RESENSI BUKU: Menelusuri asal-usul Kekayaan di Muka Bumi
Buku ini secara garis besar menjelaskan evolusi pemikiran yang membidani lahirnya teori nilai-utilitas sebagai kerangka dasar ilmu ekonomi yang terus berkembang.
Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha26 Juni 2022
BandungBergerak.id - Move on adalah persoalan serius bagi seorang yang baru saja mengalami putus cinta. Setidaknya, itu menurut pengalaman kawan saya, yang berupaya melupakan sejenak kisah muram asmaranya dengan sebotol kawa-kawa, sembari mendengarkan tembang Padi berjudul Semua Tak Sama.
Usut punya usut, ternyata layar belakang ketidakpastian ekonomilah yang menjadi problem masalahnya tersebut. Bagi sebagian mungkin terdengar sepele, namun urusan ini memang jadi sesuatu yang benar-benar membuat kawan saya karut-marut.
Saya tak hendak membicarakan perihal asmara sebetulnya. Sebagaimana judul di muka, bagi saya, yang menarik perhatian justru latar belakang persoalan yang menimpanya itu. Bahwa kita, setidaknya para pekerja rentan, sedang hidup di era kegamangan. Bagaimana tidak, nyaris setiap hari pemberitaan mengenai PHK massal hilir mudik tampil di layar kaca.
Dalam konteks itulah buku Martin Suryajaya berjudul Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles Sampai Amartya Sen menjadi relevan. Buku ini secara garis besar menjelaskan evolusi pemikiran yang membidani lahirnya teori nilai-utilitas sebagai kerangka dasar ilmu ekonomi yang terus berkembang hingga hari ini.
Dalam buku ini, Martin Suryajaya berupaya menguji berbagai macam teori nilai yang ada. Menurutnya, teori nilai-kerja merupakan yang paling masuk akal dalam menjelaskan persoalan nilai. Dengan demikian, meski sama-sama mempunyai efek jangar sebagaimana kawa-kawa yang diminum kawan saya, setidaknya buku ini bisa jadi pengantar untuk memahami berbagai fenomena yang belakangan terjadi.
Genealogi Nilai Komoditas
Dalam bab pertama, Martin mengawali buku ini dengan kisah sekelompok mahasiswa dan pengajar ilmu ekonomi di Prancis tahun 2000an yang menerbitkan sebuah petisi protes untuk mempersoalkan kurikulum ilmu ekonomi di berbagai universitas. Sebabnya, ilmu ekonomi dipandang semakin tenggelam dalam abstraksi matematis, dan kehilangan sentuhan dengan realitas. Ekonomi neoklasik, yang diajarkan di institusi pendidikan tinggi, dinilai tidak mampu menyajikan pengertian tentang realitas ekonomi dan justru terbenam ke dalam kecenderungan formalistik, yakni keharusan untuk merumuskan kenyataan ekonomi dalam rumusan matematis.
Berangkat dari persoalan itulah, Martin menelusuri dan berupaya menjernihkan pertanyaan yang fundamental, yang menurutnya, harus didasarkan pada teori nilai. Apakah syarat kemungkinan ilmu ekonomi? Apakah sebenarnya objek utama yang hendak dijelaskan oleh ilmu ekonomi? Apakah raison d'etre dari ilmu ekonomi?
Itulah beberapa pertanyaan awal yang diajukan dalam memulai kajian ini. Sebagaimana diketahui, dalam pengertian tradisionalnya, objek ilmu ekonomi adalah kekayaan (wealth). Menjelaskan asal-usul kekayaan. Dengan demikian, menjawab pertanyaan semua pertanyaan itu, jelas merupakan tugas utama ilmu ekonomi — yang mendefinisikan keberadaannya sebagai disiplin ilmu.
Apa yang dimaksud dengan kekayaan? Secara tradisional, seseorang disebut kaya apabila semua kebutuhan hidupnya tercukupi. Tapi, dalam masyarakat sekarang, kekayaan mewujud sebagai tumpukan barang dagangan. Inilah objek dari teori nilai. Dengan demikian, teori nilai adalah landasan ilmu ekonomi. Menurut Martin, dalam penjelasannya di buku ini, kita tidak bisa berharap memperoleh kejernihan ilmu ekonomi apabila kita tidak mendapat kejernihan tentang duduk perkara dasarnya. Penjernihan atas teori nilai, karenanya, merupakan prasyarat yang mesti dipenuhi bagi pembangunan model-model ekonomi yang ilmiah.
