki-maki kepada orang Jawa yang menjadi jongos kapal, lantaran jongos itu kurang cepat melayani dirinya. “Rupanya Tuan amat benci kepada orang Jawa. Apakah kalau Tuan menyuruh apa-apa kepada jongos orang Belanda, juga memakai perkataan yang begitu keji seperti itu?”
“Tidak peduli!” kata Sergeant Djepris yang saat itu sudah merasa menjadi Kaptein. “Orang Jawa itu kalau tidak dikasih perkataan kasar, akan menjadi kurang ajar!”
“Apakah Tuan sudah paham betul-betuk adat orang Jawa?” tanya Controleur dengan wajah cemberut.
“Memang!” Jawab Sergeant. “Saya di Hindia sudah sepuluh tahun dan sudah kenal betul dengan adata orang Hindia!”
“O, tetapi ... bukankah Tuan bergaul dengan orang Hindia hanya dalam tangsi?” tanya Controleur.
“Ya, juga di luar tangsi saya banyak kenalan!” jawab Sergeant.
“Apa Tuan sudah menyeliki bahwa adat istidat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan daripada adatnya orang Eropa kebanyakan?” tanya Controleur.
“Mana mungkin!” kata Sergeant dengan memelototkan matanya seakan marah-marah.
“Ha,ha!” Controleur tertawa seolah-olah mempermalukannya. “Bukankah Tuan datang ke Hindia itu waktu dahulu hanya jadi koloniaal (serdadu), sebuah pekerjaan yang tidak kurang tidak lebih hanya sebagai kuli kontrak. Karena Tuan bekerja rajin dan barangkali Tuan telah membunuh berpuluh-puluh orang, sekarang Tuan hendak pergi belajar pula, supaya Tuan lebih pintar membunuh orang. Dan akhirnya Tuan mendapat beberapa tanda kehormatan dan pujian karena pekerjaan Tuan yang keji itu. Sudah mengertikah Tuan akan hal itu?”
“Ketika mendengar kata-kata Walter itu, Sergeant Djepris naik darah. Dan dia berkata, “Orang Jawa kotor. Orang Jawa bodoh, orang Jawa malas, Orang Jawa tidak beschaafd. Pendeknya orang Jawa atau orang Hindia itu adalah bangsa paling busuk sendiri!” (hlm. 153-155).
Setelah percakapan antara Tuan Controleur Walter dengan Sergeant Djepris yang panjang dan menguras kesabaran Sergeant Djepris itu, kemudian Tuan Controleur Walter memberikan buku selebaran (brosur) berbahasa Melayu yang berjudul “Bangsa di Hindia”, kepada Sergeant Djepris, berikut kutipan dari tulisan berjudul “Bangsa di Hindia”:
Baca Juga: RESENSI BUKU: Di Balik Senyuman Para Eksil
RESENSI BUKU: Terasing ketika Pulang
RESENSI BUKU: Menelusuri asal-usul Kekayaan di Muka Bumi
Bangsa Belanda di Hindia
“Untuk orang yang pernah tinggal di Hindia, permainan itu hanya sebagian bahan humor. Tetapi bagi kita, sangat besar guna artinya. Jadi, banyak orang Belanda yang mengaku, yang tinggal di Hindia ini, pada mulanya adalah bekas kuli dan orang-orang rendahan. Sementara di sini main gila, menyombongkan diri, menghina kita, seperti kita ini budak belian. Lebih keterlaluan lagi seperti binatang! Orang-orang bumiputera yang tak pernah tinggal di Negeri Belanda, menyangka bahwa ia benar-benar dari keluarga bangsawan, atau kelas terhormat. Sekarang masalah lain, pembaca sekalian tentu tahu. Berhati-hatilah dengan m.i. kita sering bertanya pada diri-sendiri: “Mengapa orang Belanda yang telah lama tinggal di Hindia, lalu berubah perangainya.” Yang berpikiran demikian bukan hanya orang bumiputera saja. Orang Belanda totok yang belum pernah datang ke Hindia juga berpikiran demikian.
Banyak anak atau teman dan sahabat karib yang sesudah pulang dari Hindia menjadi gila hormat. Tak mau lagi bergaul dengan sesama temannya lagi di Nederland. Oleh sebab itu, banyak yang lebih suka kembali ke Hindia lagi. Untuk kita, bedanya sangat besar sekali. Bangsa Belanda, kelas menengah dan kelas atas di Nederland, hatinya sangat baik, suka menolong dan persahabatannya sangat menyenangkan. Untuk kelas rendah banyak juga yang demikian, akan tetapi tidak kurang yang tingkah lakunya kasar dan tidak beradab” (hlm, 158-159).
Begitulah Mas Marco melalui tulisan berjudul “Bangsa Belanda di Hindia” ingin menyinggung pertentangan kelas yang menimbulkan arogansi dari bangsa Belanda di tanah jajahannya. Walaupun alur cerita utama dalam novel ini banyak menceritakan kisah percintaan si tokoh utama Hidjo, namun Mas Marco ingin menyampaikan bahwa pertentangan kelas adalah sumber permasalahan yang terjadi dalam kehidupan khususnya di tanah jajahan seperti Indonesia ketika dicengkeram kolonialisme Belanda. Walaupun karya fiksi tetapi Mas Marco memberikan sudut pandang yang lain dari kolonialisme.
Kebanyakan narasi yang menjelaskan mengenai kesewenang-wenangan atau arogansi kolonialisme terutama di sekolah-sekolah berawal dari semangat menaklukan dunia dari bangsa barat, mencari rempah-rempah; sedangkan Mas Marco Kartodikromo ingin menampilkan hal yang baru yaitu pertentangan kelas yang menimbulkan kekacauan dan penindasan terhadap rakyat di tanah jajahan. Dan karya fiksi Student Hidjo ini sudah memberikan informasi kepada pembaca untuk mengetahui iklim sosial di masa kolonial Hindia Belanda.
Informasi Buku
Judul: Student Hidjo
Penulis: Mas Marco Kartodikromo
Penerbit: Narasi
Penyunting: Ari Pranowo
Desain cover: Sugeng D.T.
Cetakan: Keempat, 2022
Halaman: 185 halaman
ISBN: 978-623-7586-61-6