Kecenderungan antirealis ilmu ekonomi dewasa ini juga memicu penjelajahan harus dijalankan pada aras teori nilai. Mengapa demikian? Sebab, menurut Martin Suryajaya, teori nilai dapat menjadi sudut pandang yang strategis untuk mengamati proses formasi antirealis dalam ilmu ekonomi, yang kini menjelma sebagai batu fondasi realitas perekonomian. Itu pula sebabnya, nyaris semua ekonom —klasik maupun neoklasik awal— mengawali traktat yang berisi pemaparan menyeluruh tentang pandangan ekonominya dengan sebuah bab tentang nilai (value). Sekurang-kurangnya, Martin merumuskan beberapa hal yang dapat dikatakan mengapa nilai layak jadi batu fondasi realitas ekonomi, dan objek utama ilmu ekonomi. Berikut tiga di antaranya:
Pertama, persoalan nilai adalah persoalan keseukuran (commensurability) anta barang/jasa yang dipertukarkan. Oleh karena keseukuran yang memungkinkan pertukaran barang/jasa tersebut, maka nilai merupakan syarat kemungkinan bagi setiap relasi ekonomi (sejauh relasi ekonomi dimengerti sebagai relasi pertukaran barang/jasa kebutuhan, yang kini biasa disebut 'komoditi').
Kedua, nilai adalah komponen dasar dari konsep kekayaan (wealth), dan karena kekayaan adalah objek kajian ekonomi-politik (klasik) dan ilmu ekonomi (neoklasik), maka nilai adalah objek fondasional dalam ilmu ekonomi.
Ketiga, teori nilai adalah landasan teoretik ilmu ekonomi, dan peralihan paradigmatik dalam ilmu ekonomi selalu membawa serta perubahan teori nilai, misalnya peralihan dari ekonomi-politik klasik ke ilmu ekonomi neoklasik membawa serta perubahan dari teori nilai-kerja ke teori nilai utilitas.
Aristoteles, merupakan yang pertama kali mengetengahkan persoalan nilai, kendati masih secara implisit. Dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomakhea, disebut bahwa teori nilai adalah teori keseukuran. Aristoteles telah menunjukkan bahwa duduk perkara setiap aktivitas ekonomi, yakni pertukaran, adalah persoalan keseukuran antarkomoditas yang dipertukarkan.
Keseukuran menjamin pertukaran yang adil dimungkinkan. Dengan demikian, teori nilai menjadi syarat kemungkinan bagi adanya pertukaran. Teori nilai berarti ontologi ekonomi. Inilah yang menjelaskan mengapa teori nilai demikian sentral dalam ilmu ekonomi. Hal ini nantinya dijelaskan secara holistik di bab dua.
Teori Nilai-Kerja
Setelah memuat kajian tentang duduk persoalan dasar teori nilai, di sana nantinya juga diuraikan pandangan Aristoteles mengenai keseukuran nilai barang dagangan untuk membangun definisi tentang pertukaran yang adil. Kemudian pembahasan melaju pada soal keadilan tersebut, yang mana biasanya ketika di pasar secara aktual, sebuah barang bisa saja dipertukarkan di atas atau malah di bawah nilai aslinya. 'Nilai' barang yang berlaku secara aktual di pasar inilah yang umumnya kini disebut harga.
Perbedaan antara nilai dan harga ini, menurut Martin, nantinya mengemuka —dan menjadi objek refleksi para pemikir ekonomi— di abad pertengahan. Adalah Thomas Aquinas, yang melakukan pendekatan berbasis ongkos produksi dalam melihat persoalan nilai. Dengan kata lain, pendekatan ini melihat nilai sebagai kualitas inheren komoditas yang ditentukan oleh ongkos produksi yang diperlukan. Dalam penelusuran Martin, pendekatan ini muncul sebagai tanggapan kaum skolastik menghadapi tradisi hukum Romawi. Adalah Accursius, seorang pengacara abad-12, yang menyarikan pandangan hukum Romawi tentang nilai dan harga: nilai sebuah barang adalah apa yang ada secara aktual di pasar.
Dalam pengertian Romawi ini, jelas tidak ada pembedaan signifikan antara nilai dan harga. Kemudian pembedaan itu dibangun tradisi skolastik, yang memuncak dalam pandangan Thomas Aquinas. Prinsip utamanya: sebuah pertukaran disebut adil apabila kedua belah pihak mempertukarkan barang-barang yang senilai. Karenanya, apabila barang-barang yang dipertukarkan tidak senilai —entah harganya lebih tinggi atau lebih rendah dari nilainya— dan tak terwujud lagi kesetaraan nilai, maka pertukaran ini dapat dinyatakan bersifat tidak adil. [Halaman. 43-44]
Akan tetapi, terdapat pertanyaan lanjutan yang secara alamiah lahir atas asumsi Thomas Aquinas ini. Bagaimana menentukan nilai sebuah barang? Bolehkah seseorang dalam aktivitas dagang menjual barang di atas harga ongkosnya?
Menurut Thomas Aquinas, upaya membentuk harga yang adil adalah dari biaya pembuatannya, yakni ongkos produksi. Nilai komoditi, dengan demikian, ditentukan berdasarkan jumlah balas-jasa atau remunerasi atas kerja produsen. Tapi, di sini, tercatat bahwa penentuan harus bersifat proporsional terhadap status sosial sang produsen dalam masyarakat. Nilai komoditi yang dihasilkan oleh seorang pengrajin, misalnya, mesti memperhitungkan biaya reproduksi tenaga kerjanya, juga bahan baku yang terpakai, dan yang terpenting, biaya mempertahankan martabat sosial sang pengrajin sesuai kedudukannya dalam masyarakat.
Ini yang kemudian dilanjutkan para ekonom klasik sepeninggal Thomas Aquinas, yang dalam istilah Martin: 'upaya menjernihkan pengertian ongkos produksi sebagai prinsip regulator nilai dan memecahkannya ke dalam konstituen terdasarnya, yakni kerja'. Hal ini diawali dengan terobosan William Petty. Di sini William Petty meragukan pendekatan nilai berbasis ongkos produksi ala Thomas Aquinas. Ini pula yang membantunya melahirkan teori nilai-kerja, yang mulanya diawali usulan metodologis bagi ilmu sosial secara keseluruhan. Saya kutip utuh penjelasan William Petty di sini:
"Metode yang saya gunakan untuk melakukannya belum terlalu terkenal. Ketimbang hanya menggunakan kata-kata yang komparatif dan superlatif maupun argumen-argumen intelektual, saya memilih (sebagai uji coba aritmatika politik yang telah lama saya tuju) untuk mengekspresikan diri saya dalam angka, bobot, atau ukuran; untuk menggunakan argumen akal sehat semata serta hanya mempertimbangkan sebab-sebab yang memang memiliki pendasaran yang jelas di alam; mengesampingkan semua yang bergantung pada benak, opini, selera, gairah manusia tertentu yang berubah-ubah."
Dalam kajiannya itu, William Petty menemukan dua besaran pokok yang meregulasi ukuran nilai komoditas, yakni tanah dan kerja. Setiap komoditas, baginya, selalu dihasilkan kedua faktor tersebut. Komoditas adalah hasil kerja manusia atas alam, dan karenanya masuk akal bila nilai komoditas ditentukan oleh jumlah kerja (upah) dan tanah (sewa) yang dicurahkan untuk memproduksinya. Meski demikian, langkah ini belum sepenuhnya memuaskan William Petty. Sebab tujuannya menemukan satu besaran pokok yang menjelaskan nilai sekaligus seluruh besaran nilai belum tercapai. Sekurang-kurangnya, hingga titik ini, kita telah lihat bahwa tanah dan kerja memiliki satuan yang penghitungan yang sama. Pengertian ini memungkinkan William Petty untuk menunjukkan bahwa prinsip yang meregulasi nilai tidak lain adalah, kerja. [Halaman. 46]
Bahwa benar kerja pula, yang menjadi landasan akar dari segala perhitungan ekonomi. Dengan demikian, basis penentu nilai, ialah kerja, atau lebih spesifiknya, waktu kerja. Mengapa demikian? Mengapa kerja dapat menjadi basis penentu nilai segala sesuatu? Bagi William Petty, segala komoditas yang ada dapat diturunkan dari kerja sejauh keberadaan barang-barang sebagai barang dagangan atau komoditas mensyaratkan adanya kerja untuk memproduksinya. Entah itu perkakas seperti cangkul misalnya, atau barang jadi seperti baju maupun bahan mentah seperti emas atau perak, semuanya dikonstitusikan keberadaannya sebagai komoditas oleh kerja yang dilakukan sebelumnya.
Sebuah tawaran alternatif yang dirumuskan William Petty ini kemudian dilanjutkan oleh sejumlah pemikir ekonomi klasik. Jika fisiokrat seperti Francois Quesnay memilih "tanah" dalam persimpangan jalan yang dirancang William Petty, dan nantinya mengelaborasi kerangka teori nilai-tanah (land theory of value) yang naturalistik, maka Adam Smith, dalam Wealth of Nations, merumuskan posisi klasik dasar tentang teori nilai-kerja (labour theory of value). Adam Smith pula ekonom pertama yang merumuskan secara teknis istilah nilai pakai dan nilai tukar.
Menurut Adam Smith, dalam masyarakat prakapitalis, nilai komoditas sepenuhnya ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Akan tetapi, ketika sudah muncul sewa tanah dan kapital, nilai komoditas tidak hanya ditentukan oleh jumlah kerja, melainkan juga oleh jumlah sewa tanah dan kapital yang diperlukan dalam produksi. Dengan demikian, Adam Smith menggunakan teori nilai-kerja untuk kondisi masyarakat prakapitalis dan teori nilai-ongkos produksi untuk kondisi masyarakat kapitalis, hal ini berdasarkan jumlah dari sewa, upah, dan laba sebagai besaran pokok penentu nilai.
Pada saat yang bersamaan, Adam Smith juga merumuskan Hukum Nilai yang akan terus dikembangkan nantinya hingga Karl Marx. Harga komoditas yang sesuai dengan nilainya disebut Smith sebagai harga alamiah. Melalui Hukum Nilainya inilah, Adam Smith menyatakan adanya tendensi historis gravitasi pasar yang berfluktuasi menurut proporsi penawaran dan permintaan pada harga alamiahnya.
Kemudian, ada David Ricardo yang melanjutkan pengembangan teori nilai-kerja. Sebetulnya David Ricardo mengakui Hukum Nilai Adam Smith, tetapi dia menolak menolak pandangan Adam Smith bahwa karena sewa tanah dan kapital ditentukan oleh sejumlah kerja yang menubuh di dalamnya, maka penentu terdasar dari nilai adalah kerja.
Yang terakhir, berbeda dengan para ekonom klasik sebelumnya, ada Karl Marx yang kemudian menunjukkan bahwa kerja merupakan penentu satu-satunya nilai, terlebih pada era sesudah terbentuknya masyarakat kapitalis, yang ditandai oleh pemisahan antara produsen dan sarana produksi. Pemisahan inilah yang menyebabkan bentuk-bentuk kerja spesifik berdasarkan kegunaannya mengalami penyeragaman, dan menjadi besaran umum kerja yang abstrak, yakni pencurahan tenaga-kerja per waktu kerja. Sebagaimana praktik di masyarakat kita sekarang.
Saat memulai analisisnya tentang nilai, Marx mereduksi aspek-aspek nilai menjadi aspek-aspek kerja. Kemudian memilah dua bentuk kerja: kerja konkret dan kerja abstrak. Kerja konkret adalah kerja berguna (useful labour) atau kerja yang menghasilkan nilai pakai suatu barang; sebagaimana yang dominan dalam masyarakat prakapitalis. Sedangkan kerja abstrak adalah tenaga kerja atau daya kerja manusia terlepas dari realisasinya untuk memproduksi barang dengan kegunaan tertentu. Kerja abstrak, merupakan sebuah produk historis tertentu; yang dominan pada masyarakat kapitalis.
Dalam kerja abstrak, komoditas bukan hanya diproduksi untuk memenuhi nilai-pakai —atau yang dalam istilah Marx disebut subsistensi, tapi juga punya nilai-tukar. Hal ini yang mensyaratkan adanya struktur pembagian kerja dalam masyarakat, yaitu terjadinya pemisahan antara produsen dan sarana produksi yang muncul dalam relasi kerja-upahan (wage labour). Tapi, oleh karena bentuk nilai atau validitas teori nilai-kerja itu sendiri spesifik secara historis, yaitu saat adanya relasi kerja upahan (atau saat terbentuknya masyarakat kapitalis), maka bentuk nilai dan teori nilai-kerja itu tidak berlaku dalam masyarakat sebelum adanya relasi kerja-upahan, dan nantinya dalam masyarakat dinmana relasi tersebut sudah tidak ada lagi.
Yang menjadi inti dari semua pikiran tokoh ekonom klasik pengusung teori nilai-kerja, sebagaimana telah dipaparkan di atas, adalah bahwa konsep penalaran mereka terkait problem nilai adalah penalaran yang retrospektif dan fisikalis (syarat material dari adanya sesuatu mementukan sifat-sifat sesuatu tersebut). Martin Suryajaya menyebutkan bahwa para ekonom klasik ini, berdasar pada ontologi yang berciri substansialis dan historis. Sebab nilai dipandang sebagai kualitas inheren barang-dagangan yang keberadaannya tidak mengandaikan aktualisasinya dalam pertukaran empirik di pasar.
Dan yang menarik, adalah fakta bahwa seluruh langkah reduksi ekonomi klasik ini dilandasi oleh semangat Galilean, semangat sains modern itu sendiri: ada sifat-sifat inheren objek yang disyaratkan bagi adanya objek sebagai objek tertentu, yang mesti dipilah dari sifat-sifat relatif objek yang berubah-ubah seturut kondisi subjektif [Halaman. 96].
Baca Juga: RESENSI BUKU: Mempersoalkan Produk Domestik Bruto sebagai Ukuran Kesejahteraan
RESENSI BUKU: Kisah Pak Tuba, Tahanan Pulau Buru yang Terus Bernyanyi
RESENSI BUKU: Memahami Kerja Pikiran sebagai Kunci Hidup Paripurna
Teori Nilai-utilitas
Lanjut ke penjelasan mengenai teori nilai-utilitas, rada jangar, tapi teu nanaon. Secara garis besar, teori nilai-utilitas hadir sebagai kritik atas teori nilai-kerja. Dan teori nilai-utilitas inilah yang umumnya diterapkan umat manusia dewasa ini. Teori nilai-utilitas berkembang dari tradisi merkantilis yang menempatkan perhatian pada aktivitas perdagangan (ranah sirkulasi) ketimbang produksi. Nilai, menurut teori nilai-ulititas ini, muncul dari keinginan konsumen untuk memperoleh manfaat dari suatu barang-dagangan. Nilai, dengan kata lain —dalam bahasanya Martin, ditentukan oleh nilai-pakai yang dievaluasi secara subjektif manusia. Tapi masalahnya, oleh karena keinginan mesti berhadapan dengan fakta ketersediaan komoditas, maka kelangkaan dan keinginan merupakan dua sisi dari satu koin.
Teori nilai-utilitas dimulai dari pertanyaan seorang saudagar bernama Bernardo Davanzati, tentang bagaimana sesuatu yang sama sekali tidak berharga pada suatu saat dihargai sangat tinggi. Berbeda dengan teori nilai-kerja yang menggunakan penalaran retrospektif-fisikalis, sebaliknya teori nilai-utilitas dicirikan dengan penalaran yang mengandung psikologis-prospektif. Model penalaran ini berargumen bahwa oleh karena nilai adalah fenomena mental yang timbul atas hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhannya, maka utilitas komoditas yang dievaluasi, menjadi sumber, regulator, dan sarana pengukur nilai. Padahal kenyataannya komoditas tersebut diciptakan melalui proses produksi produsen, tetapi menurut teori nilai-utilitas, nilai tidak ada hubungan sama sekali dengan kerja yang memungkinkan komoditas tersebut ada. Maka, sementara teori nilai-kerja menempatkan produksi sebagai tempat asal munculnya nilai, teori nilai-utilitas menempatkan problem keseukuran pada ranah konsumsi, dan mengemuka dari keinginan konsumen untuk memperoleh manfaat dari suatu komoditas.
Pandangan nilai-utilitas ini nantinya berkembang di semua ekonom pendukungnya seperti Ferdinando Galiani, Nicholas Barbon, Condillac, J.B Say dan Samuel Bailey. Pandangan ini disebut Martin sangat minor karena pengaruhnya tidak sekokoh teori nilai-kerja yang dianut para tokoh utama ekonomi klasik. Kelemahan dari pendekatan ini adalah ketidakmampuannya menjelaskan secara kuantitatif mengapa bisa terbentuk sejumlah nilai tertentu.
Jika keinginan atau hasrat adalah sesuatu yang kualitatif, bagaimana keinginan dipakai untuk menjelaskan bahwa nilai sebuah gadget yang sedang kalian pegang untuk membaca tulisan ini, setara dengan lima belas slop rokok, dan bukan empat belas atau enam belas slop, misalnya? Dengan kata lain —dalam istilahnya Martin, hasrat tidak dapat dijadikan prinsip penentu nilai sejauh hasrat belum dapat dikuantifikasi.
Tapi, kuantifikasi atas fenomena mental sebagaimana dimaksud, berupaya dijalankan oleh Herman Heinrich Gossen —seorang ekonom Jerman. Ia menunjukkan bahwa utilitas sebuah komoditas dapat diukur secara kuantitatif sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan jumlah komoditas yang telah dikonsumsi. Atas hasil renungannya ini, Gossen mendaku dirinya sebagai 'Kopernikusnya ilmu ekonomi', sebab ia merasa berhasil membalik pengertian nilai yang mulanya dimengerti secara dogmatis sebagai sifat inheren benda menjadi kategori berpikir manusia dalam berhadapan dengan komoditas, sebagaimana Kopernikus menunjukkan bahwa apa yang mulanya dikira objektif (matahari mengelilingi bumi) ternyata merupakan sesuatu yang subjektif (matahari mengelilingi bumi sejauh itulah yang nampak pada pengamat atau subjek).
Jadi, nilai komoditas, pada suatu waktu tertentu ditentukan oleh nilai-utilitas yang didapat dari konsumsi atasnya dalam perbandingan dengan jumlah konsumsi yang telah dilakukan atas komoditas yang sama —singkatnya, ditentukan oleh utilitas marginalnya. Inilah Hukum Gossen pertama yang nantinya dikembangkan terus oleh William Stanley Jevons, Carl Menger, dan Leon Walras —tiga pemikir 'Revolusi Marginalis' yang membuka jalan bagi ilmu ekonomi modern. Jevons membuktikan secara matematis keberlakuan hukum ini, dan menunjukkan bahwa persamaan nilai dalam bentuk pertukaran apa pun pada dasarnya merupakan persamaan utilitas marginal antara kedua komoditas bagi kedua pihak yang bertukar.
Menger menunjukkan lebih jauh lagi bahwa pertukaran tidak mengandaikan keseukuran nilai sebab yang menentukan adalah manfaat barang sebagaimana diputuskan oleh masing-masing pihak dalam upaya memaksimalkan laba. Walras kemudian menunjukkan bahwa penentuan nilai berbasis utilitas dan kelangkaan ialah fenomena alamiah yang berlaku sepanjang zaman. Ontologi yang terdapat di balik teori nilai-ulititas, dengan demikian, adalah ontologi yang berbasis pada evaluasi subjektif. Komoditas sendiri, tidak mengandung nilai pada dirinya. Menurut teori nilai-utilitas, nilai itu baru muncul dalam ranah sirkulasi melalui evaluasi konsumen yang ditawarkan. Nilai, dengan demikian, adalah apa yang mengemuka secara empirik sebagai rasio pertukaran antarkomoditas.
Di sini bisa dikatakan, meski teori nilai-utilitas yang berkembang pada akhir abad ke-19 hadir sebagai kritik atas teori nilai-kerja, tetapi sebagaimana dijelaskan Martin, fondasi dari teori nilai-utilitas ini tidak sekokoh teori nilai-kerja. Kelemahan dari pendekatan ini jelas: ketidakmampuannya menjelaskan secara kuantitatif mengapa terbentuk sejumlah nilai tertentu. Berbeda dengan teori nilai-kerja yang dapat menjawab persoalan tersebut dengan mudah, yakni menunjukkan jumlah jam kerja yang diperlukan untuk memproduksi komoditas.
Peralihan Teori Nilai-Kerja ke Nilai-Utilitas
Dalam pembahasan selanjutnya, yang secara holistik ada dalam bab VI, Martin berupaya menguji teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas berdasar kerangka filsafat ilmu Roy Bhaskar. Hasilnya menunjukkan bahwa implikasi peralihan teori nilai sangat signifikan. Hal ini didasarkan pada tiga kriteria yang digunakan Roy Bhaskar dalam memilah antara tendensi realisme dan antirealisme dalam ilmu pengetahuan: pertama, adanya stratifikasi ontologis; kedua, adanya stratifikasi penjelasan; dan ketiga, status ontologis hukum ilmiah.
Mengenai tidak ada stratifikasi ontologis dalam teori nilai-utilitas, menurutnya karena dunia dalam pandangan teori nilai-utilitas adalah dunia di mana keberadaan subjek pengamat bersifat konstitutif. Inilah yang disebut Roy Bhaskar sebagai 'kekeliruan epistemik': mereduksi apa yang ada pada apa yang terberi (teramati), mereduksi ontologi menjadi epistemologi. Dalam arti itu, berdasarkan kriteria pertama Bhaskar, teori nilai-utilitas memenuhi syarat untuk diklasifikasikan pada posisi antirealisme [Halaman. 237].
Berkebalikan dengan itu, teori nilai-kerja mengakui stratifikasi ontologis dengan adanya domain empirik dari komoditas, yaitu harga, dan domain aktual pertukaran komoditas dari domain rill keseukuran nilai sebagai keseukuran kerja. Selain itu, teori nilai-kerja juga mengakui stratifikasi penjelasan dengan menunjukkan bahwa harga dapat dijelaskan oleh keseukuran nilai, dan adanya keseukuran nilai dijelaskan oleh ongkos produksi yang akhirnya ditentukan oleh pencurahan sejumlah kerja tertentu dalam produksi. Di sisi lain teori nilai-utilitas menolak stratifikasi penjelasan seperti itu karena menyerahkan nilai pada evaluasi utilitas oleh konsumen yang teramati secara empirik. Dengan demikian, berdasarkan kriteria kedua, teori nilai kerja berada pada posisi realis dan teori nilai-utilitas berada pada posisi antirealis.
Yang terakhir, berdasarkan kriteria ketiga, teori nilai-kerja mengakui status ontologis hukum ilmiah yang dilandaskan pada domain riil. Hukum ilmiah nilai, dalam istilah Martin, selalu berciri disposisional (berlaku dalam batasan ceteris paribus) dan tidak dapat digunakan untuk memprediksi. Teori nilai-utilitas menolak status ontologis hukum ilmiah dengan memahaminya hanya sebatas konjungsi konstan di antara fenomena empirik penawaran dan permintaan, yang aturan mainnya dijadikan landasan justifikasi bagi prediksi.
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori nilai-kerja memiliki dimensi realis dan sebaliknya teori nilai-utilitas memiliki dimensi antirealis. Tapi, saat ini, karena pendekatan yang paling dominan adalah teori nilai-utilitas, maka dalam keseharian seluruh kebijakan ekonomi adalah juga berdasarkan pada pengandaian teori nilai-utilitas tersebut, yang jika menggunakan filsafat ilmu Bhaskarian, berada pada posisi antirealis.
Pada relasi pertukaran empirik di pasar, teori nilai-utilitas turut berkontribusi bagi tersedianya prakondisi epistemik yang memungkinkan terjadinya krisis finansial. Selain itu, teori nilai-utilitas juga menjadi justifikasi teoritis bagi fenomena finansialisasi, yang tidak lain merupakan hegemoni finansial atas sektor riil. Dengan teori ini, komoditas konkret justru ditentukan, alih-alih menentukan, oleh komoditas virtual. Pertukaran komoditas malah ditentukan oleh pertukaran atas prospek pertukaran itu sendiri.
Ironisnya lagi, dominasi teori nilai-utilitas nantinya jadi dasar perumusan kebijakan ekonomi, yang turut memunculkan problem etis, yaitu kebijakan yang niscaya memprioritaskan kepentingan segelintir spekulan ekonomi yang bergiat di pasar modal ketimbang kepentingan bersama masyarakat. Hal ini tidak lain disebabkan karena teori nilai utilitas menempatkan sektor finansial begitu superior di atas sektor riil karena potensi laba yang lebih besar. Sekurang-kurangnya, hal ini mampu menjelaskan mengapa belakangan marak fenomena flexing.
Tawaran Alternatif: Merehabilitasi Teori Nilai-Kerja
Dengan pembahasan yang panjang lebar di bab-bab sebelumnya, jawaban memungkinkan untuk mengatasi keterbatasan teori nilai-utilitas adalah kembali pada teori nilai-kerja. Bagi Martin, yang menjadi tawarannya dalam buku ini, adalah merehabilitasi teori nilai-kerja yang termaju, yang juga tersedia dari berbagai teori nilai-kerja yang ada, yakni, teori nilai-kerja Marx.
Adalah fakta yang signifikan bahwa teori nilai-utilitas tidak mampu menjelaskan pengandaian dasar ilmu ekonomi, yakni masalah keseukuran antarkomoditas. Sebaliknya, teori nilai-kerja —wabilkhusus Marx— memiliki daya penjelasan terhadap fenomena yang lazimnya keluar dari domain analisis ekonomi seperti misal fenomena imperialisme. Ini menunjukkan bahwa daya penjelasan (atau yang dalam istilah Martin, eksplanatoris!) teori nilai-kerja tidak hanya sebagai bagian dari ilmu ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari ilmu sosial yang lebih luas.
Sebagai catatan akhir, kurang pas memang bila kita menguraikan sebuah buku tanpa menyebut kelemahan di dalamnya. Pepatah lama bahwa tidak ada gading yang tidak retak juga berlaku untuk buku ini. Esai Rio Apinino yang berjudul 'Kekuatan Nilai Kerja Marx' (diakses Sabtu 18 Juni 2022) cukup memberi proporsi kritik terkait ‘problem transformasi,’ yakni bagaimana memahami hubungan nilai kerja dengan harga pasar.
Seperti diketahui, dalam masyarakat kapital, komoditas tidak hanya mempunyai nilai, tapi juga harga yang keduanya menjadi landasan pertukaran. Perbedaan di antara keduanya adalah, menukil Marx sendiri, bahwa harga merupakan bayangan nilai dalam bentuk uang. Apabila nilai mencerminkan kuantitas kerja, maka harga mencerminkan kuantitas uang. Di sini, menurut Martin, problem transformasi masih merupakan permasalahan mendasar dalam teori nilai Marx yang mesti kita hadapi di awal abad ke-21 ini.
Hal ini kemudian menggulirkan pertanyaan lanjutan, terkait apa yang harus dilakukan untuk dapat merehabilitasi teori nilai-kerja Marx ini dalam laku ekonomi sehari-hari? Selain itu, komposisi buku ini yang menurut Rio Apinino terlalu mengetengahkan persoalan perdebatan teoritis di antara para teoritikus teori nilai, dan kurang menjabarkan tentang panggung di mana para teoritikus tersebut berkontestasi.
Dengan kata lain, buku ini sangat minim penjelasan tentang konteks historis di mana suatu teori nilai muncul. Padahal, jika saja penjelasan tentang konteks historis tersebut lebih banyak, persoalan apa yang harus dilakukan untuk merehabilitasi teori nilai-kerja Marx mungkin akan sedikit lebih terang.
Yang menggembirakan, adalah persoalan dasar yang kemudian berdampak pada kisah asmara kawan saya —sebagaimana dikisahkan di awal— terjawab sudah. Meski tidak dapat dikatakan bahwa teori nilai-utilitas merupakan penyebab utama terjadinya perpisahan dia dan pujaan hatinya, tetapi setidaknya teori nilai-utilitas memiliki andil dalam terbentuknya prakondisi epistemik yang memungkinkan terjadinya krisis, dan karenanya membuat pekerja rentan menangis.
Informasi Buku
Judul Buku: Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen
Penulis: Martin Suryajaya
Penerbit: Resist Book, 2013
Tebal: xvi +368 Halaman 14x21cm
ISBN: 978-979-1098-18-2
Rancang Sampul: asn
Kompugrafi: Meja Malam Design